PROLOG
1227 M
SAAT itu baru pertengahan bulan kedelapan, namun padang-padang
daerah Mongolia sudah mulai tampak gersang dan kering. Secercah angin dingin
dari utara berdesir melintasi padang rumput, memaksa tumbuhan gurun merunduk
seakan mengaku kalah, menggiring gumpalan awan putih, kemudian mengusir mereka
pergi.
Mendadak
suara angin ditelan oleh pekikan menggelegar. Lautan rumput ilalang yang tebal
membelah, diarungi sepasukan orang berkuda.
Pakaian besi mereka memantulkan sinar di bawah cahaya sore. Jumbai-jumbai merah di pucuk topi mereka yang meruncing melambai-lambai di belakang mereka. Masing-masing memiliki pedang, busur yang melintang di punggung, dan sejumlah anak panah yang tergantung di pinggang, serta tameng tembaga yang dihiasi simbol-simbol suci dan berbagai batuan berkilauan, terikat pada masing-masing lengan. Mereka terdiri atas sepuluh orang, enam di muka dan empat di atas kuda yang menarik kereta yang diselubungi kulit binatang.
Pakaian besi mereka memantulkan sinar di bawah cahaya sore. Jumbai-jumbai merah di pucuk topi mereka yang meruncing melambai-lambai di belakang mereka. Masing-masing memiliki pedang, busur yang melintang di punggung, dan sejumlah anak panah yang tergantung di pinggang, serta tameng tembaga yang dihiasi simbol-simbol suci dan berbagai batuan berkilauan, terikat pada masing-masing lengan. Mereka terdiri atas sepuluh orang, enam di muka dan empat di atas kuda yang menarik kereta yang diselubungi kulit binatang.
Seorang
laki-laki kurus menunggang kuda jantan kelabu, menjaga kereta itu dengan
waspada. Angin mengibaskan rambutnya yang keperakan serta janggutnya yang
panjang dan putih, menyingkapkan seraut wajah kurus berwarna gelap dan penuh
garis-garis yang dalam. Ia mengenakan pakaian perang yang dihiasi bulu binatang
berwarna putih. Batu-batu permata yang indah berkilauan dari gagang pedangnya
yang panjang. Suatu corak yang hanya dipakai kaum bangsawan Mongol terukir pada
tamengnya.
“Hati-hati,”
perintahnya pada keempat perwira terakhir dengan suaranya yang dalam. Nadanya
sedih dan prihatin. “Khan kita yang Agung tidak tahan diguncang-guncang seperti
itu!”
“Baik,
Penasihat Zephyr Tamu,” jawab keempat perwira muda itu serentak. Mereka
kemudian memperlambat langkah kuda-kuda itu sedemikian rupa, sehingga kereta
itu bagaikan meluncur di permukaan laut yang tenang.
Iring-iringan
itu akhirnya berhasil melintasi bentangan gurun yang panas menyengat menuju
Danau Baikal. Menjelang malam mereka sampai di Sungai Onon.
“Dirikan
tenda,” perintah Zephyr Tamu, sambil menunjuk ke tepi sebuah parit yang aliran
airnya memantulkan guratan sinar-sinar terakhir dari matahari yang sedang
tenggelam dengan cepat.
Para
perwira membongkar muatan dan langsung bekerja. Zephyr Tamu turun dari kudanya,
lalu menghampiri kereta. Ia menyingkap tirainya dan melongok ke dalam.
“Bagaimana keadaanmu, Temujin?” tanyanya dengan nada rendah, sambil menyapa
Genghis Khan dengan nama kecilnya.
Sosok
tubuh besar yang terbaring di bawah tumpukan bulu binatang yang lembut itu
tidak bergeming. Namun
matanya yang gelap di wajah pucatnya membuka, menyorotkan
rasa sakit yang amat sangat. Erangan yang
dalam keluar dari antara rahangnya yang terkatup
rapat. Dengan susah payah ia menggumamkan melalui bibirnya
yang kering, “Zephyr, sobatku, aku sedang sekarat.”
“Tidak!”
Zephyr Tamu menggeleng-gelengkan kepala dengan pasti, sambil berpegangan kuat
pada bibir kereta itu. “Temujin! Usiamu baru 65 tahun! Kakek dan ayahmu mencapai
usia sembilan puluh! Kau akan pulih begitu kita tiba di rumah. Bukankah kita
memiliki tabib terbaik?”
Seulas
senyum tipis membayang di wajah agung Genghis Khan, namun langsung sirna begitu
ia menggerenyit menahan sakit. “Bahkan tabib yang terbaik pun takkan dapat
menyelamatkan aku kali ini. Cina sialan itu benar-benar melukaiku habis-habisan.”
Ia menaikkan tangan untuk meraba dadanya yang terbebat dengan cermat.
Jari-jarinya menelusuri lapisan pakaiannya yang lembap oleh rembesan darah.
Bayangan gelap menyelubungi wajahnya yang pucat pasi, membuatnya kelabu. “Balaskan
dendamku, sobatku. Tundukkan Cina dan buat rakyatnya menderita.”
Zephyr
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian dengan suara yang lebih kuat agar
terdengar lebih meyakinkan ia berkata, “Temujin, kau akan pulih kembali dan menundukkan
Cina sendiri!”
Sebelum
Genghis Khan dapat mengumpulkan cukup tenaga untuk menjawab, seorang perwira
menghampiri penasihat Khan untuk melaporkan bahwa tendanya sudah siap.
Di
bawah langit yang mulai kelam, Genghis Khan digotong dari kereta ke sebuah
tenda berkisi-kisi yang ditutup bulu yang dikempa. Saat bulan purnama bersinar penuh,
para perwira itu menyalakan api dari ranting-ranting kering pohon pinus yang
tumbuh di tepi parit. Di bawah cahaya bintang mereka menyelinap pergi dengan
busur dan anak panah, lalu kembali dengan seekor kambing liar. Dagingnya
dipanggang di atas kobaran api, yang perlahan-lahan menebarkan aroma yang
menerbitkan air liur ke sekitar daerah itu.
Salah
seorang perwira membawa sebuah kaki kambing ke tenda, berikut wadah berisi air
yang diambil dari Sungai Onon. “Pergi!” bentak Zephyr Tamu dari balik pintu
tenda.
Perwira-perwira
itu makan diam-diam, sambil mendengarkan desiran angin malam. Hati mereka resah
memikirkan teman-teman seperjuangan yang masih tertinggal di garis depan.
Orang-orang Cina dari Dinasti Hsia Barat itu ternyata lebih kuat daripada
perhitungan mereka semula. Ketika Genghis Khan terluka, penasihat Khan memilih
sepuluh anak buah terbaiknya untuk mengangkut Khan dengan kereta menuju
perkampungan mereka di daerah Utara, dekat Danau Baikal.
Deru
angin bertambah kencang sementara malam bertambah larut. Para prajurit tidur
dalam pakaian perang mereka dan menutupi wajah dengan tameng-tameng, mencoba
melindungi tubuh dari udara malam yang dingin menyengat serta butiran pasir
yang bak ampelas. Kuda-kuda tunggangan mereka tertambat di dekat mereka, memunggungi
angin.
Orang-orang
itu terbangun di tengah malam oleh suara erangan tajam yang datang dari arah
tenda. Mereka langsung melompat berdiri, berpandangan di bawah sinar bulan,
langsung mengerti apa yang sudah terjadi.
Erangan
itu berubah menjadi rintihan memilukan, yang kemudian menghilang. Cahaya bulan
yang dingin menyinari pintu masuk tenda saat Zephyr Tamu menyingkapkan penutupnya
dengan tangan bergetar. Air mata menggenangi matanya yang lelah, terus turun
membasahi wajahnya yang bertulang pipi tinggi. “Khan kita yang Agung sudah
wafat,” ujarnya. Suaranya yang bergetar nyaris tak terdengar. “Kita harus
segera menyiapkan pemakamannya.”
Para
perwira itu meninggalkan tameng-tameng mereka di tanah, lalu mulai menggali
pasir dengan pedang. Saat bulan memucat, mereka selesai membuat sebuah lubang besar
dan dalam di tepi sungai.
Ketika
para prajurit itu menurunkan jenazah Genghis Khan ke dalam liang
peristirahatannya, Zephyr Tamu berkata dengan suaranya yang serak tapi mantap,
“Akan kulaksanakan amanat terakhirmu, junjunganku. Cina akan jatuh ke tangan
kita kembali dan rakyatnya akan menderita. Para pangeran Mongol terbaik akan
berkuasa, dan selamanya mereka akan didampingi anak-anak dan cucu-cucuku.”
Di
bawah sinar keemasan cahaya matahari yang baru terbit, orang-orang itu mulai
menutup liang lahat Genghis Khan. Zephyr menambahkan, “Selamat jalan, Temujin, sobat
yang paling kusayangi. Tak lama lagi aku akan bergabung denganmu, dan arwah kita
akan bermain-main seperti kanak-kanak yang berbahagia kembali.”
Suara
tua itu menelusuri masa lalu, mengungkapkan kisah dua bocah laki-laki yang
berselisih usia hanya beberapa hari. Genghis memperoleh namanya dari suara nyanyian
burung yang hidup di gurun, sedangkan Zephyr dari nama badai di daerah Gobi.
Mereka tumbuh bersama-sama. Mereka membuat beberapa peraturan yang kemudian
diterapkan pada para gembala yang mereka satukan untuk mendirikan Kerajaan
Mongol. Genghis menjadi pejuang tangguh, Zephyr pemikir yang lihai. Ketika
Genghis mulai dengan usahanya untuk menaklukkan dunia, Zephyr mendampinginya
dengan setia.
Zephyr
Tamu meninggalkan alam kembaranya begitu lubang kubur itu tertutup pasir.
Setelah memerintahkan anak buahnya menunggu, ia kembali ke tenda, lalu muncul kembali
dengan kendi berisi arak.
“Ayo
kita minum untuk arwah Khan kita yang Agung,” ujarnya sambil menatap sekilas ke
arah para prajurit yang berdiri dalam formasi lingkaran, kemudian menyerahkan kendinya
pada yang berdiri paling dekat dengannya.
Laki-laki
itu mereguk isi kendi dalam-dalam, kemudian meneruskannya pada yang berdiri di
sebelahnya. Para prajurit itu ternyata amat haus. Memberikan penghormatan pada
yang meninggal dengan minum arak keras sudah menjadi tradisi mereka secara turun-temurun.
Mereka meneguk minuman itu tanpa memperhatikan rasanya yang aneh atau cara
Zephyr Tamu menampik kendi itu.
Ketika arak itu habis, para prajurit itu
sempoyongan. Zephyr meraba pedangnya, kemudian mencabutnya dari sarungnya.
Setelah mengangkat pedang itu tinggi-tinggi sambil memutar tubuhnya ke arah
prajurit yang berdiri paling dekat dengannya, ia mengayunkannya dengan cepat, tepat
ke bagian muka lehernya, yang merupakan satu-satunya bagian tubuh prajurit
Mongol yang tidak terlindung.
Pedang
tajam itu menebas leher si prajurit, memotong saluran pernapasannya. Darah
langsung mengucur dari lukanya yang menganga.
Laki-laki
itu menaikkan kedua tangan ke lehernya, kemudian terhuyung-huyung ke depan
sambil tersedak saat darah memungat keluar dari mulutnya. Matanya yang polos
menatap Zephyr Tamu, seakan ingin bertanya kenapa.
“Maafkan
aku,” ujar Zephyr menyesal. “Tapi salah satu di antara sekian banyak janjiku
pada Khan kita adalah bahwa makamnya harus dirahasiakan.”
Si
prajurit mengulurkan tangan ke arah Zephyr. Darah menetes dari ujung
jari-jarinya dan mengalir keluar dari tenggorokannya, merembes ke dalam pasir yang
berkilauan di bawah cahaya matahari yang mulai terik.
Zephyr
Tamu menggunakan ujung pedangnya untuk mendorong tubuh pemuda itu. Prajurit itu
jatuh terjengkang ke belakang. Ia tak dapat berdiri lagi, namun tetap berusaha
bertahan hidup. Tangannya menggerayangi rerumputan yang tumbuh di dekatnya,
mencengkeram, lalu mencabutnya dari pasir. Ia mengentak-entakkan kakinya ke sana
kemari, sampai nyawanya akhirnya meninggalkan jasadnya. Ia mati dengan mata
menatap langit biru yang tinggi.
Ekspresi
di mata yang masih muda itu amat memilukan hati Zephyr Tamu. Ia berdebat dengan
dirinya, apakah memang perlu menghabisi yang lain juga. Racun dalam arak yang
telah mereka minum sudah melumpuhkan refleks mereka serta membuat anggota tubuh
mereka mati rasa. Sebentar lagi mereka semua mati. Zephyr Tamu menggeleng-gelengkan
kepala. Tidak, ia tak boleh mengambil rlsiko. Para prajurit ini adalah yang
terkuat dalam pasukan tangguh mereka. Kalau mereka berhasil mencapai Sungai
Onon dan minum cukup banyak air, ada kemungkinan beberapa di antara mereka akan
selamat.
Zephyr
Tamu mendekati prajurit berikutnya. Orang itu mencoba lari, tapi rupanya
kakinya terlalu berat. Zephyr mengangkat pedang, lalu seorang prajurit muda
lain jatuh persis di sebelah yang pertama. Seorang demi seorang para prajurit
itu dibantai si penasihat. Darah mereka segera menggenang, membentuk kubangan
merah di pasir yang kuning, menebarkan aroma kematian di gurun itu.
“Temujin,
tak seorang pun akan tahu mengenai makammu, bahkan keturunanmu maupun
keturunanku!” ujar Zephyr sambil menatap langit.
Ia
menghampiri kuda-kuda para prajurit untuk membebaskan mereka. Ia mengayunkan
cambuknya. Sambil meringkik ketakutan kuda-kuda itu berlarian ke segala
penjuru, meninggalkan kepulan pasir yang mengaburkan cahaya matahari. Zephyr
menanti hingga kepulan pasir mereda, kemudian mengeluarkan pemantik api dari
balik jubahnya. Ia membakar tenda dan keretanya, lalu memperhatikan saat
benda-benda itu dimakan api. Sesudah itu ia menaiki kudanya, kemudian berderap
pergi dengan punggung dan kepala tegak, meninggalkan tumpukan bara dan
tubuh-tubuh bergelimpangan darah di belakangnya.
Angin
utara terus berdesir, mengembuskan butiran-butiran pasir halus yang menyelimuti
kesepuluh jenazah itu, menciptakan gundukan makam besar bagi mereka. Sungai
Onon terus mengalir, diam-diam meratapi arwah para pemuda yang masih polos,
yang terkubur di bawah gundukan pasir tak bernama itu.
Jauh dari Sungai Onon, di ibu kota
Mongolia, Da-du, sebuah mausoleum megah didirikan dalam tenggang waktu kurang
dari setahun. Atapnya biru dan keemasan, dinding-dindingnya kuning terang. Di
balik pintu-pintunya yang merah dan menakjubkan terdapat beberapa altar dan patung-patung
Buddha berukuran raksasa. Para peziarah dari seluruh penjuru dunia datang ke
sana untuk mengagumi makam Genghis Khan, untuk menghormati tokoh yang hampir
berhasil menguasai seluruh bola dunia dalam cengkeramannya yang kuat.