BAGIAN
I
Episode
1
Musim Semi, 1344
“AKU benci pakaianku! Kenapa aku harus mengenakan pakaian
berlapis-lapis di hari sepanas ini?” keluh Peony Ma, sambil mengangkat lengan
untuk menghapus keringat di dahinya.
Di atas
baju lengan panjangnya ia mengenakan rompi longgar untuk menyamarkan lekuk buah
dadanya yang mulai tumbuh. Sepasang celana panjang dikenakan di bawah roknya
yang panjangnya sampai ke pergelangan kaki, untuk menyembunyikan bentuk
kakinya. Rambutnya dikepang dan diikat dengan pita-pita berwarna, yang kemudian
dipilin lalu dijepit seperti mahkota. Wajahnya yang kecokelatan terbakar
matahari tidak dipolesi apa-apa, kakinya pun tidak dibebat. Ia bukan putri
orang kaya. Ayahnya penambang batu kemala yang amat berharga dan terkubur di
gunung-gunung tinggi yang mengelilingi Lembah Zamrud.
Peony
mengerutkan alis melihat bajunya. Dulu baju itu merah dengan bunga-bunga kuning
terang, tapi sekarang warna merahnya sudah memudar dan kuningnya tinggal bercak-bercak
keabu-abuan. Ia benci roknya yang kusam, sama seperti rompi cokelatnya. Pakaian
luar orang-orang miskin memang selalu kusam, supaya kalau kotor tidak begitu kentara,
sehingga tak perlu terlalu sering dicuci. “Seandainya aku bisa mengenakan gaun
tipis merah muda, kemudian bermain-main dalam air sejuk ini!” seru Peony.
“Peony
Ma mulai mengigau lagi,” ujar seorang anak petani. “Memakai gaun tipis merah
muda, kemudian main-main di dalam air?” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gaunnya
akan tembus pandang, dan kau akan tampak seperti telanjang.” Ia menutup mulut
begitu mengucapkan kata yang kurang sopan itu, kemudian sambil berbisik
menambahkan, “Peony, kalau kau sudah tak sabar lagi untuk memamerkan tubuhmu
yang telanjang...” ia tertawa cekikikan. “Yah, bersabarlah. Begitu bulan di musim
gugur penuh, kau akan dinikahkan.”
Suasana
sungai yang tenang itu tiba-tiba dipenuhi derai tawa gadis-gadis muda. Lebih
dari dua puluh gadis bermain-main di anak Sungai Kuning itu, mengumpulkan bunga-bunga
yang mengambang di sana. Pohon-pohon apel tua tumbuh di sepanjang pesisirnya,
cabang-cabangnya condong ke air, membentuk kubah bunga. Tiupan angin membuat
kuntum-kuntum bunga berjatuhan ke mana-mana. Permukaan anak sungai itu lalu
penuh dengan kuntum-kuntum merah muda dan putih, yang mengambang dan menebarkan
aroma harum. Tak seorang pun di antara gadis-gadis itu berani memetik sekuntum
bunga langsung dari pohonnya. Mereka percaya bahwa untuk setiap bunga yang
mereka ambil akan muncul sebuah jerawat di wajah.
Gadis-gadis
itu berhenti tertawa ketika Peony Ma tiba-tiba menjatuhkan keranjang rotan yang
dibawanya.
Peony
baru berusia enam belas tahun, tapi postur tubuhnya sudah amat tinggi. Lengan
dan kakinya sangat panjang, pinggangnya ramping, dengan pinggul lebar dan buah
dada penuh, yang tak mungkin dapat disembunyikannya lagi di balik rompinya yang
longgar. Bentuk wajahnya oval, matanya bulat besar. Bibirnya penuh dan mulutnya
lebar. Ia begitu marah, sehingga pipinya merah dan lubang hidungnya kembang-kempis.
Keranjang bunganya hanyut, tapi rupanya ia tak peduli. Ia melangkah maju,
mendekati gadis yang mengejeknya. Ia menarik baju gadis yang ketakutan itu,
kemudian mendorongnya dengan kasar ke belakang.
“Aku
tidak suka ucapan jelekmu itu! Tidak sabar untuk memamerkan tubuh telanjangku?”
Ia melambaikan lengannya ke sekelilingnya. “Mau apa kalian?”
Gadis-gadis
itu menundukkan mata. Wajah-wajah mereka merah. Mereka semua sudah remaja dan
akan dinikahkan, sebelum menginjak usia delapan belas tahun. Di malam
pengantin, seorang pengantin wanita akan berbaring dengan mata tertutup rapat,
dengan kepala di atas bantal pengantin yang diisi kuntum-kuntum bunga kering
yang telah mereka kumpulkan selama musim-musim semi di masa gadis mereka.
Tangan-tangan mereka yang gemetar akan memilin ujung-ujung bantal yang harum,
sementara menantikan pasangan hidup mereka mengubah mereka dari sekuntum bunga
yang baru mekar menjadi pohon yang akan menghasilkan buah-buah ranum.
Suasana
hening itu dipecah oleh suara teriakan dari jauh. Gadis-gadis itu menegakkan
tubuh, lalu memasang telinga. Di antara anak sungai dan desa mereka terdapat
padang rumput luas. Mereka menjulurkan leher untuk melihat lebih jelas, tapi
lautan rumput ilalang ternyata lebih tinggi daripada tepi sungai itu. Sementara
mereka menatap ke arah rumput tinggi itu, semakin banyak suara terdengar dari
arah desa. Teriakan panik itu menggema sambung-menyambung dari gunung yang satu
ke gunung lain yang mengelilingi Lembah Zamrud itu.
“Orang-orang
Mongol datang lagi!” seru Peony Ma sambil menendang sebuah keranjang bunga. Ia
memungut sebuah batu besar dengan satu tangan, kemudian dengan tangan lain
mengangkat roknya. Sesudah itu ia mulai lari. “Ayo!”
Gadis-gadis
yang lain gemetar ketakutan dan tak dapat bergerak. Mereka semua lahir di masa
pendudukan Mongol, dan tidak mengenal kehidupan lain selain hidup seperti anak
kambing di sebuah padang berpagar. Para penguasa sering muncul di sana untuk
membantai atau merenggut orang-orang yang mereka cintai. Mereka selalu berdiri terpaku
menghadapi teror itu, kemudian tepekur saat pasukan kejam itu berlalu.
Kebahagiaan, seperti suasana ceria saat mengumpulkan bunga untuk mengisi
bantal-bantal pengantin mereka, hanya dapat mereka nikmati di antara penyerbuan
yang satu dan yang lain.
Peony
berpaling ke arah kawan-kawannya yang tampak terenyak, kemudian berteriak,
“Hei! Tunggu apa lagi? Kumpulkan semua tongkat dan batu yang dapat kalian kumpulkan,
lalu ikut aku. Cepat!”
Ia
sedang berlari menuju padang saat sesosok tubuh kurus kering berjubah jingga
tiba-tiba muncul dari antara rumpun rumput tinggi, menghambur ke tepi sungai.
Peony menabrak laki-laki itu, sehingga ia nyaris jatuh.
Sambil
terhuyung-huyang, Peony memaki, “Mongol guei-tze! - Setan Mongol!” Ia
mengangkat tangannya, lalu menghunjamkan batu ke wajah laki-laki kecil itu.
Meskipun
tampak rapuh, laki-laki itu ternyata kuat sekali. Begitu Peony mencoba
menyerangnya, ia mencengkeram pergelangan tangan gadis itu. Jari-jarinya mencengkeram
begitu kuat, sehingga Peony menggerenyit kesakitan, lalu menjatuhkan batunya.
Mereka
saling mengenali pada waktu bersamaan.
“Peony!
Berani-beraninya kau memaki orang suci setan!” Laki-laki itu tersenyum,
kemudian melepaskan cengkeramannya. Ia bernama Welas Asih, seorang biksu Buddha
berusia lima puluhan yang mengepalai Kuil Langit.
“Maafkan
aku, shih-fu yang mulia.” Peony membungkuk untuk menyatakan penyesalannya,
sambil mengusap-usap pergelangannya yang terasa pedih. “Semua itu gara-gara suara
gempar orang-orang desa kami dan bayangan bahwa orang-orang Mongol itu
kembali...”
Si
biksu tidak membiarkan Peony menyelesaikan kalimatnya. “Mereka memang kembali,”
ujarnya cepat. “Dan mereka sedang membantai seluruh desa.” Cepat-cepat ia menghampiri
yang lain. “Aku tahu ini musim mengumpulkan bunga, dan aku berharap akan
menemukan kalian di sini.” Ia tersenyum pada gadis-gadis yang ketakutan itu,
kemudian mulai memberikan pengarahan tegas. “Kita harus bersyukur bahwa Sungai
Kuning amat dangkal saat ini. Kalian dapat menelusurinya dengan berpegangan
pada ranting-ranting pohon apel. Jangan sampai ada yang terpeleset, jangan
menengok ke belakang, dan jangan bersuara.”
Sambil
mengatakan itu, Welas Asih mengangkat tepi jubahnya yang panjang, menggulung
lengan-lengannya yang lebar, kemudian melepaskan sepatunya yang berujung runcing.
Sambil memimpin mereka menuju air, ia menoleh untuk menggesa gadis-gadis itu.
Saat
yang lain masih sibuk melepaskan sepatu-sepatu mereka, menggulung celana
panjang, serta menaikkan rok-rok mereka dengan jari-jari gemetar, Peony sudah masuk
ke sungai, masih mengenakan sepatu. Ia tidak merasa butuh berpegangan pada
ranting-ranting pohon, karena ia sudah sering melintasi sungai yang dasarnya
licin itu hanya untuk bersenang-senang. Sambil menunggu di tengah-tengah, ia
menggunakan tangannya untuk membantu dua gadis yang ketakutan. Rok dan
celananya mulai ditarik arus, dan dalam waktu singkat ia sudah kehilangan
sebuah sepatu. Bagian sungai yang terdalam mencapai pundaknya. Mengingat yang
lain jauh lebih pendek darinya, mereka terpaksa berpegangan pada ranting-ranting
pohon apel. Kuntum-kuntum bunga berjatuhan bak hujan yang lebat, berbaur dengan
air mata gadis-gadis itu.
Ketika
sampai di seberang sungai, pakaian mereka yang berlapis-lapis sudah basah
kuyup, sehingga mereka tampak seperti telanjang. Sambil membungkuk dan
merangkulkan lengan di muka dada, mereka mengikuti si biksu tua dengan kepala
tertunduk, memasuki hutan cemara dan pinus. Peony menendang sebelah sepatunya
yang masih tertinggal, kemudian bertelanjang kaki melangkah di sebelah si
biksu. “Apa yang menyebabkan pembantaian kali ini?” bisiknya.
Welas
Asih menjawab dengan suara rendah, “Seorang pengolah arak cuma percaya pada
mata uang tembaga, sehingga dia tidak mau menjual araknya pada orang Mongol
yang ingin membayarnya dengan uang kertas.”
“Hanya
itu?” tanya Peony.
“Itu
bukan hal remeh,” jawab si biksu.
Peony
menengadahkan kepala, menatap matahari sore yang membias masuk menembus hutan
rimbun itu. “Ibuku tentunya ada di pertambangan, menunggui ayahku menikmati
makan siang yang diantarkannya. Para penambang mengenal banyak gua rahasia.
Mereka pasti sudah bersembunyi di tempat aman.”
Si
biksu tidak menyela Peony, meskipun ia sudah singgah di pertambangan itu
sebelum muncul di tepi sungai tadi. Ia sudah melihat orangtua Peony tergeletak
mati di pintu masuk pertambangan—masih berpegangan tangan. Kalau ia
mengungkapkan perihal kematian orangtuanya, Peony akan menjerit-jerit. Kemudian
gadis-gadis yang lain akan bertanya mengenai orangtua masing-masing, dan jawaban
yang akan diberikannya akan membuat kebanyakan mereka ikut menjerit-jerit,
karena lebih dari setengah penduduk desa itu sudah terbantai. Welas Asih tutup
mulut. Ia tidak akan membiarkan anak-anak dombanya yang malang ini
menjerit-jerit hingga suara mereka tertangkap para pembantai itu.
Medan
yang mereka lintasi mulai menanjak. Welas Asih dan Peony membantu gadis-gadis
yang lain mendaki gunung itu. Sebuah tempat sempit yang agak terbuka terbentang
di muka saat mereka hampir sampai di tengah jalan, menuju jalan setapak yang
melingkar ke atas.
Setelah
menelusurinya, mereka sampai di sebuah tebing yang dilindungi beberapa pohon
pinus tinggi. Sambil bersembunyi di balik pohon-pohon itu, mereka menatap ke bawah,
ke arah kaki gunung. Di sana sebuah jembatan gantung melintasi Sungai Kuning
yang saat itu menjadi lebih lebar dan deras oleh arus air di musim semi.
Beberapa serdadu Mongol menjaga jembatan itu, menghadang mereka yang ingin naik
ke gunung melalui rute biasa.
Gadis-gadis
itu melihat penduduk berlari meninggalkan desa mereka, menuju jembatan, tapi
terenyak begitu melihat para serdadu. Mereka segera memutar tubuh, tapi ternyata
langsung berhadapan dengan pedang-pedang para pengejar mereka.
Peony
mengentak-entakkan kaki sambil berusaha memberikan semangat pada mereka yang
belum terbunuh. “Cepat! Lari ke padang rumput, ke bagian sungai yang dangkal!
Seberangi, lalu naik ke gunung! Ayo, tolol! Ayo...”
Sebuah
tangan membekap mulutnya. Welas Asih menggeleng-gelengkan kepala. “Ssst.
Setidaknya sebagian di antara kita harus mencapai Kuil Langit dengan selamat.”