“Saya
rasa belum, Sir. Mestinya saya mendengar kalau dia pulang.”
Pada saat itu, petugas satunya muncul dari
ruang yang bersebelahan, membawa revolver di tangannya. Ia menyodorkannya pada
sang inspektur dengan agak bersemangat. Sebersit rasa puas melintas di wajah
sang inspektur.
“Ini buktinya,” katanya. “Dia pasti masuk
dan keluar lagi tanpa sepengetahuanmu. Dia sudah kena sekarang. Aku akan pergi.
Cawley, kau di sini saja. Siapa tahu dia kembali, dan awasi orang ini. Mungkin
dia tahu lebih banyak tentang majikannya daripada yang pura-pura
diperlihatkannya.”
Sang inspektur lekas-lekas pergi. Dermot
berusaha mendapatkan detail-detail peristiwanya dari Cawley yang tampaknya
senang berbicara.
“Kasusnya cukup jelas,” kata Cawley.
“Pembunuhan itu diketahui hampir seketika itu juga. Johnson, pelayan korban,
baru saja hendak tidur, ketika dia merasa mendengar bunyi tembakan. Dia turun
lagi, dan menemukan Sir Alington sudah tewas, ditembak di jantungnya. Dia
langsung menelepon kami dan kami pun datang, lalu mendengar kisahnya.”
“Karena itu, kasusnya dianggap sudah cukup
jelas?” tanya Dermot.
“Tentu saja. Si West ini pulang bersama
pamannya, dan mereka bertengkar, tepat saat Johnson masuk membawakan minuman. Korban
mengancam akan membuat surat wasiat baru, dan tuanmu mengancam akan
menembaknya. Tidak sampai lima menit kemudian, terdengar suara tembakan. Ya,
cukup jelas. Dasar bodoh anak muda itu. Cukup jelas?”
Semangat Dermot serasa terbang saat ia
menyadari beratnya bukti-bukti yang mengarah kepadanya. Ini benar-benar bahaya
besar, bahaya mengerikan. Dan tak ada jalan keluar, kecuali melarikan diri. Ia
memutar otak. Akhirnya ia menawarkan untuk membuat secangkir teh bagi Cawley.
Cawley menerima dengan antusias. Ia sudah memeriksa keseluruhan flat itu, dan
ia tahu tidak ada pintu belakang.
Dermot diizinkan pergi ke dapur. Begitu
berada di dapur, Dermot menaruh ketel di kompor, lalu pura-pura sibuk dengan
cangkir dan tatakan. Kemudian lekas- lekas ia menyelinap ke jendela, dan membukanya.
Flatnya terletak di lantai dua, dan di luar jendela ada lift kecil dari kawat,
yang bergerak naik-turun pada tali dari baja. Lift itu biasa digunakan oleh
pedagang.
Cepat bagai kilat Dermot sudah berada di
luar jendela, berayun-ayun melalui tali baja itu. Tangannya luka dan berdarah
oleh tali itu, tapi ia terus turun tanpa pikir panjang.
Beberapa menit kemudian ia muncul dengan
waspada dari bagian belakang blok tersebut. Ia berbelok di sudut, dan bertumbukan
dengan sosok seseorang yang sedang berdiri di tepi jalan. Dengan sangat heran
ia menyadari bahwa orang itu adalah Jack Trent. Trent sepenuhnya sadar akan bahayanya
situasi saat ini.
“Ya Tuhan! Dermot! Cepat, jangan
berlama-mama di sini.”
Digamitnya lengan Dermot dan dibawanya ke
sebuah jalan samping, lalu sebuah jalan lagi. Ada taksi kosong. Mereka memanggilnya,
dan melompat masuk. Trent memberikan alamatnya pada si sopir.
“Tempat paling aman untuk saat ini. Di
sana kita bisa memutuskan, apa yang mesti dilakukan selanjutnya, untuk menghilangkan
jejak dari orang-orang tolol itu. Aku tadi datang karena ingin memperingatkanmu
sebelum polisi tiba, tapi aku terlambat.”
“Aku malahan tidak tahu aku sudah dengar
tentang peristiwa itu. Tapi, Jack, kau tidak percaya, kan...”
“Tentu saja tidak, Sobat, sama sekali
tidak. Aku kenal betul dirimu. Tapi tetap saja urusan ini sangat berat bagimu.
Mereka datang dan bertanya macam-macam: jam berapa kau tiba di Grafton
Gallenes, kapan kau pulang, dan sebagainya. Dermot, siapa kira-kira yang
membunuh pamanmu?”
“Tak bisa kubayangkan. Siapa pun
pelakunya, dialah yang menaruh revolver itu di laciku, kurasa. Pasti dia sudah
mengawasi kami dengan cukup saksama.”
“Benar juga kata pemanggil arwah itu,
‘Jangan pulang’, ucapan itu ditujukan bagi pamanmu yang malang rupanya. Tapi
dia pulang juga, dan tewas ditembak.”
“Peringatan itu juga berlaku bagiku,” kata
Dermot. “Aku pulang dan menemukan revolver yang sengaja ditaruh orang lain di
laciku, dan aku didatangi seorang inspektur polisi.”
“Yah, kuharap peringatan itu tidak berlaku
bagiku.” kata Trent.
“Kita sudah sampai.”
Ia membayar taksi, membuka pintu rumah
dengan kuncinya, dan membawa Dermot naik tangga gelap yang menuju ruang kecil
di lantai satu.
Ia membuka pintu dan Dermot berjalan
masuk.
Trent menyalakan lampu, lalu ikut masuk. “Cukup
aman di sini, untuk saat ini,” katanya.
“Sekarang kita bisa membahas, apa yang
sebaiknya dilakukan.”
“Aku benar-benar bodoh,” kata Dermot
dengan tiba-tiba.
“Mestinya kuhadapi saja urusan ini.
Sekarang aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Keseluruhan peristiwa ini
memang sudah direncanakan. Kenapa kau tertawa?”
Trent tertawa terbahak-bahak, tak
terkendali, sambil bersandar di kursinya. Ada kesan mengerikan dalam suara
tawanya, juga dalam keseluruhan sosoknya. Matanya berkilat-kilat aneh.
“Memang plot yang sangat cerdik,” katanya
terengah-engah.
“Dermot, sobatku, habislah kau.” Ia
mendekatkan telepon ke arahnya.
“Kau mau apa?” tanya Dermot.
“Menghubungi Seotland Yard. Memberitahukan
bahwa buruan mereka ada di sini, sudah tak berkutik. Ya, aku mengunci pintu sewaktu
masuk tadi, dan kuncinya ada di sakuku. Tak usah menoleh-noleh ke pintu di belakangku.
Itu pintu ke kamar Claire, dan dia selalu menguncinya dari sebelah sana. Dia
takut padaku. Sudah lama takut padaku. Dia selalu tahu kalau aku sedang memikirkan
pisau itu, pisau panjang yang tajam itu. Tidak, kau tidak...”
Dermot hendak menyerbu ke arah Trent, tapi
Trent sekonyong-konyong sudah mengeluarkan sepucuk revolver yang tampak sangat mengancam.
“Ini revolver yang kedua,” kata Trent
sambil tertawa kecil. “Aku menaruh revolver yang pertama di lacimu setelah
menggunakannya untuk menembak pamanmu. Apa yang kau pandangi? Pintu itu? Percuma.
Kalaupun Claire mau membukanya dan dia mungkin mau membukanya untukmu, aku akan
menembakmu sebelum kau sempat mencapainya. Bukan di jantungmu, bukan tembakan
untuk membunuh, tapi sekadar untuk melumpuhkanmu. Supaya kau tidak bisa kabur.
Aku penembak yang sangat hebat, kau tahu. Aku pernah menyelamatkanmu dulu.
Dasar aku bodoh. Tidak, tidak, aku ingin kau digantung, ya, digantung. Bukan
kau yang ingin kubunuh dengan pisau itu. Pisau itu untuk Claire, ya, Claire
yang cantik, begitu putih dan lembut. Pamanmu tahu. Itu sebabnya dia hadir
malam ini, untuk melihat apakah aku gila atau tidak. Dia ingin aku dimasukkan ke
rumah sakit jiwa supaya aku tidak membunuh Claire dengan pisau itu. Tapi aku
sangat cerdik. Kuambil kunci pintunya, dan kunci pintumu juga. Aku menyelinap
pergi dari tempat dansa itu. Begitu tiba di sana, kulihat kau keIuar dari rumah
pamanmu, dan aku masuk. Kutembak dia. Lalu aku keluar lagi. Sesudahnya aku
pergi ke tempatmu dan menaruh revolver itu di lacimu. Aku sudah berada di Grafton
Galleries lagi, hampir bersamaan dengan saat kedatanganmu. Kumasukkan kembali
kunci pintumu ketika aku mengucapkan selamat malam padamu. Aku tidak keberatan
menceritakan semua ini padamu. Tidak ada orang lain yang mendengarkan, dan saat
kau digantung, aku ingin kau tahu bahwa akulah pelakunya.... Oh oh, ini sangat menggelikan! Apa yang sedang
kau pikirkan? Apa, yang kau pandangi?”
“Aku sedang memikirkan beberapa ucapanmu
tadi. Kau sendiri sebenarnya lebih baik tidak pulang, Trent.”
“Apa maksudmu?”
“Lihat di belakangmu!”
Trent membalikkan tubuh. Di ambang pintu
ruang yang bersambung dengan ruang itu berdiri Claire dan Inspektur Verall.
Trent bertindak cepat. Revolvernya meletus
satu kali dan mengenai sasarannya. Ia tersungkur di meja. Sang inspektur lari menghampirinya,
sementara Dermot tertegun menatap Claire, seperti dalam mimpi. Berbagai pikiran
berkelebat dalam benaknya. Pamannya, pertengkaran mereka, salah pengertian
besar di antara mereka, hukum perceraian Inggris yang takkan pernah membebaskan
Claire dari suami yang sinting, ucapan ”kita
semua mesti mengasihaninya”, plot yang telah disusun Claire dan Sir
Alington, namun bisa tercium oleh Trent yang cerdik, seruan Claire padanya, ”Buruk, buruk, buruk!” Ya, tapi
sekarang....
Sang inspektur menegakkan tubuh kembali.
“Dia sudah mati,” katanya kesal.
“Ya,” Dermot mendengar dirinya sendiri berkata. “Sejak dulu dia
memang penembak jitu....”