Ching Yun Bezine - Sungai Lampion #20



Episode 19

1348

SEMENTARA Khan dan favoritnya, Kilau Bintang, menikmati udara musim semi di Da-du, desir angin hangat bertiup melintasi kota Yin-tin, membelai dahan-dahan lentur tanaman yangliu dengan sentuhan lembut.

        Di halaman rumah kediaman keluarga Lu, Lu berkata, “Coba umpamakan angin bak seorang ibu yang hangat, dan setiap dahan tanaman yangliu sebagai anaknya yang masih kecil. Si ibu merengkuh anaknya, berbisik ke telinganya untuk mengungkapkan betapa cantiknya ia dengan jubah barunya.”
        Shu menatap tanaman-tanaman yang dimaksud itu sesaat, lalu berpaling kepada Lu. “Apakah para penyair selalu harus sedikit sinting?”
        Si bangsawan muda tertawa. Shu sudah mempelajari seni membaca dan menulis selama dua tahun terakhir. Tapi jika membaca, ia tak dapat melakukannya dalam hati; ia harus mengucapkan kata demi kata dengan suara keras. Dan kalau ia menulis, setiap karakternya sebesar tinjunya; selembar kertas yang cukup untuk memuat satu syair panjang paling banyak hanya dapat memuat dua atau tiga kata tulisannya. Sementara puisi-puisinya... Lu menggeleng-gelengkan kepala. “Katakan, sobatku, apa yang terlintas dalam pikiranmu begitu kau melihat tanaman yangliu yang indah ini?”
        Shu mengerutkan alis, merapatkan bibir sambil mengawasi tanaman itu dengan serius. “Aku melihat bahan yang bagus untuk menganyam keranjang. Aku juga melihat kayu bakar, tapi itu mungkin dapat diambil setelah pohon itu mati dan kering. Kalau dipakai sekarang, akan terlalu banyak asap...”
        Lu memotongnya, “Sudahlah, lupakan itu. Hari ini begitu indah. Kau mau ke kuil?”
        Lu tercengang ketika Shu menggeleng-gelengkan kepala.
        “Para biksu itu melihat kungfu dengan cara yang sama seperti kau melihat tanaman-tanaman itu,” ujar Shu. “Terakhir aku di sana, Iman Teguh memintaku mengucapkan sumpah untuk tidak menggunakan kungfu untuk keuntungan pribadi. Dia juga mengatakan dalam pertarungan aku tak boleh mencabut nyawa lawanku kalau aku hanya perlu melukkai matanya, dan aku tak boleh melukai matanya jika mematahkan lengannya sudah merupakan hukuman setimpal untuk apa yang dilakukannya.”
        “Apa sudah kauucapkan sumpah itu?” tanya Lu prihatin, sambil berhenti melangkah di ambang pintu yang berbentuk bulan. Jika seseorang sudah mencapai peringkat tertentu dalam kungfu, para biksu biasanya memintanya mengucapkan suatu ikrar. Jika orang yang bersangkutan menolak, ia takkan boleh melanjutkan pelajaran kungfunya lagi. Lu tahu bahwa selama dua tahun terakhir ini, pelajaran kungfu Shu berfungsi seperti rantai yang mengikat elang liar pada sebatang pohon. Tanpa itu, ia akan langsung kabur.
        “Tentu saja tidak!” sahut Shu dengan nada tinggi. Ia kemudian mengungkapkan pada Lu mengenai perdebatan antara dirinya dan Iman Teguh. Biksu tua itu tidak mengizinkannya kembali, kecuali ia mau berubah pikiran, namun Shu bertekad mempertahankan pendapatnya. “Aku sudah belajar banyak. Sudah kutangkap sari ilmu bela diri dengan tangan kosong, ilmu pedang, dan tombak. Sekarang aku tinggal menyempurnakan kungfuku, tapi itu dapat kulakukan sendiri.”
        Shu meletakkan tangannya yang besar di pundak ramping sobatnya, lalu berkata, “Kau takkan dapat menjadikan aku penyair. Dan aku takkan pernah sependapat dengan para biksu itu. Lenganku sudah pulih, dan masa belajarku sudah berlalu. Aku harus mencari pekerjaan.”
        Bulu kuda itu berbercak cokelat-putih, tidak terlalu bagus, tapi amat kuat. Shu menungganginya. Ia dapat mendengar desir angin di telinganya, dan merasakan hangatnya matahari di wajahnya. Saat ia melintasi sebuah kota, para penduduknya menepi untuk memberinya jalan. Saat ia memacunya di lapangan rumput terbuka, pohon-pohon yang semula di depannya dalam sekejap sudah berada jauh di belakangnya.
        “Sekarang aku betul-betul bebas!” ia memekik, kemudian mengentak sisi kudanya untuk mempercepat derapnya.
        Kudanya tidak hanya memanggul penunggangnya, tapi juga sebuah kantong besar berisi surat-surat. Lu telah menggunakan pengaruhnya untuk mencari pekerjaan bagi Shu. Dalam seragam kuning mereka, para pengantar surat diperbolehkan melakukan perjalanan berkuda dari provinsi yang satu ke yang lain tanpa harus berhenti di setiap pos perbatasan.
        Shu melintasi perbatasan Provinsi Kiangsi di suatu hari musim panas. Ketika ia sampai di kota Phoenix, matahari mulai masuk ke peraduannya, menciptakan ilusi sebuah negeri dongeng yang diselubungi sayap burung phoenix. Hati Shu berdebar-debar penuh emosi. “Akhirnya aku sampai di kampung halamanku!”
        Setelah mengantarkan sepucuk surat ke rumah seorang pejabat Mongol, ia mencari tempat untuk menginap. Para pengantar surat diperbolehkan memiliki kuda, namun tak diizinkan tinggal di tempat penginapan bagi orang-orang Mongol atau para penjelajah asing. Shu berhenti di muka sebuah rumah penduduk, lalu menanyakan nama keluarga mereka. Ketika laki-laki itu dengan ragu-ragu mengungkapkan bahwa nama keluarga mereka Shu, hati Shu langsung berbunga-bunga.
        “Ayahku ternyata benar! Dia mengatakan padaku bahwa kebanyakan di antara kalian memiliki hubungan keluarga denganku, entah bagaimana. Leluhurku adalah...” Sebelum ia mengatakan lebih banyak, pintu rumah itu sudah dibanting di mukanya.
        Sementara malam semakin larut, Shu mendapati semakin banyak rumah ditinggali oleh mereka yang menyandang nama keluarga Shu, namun tak satu keluarga pun mau menerimanya. Ia amat kecewa. Ia tak mengerti mengapa kaum kerabatnya bersikap begitu dingin terhadapnya. Dengan hati sakit ia teringat Ma, sahabat kecilnya, serta ketujuh temannya yang lain. Ia juga teringat akan Lu dan Lotus, serta istri Sipir Li yang telah menyelamatkan hidupnya. Akhirnya ia mengangkat bahu dan berhenti mengetuki pintu-pintu rumah. “Rupanya ada banyak orang Cina yang berhati dingin selain yang hangat,” gerutunya, kemudian berlalu dengan kudanya.
        Sambil berderap di bawah cahaya bulan musim panas, ia meninggalkan jalan terakhir menuju luar kota, dan akhirnya sampai di sebuah tanah pekuburan. Ia teringat nama beberapa kerabatnya dan bersyukur dapat membaca apa yang tertulis di batu-batu nisan itu. Sambil melangkah di bawah cahaya bulan, ia menemukan makam para leluhurnya.
        Ia berlutut, lalu memohon, “Maafkan aku karena tidak datang lebih awal ke sini. Takdir membuatku menempuh jalan lain. Tapi aku sudah siap bertindak sekarang. Bantulah aku merebut kembali tanah Cina dari tangan orang-orang Mongol, serta membalas kematian rekan-rekan sebangsaku!”
        Shu menemukan sebuah kuil Buddha tak jauh dari pemakaman itu. Kepala biara itu menatap laki-laki yang tampak amat penat beserta kudanya yang sudah kecapekan itu sekilas, kemudian segera menggiring si kuda ke sebuah istal, sementara Shu dibawa ke sebuah ruangan, melalui sebuah tempat terbuka.
        Tempat itu penuh dengan biksu-biksu berpakaian ketat dan sepatu lembut. Di bawah sinar bulan, wajah-wajah mereka tampak berkeringat dan bercahaya. “Para biksu di sini juga berlatih kungfu!” seru Shu tertegun.
        “Mana ada biksu yang tidak berlatih?” jawab kepala biksu itu tenang. “Bahkan para biksuni berlatih di bagian bangunan yang diperuntukkan bagi mereka sendiri.”
        Shu mengangguk. Ia sudah pernah mendengar mengenai para biksuni yang tergabung dalam Gerakan Serban Merah. Anehnya, lebih dari sekali gambaran mengenal pemimpinnya sering mengingatkan dirinya pada Peony-nya. Mungkin kekasihnya itu juga sedang berlatih kungfu di surga, serta asyik mengusik kedamaian dunia Buddha yang biasanya tenteram itu. Tiba-tiba Shu merasa terlalu sedih untuk tidur. Ia bertanya, “Apakah tidak apa-apa kalau aku menonton mereka?”
        “Tentu saja tidak. Tapi kalau ternyata kau mata-mata orang-orang Mongol, kau takkan bisa meninggalkan kuil ini dengan lidah utuh.”
        Suara biksu itu amat lembut, tapi bulu kuduk Shu merinding mendengar nadanya. “Aku takkan pernah mengungkapkan kepada siapa-siapa, apa yang kulihat di sini.”
        Shu mengawasi gerakan-gerakan para biksu itu sesaat, kemudian tanpa disadarinya ia sudah bergabung dengan mereka. Gaya mereka berbeda dengan apa yang pernah dipelajarinya. Ia menyerap teknik mereka, untuk kemudian dipadukannya dengan gayanya sendiri. Begitu warna langit di timur memucat menjadi keabu-abuan menjelang subuh, para biksu itu menarik diri, lalu Shu pergi tidur sambil terus berlatih kungfu dalam mimpinya.
        Tempat tuiuan berikutnya adalah Hangchow, ibu kota Sung yang terakhir. Setelah melaksanakan tugasnya, ia mampir di Danau Barat yang amat terkenal dan berkunjung ke sebuah kuil Tao yang terletak di sekitar situ. Kembali ia bergabung dengan para biksu dalam latihan kungfu mereka, sambil menyerap gaya andalan mereka yang paling ampuh.
        Selama berbulan-bulan ia berjalan menuju Selatan. Akhirnya ia sampai di tepi Sungai Mutiara yang mengalir di Provinsi Hu-kuang. Ia tak dapat menangkap dialek para biksu di daerah itu, namun ketika menginap di kuil-kuil mereka, ia merengkuh gaya kungfu mereka yang unik dan merasa bak hartawan yang memperoleh lebih banyak kekayaan untuk ditambahkan pada apa yang sudah dimilikinya saat itu.

“Kau berubah,” ujar Lu begitu ia bertemu kembali dengan Shu di musim semi tahun 1349. Ia mengamati tubuh sobatnya yang berotot serta wajahnya yang bersinar. “Kau tampak lebih matang, lebih besar, dan lebih bahagia.”
        “Aku belajar banyak mengenai manusia, kehidupan, serta teknik kungfu.” Ia mengungkapkan pada Lu mengenai pengalamannya menghadapi para penyandang nama keluarga Shu yang bersikap dingin, para biksu yang ramah, serta bagaimana ia menciptakan teknik kungfu yang baru dengan mengombinasikan bagian-bagian terbaik dari semua gaya yang ada. Ia mengawasi wajah Lu yang kepucatan serta tubuhnya yang ramping, lalu tertawa. “Wah, kau tidak bertambah tua, juga tidak tumbuh lebih besar. Tapi setidaknya kau tidak menciut. Dan tampaknya kau bahagia sekali.”
        “Aku tidak hanya bahagia, tapi juga amat berbesar hati. Lotus dan aku sudah mempunyai seorang bayi laki-laki lagi sekarang. Dia lahir musim dingin yang lalu. Ayahku menamakannya Tulus.”
        Lu mengajak Shu ke ruang kerjanya, sambil berusaha membujuknya untuk tinggal di kamar lamanya malam itu. “Begitu banyak yang masih harus kita ceritakan,” ujar Lu.
        Ia mengungkapkan pada Shu mengenai surat-surat selebaran yang dikirimkannya kepada para pemimpin pergerakan di mana-mana. Mereka semua mengharapkan dukungan dana darinya, namun tak satu kelompok pun menyatakan bersedia bergabung dengan kelompok lainnya.
        “Aku kecewa sekali,” ujar Lu. “Para pemimpin revolusi kita hanya berjuang untuk kepentingan kelompok mereka sendiri, bukannya untuk Cina. Kudengar tentang orang bernama Kuo, yang tinggal di Utara, di Provinsi Honan. Katanya dia mempunyai pandangan berbeda. Aku sudah mengirimkan undangan padanya, namun aku belum menerima jawabannya.”
        Akhirnya Lu mulai menceritakan pada Shu mengenai Liga Rahasia. “Kami masih melakukan hal-hal yang sama...”
        Shu memotong, “Aku tak peduli mengenai makhluk-makhluk angkuh itu, dan aku tak ingin tahu apa-apa mengenai mereka. Aku benci semua orang terpelajar, kecuali kau!” Tanpa memberi kesempatan pada Lu untuk membantah, Shu berkata lagi, “Tapi aku membutuhkan bantuanmu.”
        Ia mengingatkan Lu akan mimpinya dulu. “Aku pernah menyebutkannya padamu saat pertama kita bertemu. Katamu aku harus memberitahumu begitu aku siap. Saat itu tidak terlintas dalam diriku bahwa aku akan membutuhkan bantuanmu. Aku begitu yakin para penghuni kota Phoenix akan mengikuti aku, mengingat ayahku salah satu di antara mereka. Tapi ternyata aku keliru.”

Dalam perjalanan berikutnya ke kota Phoenix, Shu membawa kepingan-kepingan uang perak dan emas di bagian dasar kantong suratnya.
        Sikap enggan orang-orang Cina untuk menerima seorang pengantar surat miskin berubah begitu melihat kepingan uang peraknya. Dan begitu Shu memperlihatkan kepingan uang emasnya, kata-katanya tiba-tiba terdengar lebih meyakinkan.
        Shu berhasil mengumpulkan lebih dari dua puluh orang di kampung kelahiran leluhurnya, serta meminta mereka menemuinya di tanah pekuburan kota mereka malam itu. “Tanggung jawab kalian adalah memata-matai orang-orang Mongol. Setiap kali aku ke sini, kalian harus menampungku di rumah-rumah kalian, bukannya menutup pintu. Kalian harus mengabari aku begitu sekelompok orang Mongol berkemah di dekat sini, lalu mengantarku ke perkemahan mereka. Dan, tentu saja, kalian akan mendapat imbalan memadai untuk informasi itu.”
        Berkat dukungan dana dari Lu, Shu berhasil merekrut lebih banyak orang dari berbagai desa lain untuk menjadi mata-mata. Tapi setiap kali ia mampir di suatu kuil dan mencoba mengajak para biksunya bergabung dengannya, ia mendapati kepingan-kepingan uang perak dan emasnya takkan dapat mengubah pikiran mereka. Mereka tetap bersiteguh berpegang pada ajaran yang mereka anut, yakni menggunakan kungfu hanya untuk keperluan membela diri.
        Yang kemudian menjadi inti gerakan yang di pimpin Shu adalah sebuah kelompok yang terdiri atas beberapa puluh pembawa berita. Orang-orang yang berhati tegar dan tangguh ini tidak mengharapkan bayaran untuk partisipasi mereka; mereka berjiwa patriotik. Di siang hari mereka berkuda dari kota yang satu ke kota yang lain, mengumpulkan informasi dari para mata-mata bayaran. Di waktu malam mereka menyerang kelompok orang Mongol yang terisolir, kemudian bersembunyi di kuil-kuil. Dan begitu matahari terbit kembali, mereka melanjutkan perialanan dengan seragam kuning mereka, menjalankan tugas sebagaimana layaknya pembawa berita.

Shu menjalin hubungan akrab dengan mereka, dan dalam waktu singkat ia sama dekatnya dengan mereka seperti dengan ketujuh pemuda yang dulu bersamanya.
        Shu tiba kembali di kota Yin-tin tepat pada waktunya untuk ikut merayakan Pesta Bulan. Lu mengirimkan sepucuk surat yang bersifat pribadi kepada atasan Shu, meminta padanya agar Shu diperbolehkan beristirahat selama beberapa hari dan merayakan pesta itu bersama keluarga Lu. Pada waktu Lu dan Shu duduk berdua di bawah sinar bulan musim gugur, si bangsawan muda mengucapkan selamat atas keberhasilan Shu.
        “Aku menganggap kedua belas pendekar itu saudara-saudaraku. Ayo kita juga minum demi kesehatan dan keberhasilan mereka,” ujar Shu, sambil mengangkat cangkir araknya tinggi-tinggi.
        Untuk kaum berada kota Yin-tin, Pesta Bulan tak bisa disebut lengkap tanpa kepiting yang diambil dari anak-anak sungai di sekitar perairan Su-ngai Yangtze. Kepiting yang masih hidup tampak seperti bunga krisan keabu-abuan. Begitu dimasak, warnanya berubah menjadi merah terang. Orang-orang percaya daging kepiting akan terasa paling enak pada saat bulan di musim gugur sedang purnama penuh.
        Kepiting krisan ini juga dikirim ke Da-du, yang jaraknya hampir 1.200 mil dari kota itu, untuk dipersembahkan kepada selir favorit Khan Badai Pasir yang Agung – Kilau Bintang. Wanita itu tidak hanya menyukai rasa dagingnya, tapi juga senang melihat bagaimana kulit kepiting berubah warna serta suara yang ditimbulkan binatang-binatang itu saat berusaha merayap keluar dari wajan berisi air panas. Sesuai dengan instruksinya, dua belas karung kepiting krisan harus meninggalkan kota Yin-tin pada Pesta Bulan dan sampai di istana beberapa hari berikutnya.
        Untuk pengiriman kepiting itu, dua belas pembawa berita biasanya dibebastugaskan dari kewajiban mereka. Sebagai ganti kantong-kantong surat, mereka harus membawa karung-karung berisi kepiting hidup. Kedua belas anak buah Shu merupakan penunggang-penunggang kuda terbaik, karena itu merekalah yang kemudian terpilih untuk tugas ini. Shu juga termasuk dalam rombongan ini, andai ia tidak diundang oleh putra Wali Kota untuk perayaan Pesta Bulan kali itu.
        Kedua belas orang itu menempuh jarak lebih dari dua ratus mil sehari, berganti tunggangan beberapa kali, dan akhirnya berhasil mencapal 1.200 mil dalam lima hari. Setelah mengantarkan kepiting-kepiting itu ke istana, mereka segera meninggalkan kota Da-du. Tapi mereka ditangkap sebelum cukup jauh dari kota itu.
        Entah kenapa, semua kepiting yang mereka bawa itu mati. Kilau Bintang amat marah. Khan yang Agung kemudian memerintahkan agar kedua belas orang itu dihukum mati.

Shu berada di kota Phoenix ketika mendengar berita itu. Ia langsung kembali ke Yin-tin, melompat dari kudanya, kemudian menghambur masuk ke rumah kediaman keluarga Lu di siang bolong, untuk menemui Lu di salah satu ruangan.
        “Katakan itu cuma kabar burung!” serunya pada Lu.
        “Aku menyesal sekali, Sobatku,” ujar Lu. Suaranya bergetar.
        Wajah Shu langsung pucat pasi. Jaringan pernbuluh darah di matanya memerah. Dengan suara tertahan ia berteriak, “Apa betul Kilau Bintang ingin melihat anggota tubuh mereka direnggut sampai berantakan seperti kepiting? Kudengar kakaknya, Pedang Dahsyat, juga di sana, dan dialah yang kemudian melaksanakan eksekusinya...” Shu tak dapat melanjutkan kata-katanya.
        Masing-masing pembawa berita diikat pada empat ekor kuda, dengan satu anggota tubuh pada satu kuda. Begitu Pedang Dahsyat mengentakkan cambuknya, kuda-kuda itu berlari ke empat arah berlainan. Anggota-anggota tubuh orang yang terikat itu kemudian terenggut lepas, persis kepiting matang yang siap dilahap.
        Lu mengangguk, kemudian memalingkan wajah ke arah kamar tidurnya. Seorang wanita terdengar muntah-muntah. Rupanya Lotus menangkap apa yang baru saja dikatakan Shu.
        Jasmine menghambur keluar dari kamar itu, lalu sambil mengacungkan jarinya ke arah Shu, ia berseru, “Pergi dari sini, petani yang tak punya perasaan! Kau membuat perut nyonyaku mual! Berani-beraninya kau bicara seperti itu di rumah yang tenang ini.”
        “Jangan pedulikan kata-katanya, duduklah dan...”
        Lu mencoba menahannya, tapi Shu sudah berlari keluar dari rumah, secepat angin.

Shu berjalan tanpa tujuan, melintasi jalan-jalan kota Yin-tin, kemudian berhenti di tepi Sungai Yangtze, di bawah terik matahari. Ia tahu Pedang Dahsyat berada di lbu kota, namun pada wajah setiap orang Mongol yang sedang berkeliaran di sekitar tepi sungai itu ia melihat bayangan si jenderal.
        “Kau membunuh kelompok pengikutku yang kedua! Dan kau melakukannya dengan cara paling kejam, tepat saat mereka sudah menjadi sahabat-sahabatku dan kuanggap saudara-saudaraku! Aku membencimu! Kau akan kubasmi! Dunia ini terlalu sempit untuk ditinggali kita berdua!” serunya, tak peduli pada mereka yang berada di sekitarnya.
        Tiga orang Mongol yang lewat mendengar umpatannya, kemudian tertawa. “Cina gila!” salah seorang di antara mereka berkata sambil menunjuk ke arah Shu. “Sudah bongsor mengomel sendiri seperti bayi!”
        Derai tawa ketiganya tiba-tiba terhenti begitu Shu menghampirl mereka. Secepat kilat Shu menendang yang berdiri di tengah, kemudian meninju kedua temannya. “Babi!”
        Meskipun masih terkejut, orang-orang Mongol ini langsung mencabut pedang. Mereka mengepung Shu sambil menghunuskan senjata mereka ke arahnya. Secara serentak ketiganya mengangkat pedang mereka ke atas, siap menebas Shu.
        Shu memutar tubuhtnya bak angin puting beliung. Orang-orang Mongol tak dapat melihatnya dengan jelas, namun dapat merasakan angin sekelebat yang merengaut pedang-pedang mereka. Mereka mencoba mempertahankan senjata masing-masing, namun kekuatan mereka tak seimbang dengan kuatnya angin. Pedang mereka terlempar dari tangan, kemudian mendarat di tepi sungai. Kemudian raksasa Cina itu menggunakan kakinya untuk menjumput salah satu pedang. Yang terakhir dapat mereka lihat adalah senyum si petani.
        Beberapa orang Mongol yang berdiri tak jauh dari sana melihat saat Shu mengayunkan pedang untuk menebas kepala ketiga orang Mongol itu dalam gerakan begitu cepat, sehingga tampak seakan hanya dalam sekali ayun. Salah seorang di antaranya mengenali Shu, lalu berseru, “Itu kan Shu, si tukang bawa berita!”
        Seruan itu membuat Shu sadar. Ia menoleh sambil menjatuhkan pedangnya, kemudian kabur.

Di halaman bagian dalam rumah kediaman keluarga Lu, Lotus menyerahkan buntelan berisi makanan, pakaian, dan sekantong uang perak dan emas.
        Lu berkata, “Kau harus segera meninggalkan daerah Selatan, dan untuk sementara jangan kembali ke sini. Kau terpaksa berjalan kaki sekarang, karena kau bukan petugas pembawa berita lagi. Jangan khawatirkan diriku. Kalaupun mereka ingat kau menjadi tamuku pada perayaan Pesta Bulan, mereka tak punya cukup bukti. Kau harus bersembunyi di kuil-kuil. Jangan mempercayai siapa pun kecuali para biksu.”
        Lotus mengingatkan suaminya, “Jangan lupa hadiah yang kaubuat untuk sobatmu.”
        Lu menghela napas. “Aku membuat sesuatu untukmu. Tadinya akan kusimpan untuk hari ulang tahunmu yang akan datang, tapi aku terpaksa memberikannya padamu sekarang.”
        Dari laci Lu mengeluarkan sebuah kotak kecil.
        Setelah menyerahkannya kepada Shu, ia menunggu untuk melihat reaksinya.
        Benda itu sebuah rantai emas dengan liontin batu kemala yang dipahat berbentuk dua tangan yang berjabatan. Shu mendekatkan bandul itu ke wajahnya, mengamatinya dengan lebih baik, kemudian tersenyum. “Bisa-bisanya kau membuat sesuatu begini halus. Tangan yang satu ramping seperti milikmu, dan yang lain besar dan kasar seperti milikku!”
        Lu menunjuk ke arah dua patung kayu yang terletak di meja. “Aku sangat suka memahat. Kelak aku akan mewujudkan sepasang kekasih dari batu kemala.” Shu tertawa. Ia sudah sering mendengar impian sobatnya itu.
        “Aku akan selalu memakai rantai ini, dan setiap kali menyentuhnya, aku akan teringat padamu. Kau sahabatku. Kita akan bertemu kelak, setelah suasana kacau ini berlalu,” ujar Shu dengan nada penuh keyakinan, sambil mencoba memasang rantai itu di lehernya.
        Lu mengitari Shu, berjingkat, kemudian menjulurkan leher untuk membantunya dari belakang. Suaranya bergetar menahan sedih dan air matanya berlinang. “Kenapa harus ada perang kejam ini? Kalau tidak, tentunya kau bisa menjadi petani dan aku pemahat. Tapi sekarang kita harus terlibat di dalamnya, dengan cara sendiri-sendiri, dan mungkin perjalanan nasib kita takkan pernah bersilangan lagi.”
        Shu dapat merasakan air mata Lu membasahi bagian belakang bajunya yang tipis. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya seakan tersumbat. Ia mengangkat tangan untuk menyentuh bandul rantainya, lalu mendekap kedua tangan yang berjabatan itu dekat jantungnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...