Agatha Christie - Anjing Kematian #12



“Saya rasa belum, Sir. Mestinya saya mendengar kalau dia pulang.”
      Pada saat itu, petugas satunya muncul dari ruang yang bersebelahan, membawa revolver di tangannya. Ia menyodorkannya pada sang inspektur dengan agak bersemangat. Sebersit rasa puas melintas di wajah sang inspektur.

      “Ini buktinya,” katanya. “Dia pasti masuk dan keluar lagi tanpa sepengetahuanmu. Dia sudah kena sekarang. Aku akan pergi. Cawley, kau di sini saja. Siapa tahu dia kembali, dan awasi orang ini. Mungkin dia tahu lebih banyak tentang majikannya daripada yang pura-pura diperlihatkannya.”
      Sang inspektur lekas-lekas pergi. Dermot berusaha mendapatkan detail-detail peristiwanya dari Cawley yang tampaknya senang berbicara.
      “Kasusnya cukup jelas,” kata Cawley. “Pembunuhan itu diketahui hampir seketika itu juga. Johnson, pelayan korban, baru saja hendak tidur, ketika dia merasa mendengar bunyi tembakan. Dia turun lagi, dan menemukan Sir Alington sudah tewas, ditembak di jantungnya. Dia langsung menelepon kami dan kami pun datang, lalu mendengar kisahnya.”
      “Karena itu, kasusnya dianggap sudah cukup jelas?” tanya Dermot.
      “Tentu saja. Si West ini pulang bersama pamannya, dan mereka bertengkar, tepat saat Johnson masuk membawakan minuman. Korban mengancam akan membuat surat wasiat baru, dan tuanmu mengancam akan menembaknya. Tidak sampai lima menit kemudian, terdengar suara tembakan. Ya, cukup jelas. Dasar bodoh anak muda itu. Cukup jelas?”
      Semangat Dermot serasa terbang saat ia menyadari beratnya bukti-bukti yang mengarah kepadanya. Ini benar-benar bahaya besar, bahaya mengerikan. Dan tak ada jalan keluar, kecuali melarikan diri. Ia memutar otak. Akhirnya ia menawarkan untuk membuat secangkir teh bagi Cawley. Cawley menerima dengan antusias. Ia sudah memeriksa keseluruhan flat itu, dan ia tahu tidak ada pintu belakang.
      Dermot diizinkan pergi ke dapur. Begitu berada di dapur, Dermot menaruh ketel di kompor, lalu pura-pura sibuk dengan cangkir dan tatakan. Kemudian lekas- lekas ia menyelinap ke jendela, dan membukanya. Flatnya terletak di lantai dua, dan di luar jendela ada lift kecil dari kawat, yang bergerak naik-turun pada tali dari baja. Lift itu biasa digunakan oleh pedagang.
      Cepat bagai kilat Dermot sudah berada di luar jendela, berayun-ayun melalui tali baja itu. Tangannya luka dan berdarah oleh tali itu, tapi ia terus turun tanpa pikir panjang.
      Beberapa menit kemudian ia muncul dengan waspada dari bagian belakang blok tersebut. Ia berbelok di sudut, dan bertumbukan dengan sosok seseorang yang sedang berdiri di tepi jalan. Dengan sangat heran ia menyadari bahwa orang itu adalah Jack Trent. Trent sepenuhnya sadar akan bahayanya situasi saat ini.
      “Ya Tuhan! Dermot! Cepat, jangan berlama-mama di sini.”
      Digamitnya lengan Dermot dan dibawanya ke sebuah jalan samping, lalu sebuah jalan lagi. Ada taksi kosong. Mereka memanggilnya, dan melompat masuk. Trent memberikan alamatnya pada si sopir.
      “Tempat paling aman untuk saat ini. Di sana kita bisa memutuskan, apa yang mesti dilakukan selanjutnya, untuk menghilangkan jejak dari orang-orang tolol itu. Aku tadi datang karena ingin memperingatkanmu sebelum polisi tiba, tapi aku terlambat.”
      “Aku malahan tidak tahu aku sudah dengar tentang peristiwa itu. Tapi, Jack, kau tidak percaya, kan...”
      “Tentu saja tidak, Sobat, sama sekali tidak. Aku kenal betul dirimu. Tapi tetap saja urusan ini sangat berat bagimu. Mereka datang dan bertanya macam-macam: jam berapa kau tiba di Grafton Gallenes, kapan kau pulang, dan sebagainya. Dermot, siapa kira-kira yang membunuh pamanmu?”
      “Tak bisa kubayangkan. Siapa pun pelakunya, dialah yang menaruh revolver itu di laciku, kurasa. Pasti dia sudah mengawasi kami dengan cukup saksama.”
      “Benar juga kata pemanggil arwah itu, ‘Jangan pulang’, ucapan itu ditujukan bagi pamanmu yang malang rupanya. Tapi dia pulang juga, dan tewas ditembak.”
      “Peringatan itu juga berlaku bagiku,” kata Dermot. “Aku pulang dan menemukan revolver yang sengaja ditaruh orang lain di laciku, dan aku didatangi seorang inspektur polisi.”
      “Yah, kuharap peringatan itu tidak berlaku bagiku.” kata Trent.
      “Kita sudah sampai.”
      Ia membayar taksi, membuka pintu rumah dengan kuncinya, dan membawa Dermot naik tangga gelap yang menuju ruang kecil di lantai satu.
      Ia membuka pintu dan Dermot berjalan masuk.
      Trent menyalakan lampu, lalu ikut masuk. “Cukup aman di sini, untuk saat ini,” katanya.
      “Sekarang kita bisa membahas, apa yang sebaiknya dilakukan.”
      “Aku benar-benar bodoh,” kata Dermot dengan tiba-tiba.
      “Mestinya kuhadapi saja urusan ini. Sekarang aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Keseluruhan peristiwa ini memang sudah direncanakan. Kenapa kau tertawa?”
      Trent tertawa terbahak-bahak, tak terkendali, sambil bersandar di kursinya. Ada kesan mengerikan dalam suara tawanya, juga dalam keseluruhan sosoknya. Matanya berkilat-kilat aneh.
      “Memang plot yang sangat cerdik,” katanya terengah-engah.
      “Dermot, sobatku, habislah kau.” Ia mendekatkan telepon ke arahnya.
      “Kau mau apa?” tanya Dermot.
      “Menghubungi Seotland Yard. Memberitahukan bahwa buruan mereka ada di sini, sudah tak berkutik. Ya, aku mengunci pintu sewaktu masuk tadi, dan kuncinya ada di sakuku. Tak usah menoleh-noleh ke pintu di belakangku. Itu pintu ke kamar Claire, dan dia selalu menguncinya dari sebelah sana. Dia takut padaku. Sudah lama takut padaku. Dia selalu tahu kalau aku sedang memikirkan pisau itu, pisau panjang yang tajam itu. Tidak, kau tidak...”
      Dermot hendak menyerbu ke arah Trent, tapi Trent sekonyong-konyong sudah mengeluarkan sepucuk revolver yang tampak sangat mengancam.
      “Ini revolver yang kedua,” kata Trent sambil tertawa kecil. “Aku menaruh revolver yang pertama di lacimu setelah menggunakannya untuk menembak pamanmu. Apa yang kau pandangi? Pintu itu? Percuma. Kalaupun Claire mau membukanya dan dia mungkin mau membukanya untukmu, aku akan menembakmu sebelum kau sempat mencapainya. Bukan di jantungmu, bukan tembakan untuk membunuh, tapi sekadar untuk melumpuhkanmu. Supaya kau tidak bisa kabur. Aku penembak yang sangat hebat, kau tahu. Aku pernah menyelamatkanmu dulu. Dasar aku bodoh. Tidak, tidak, aku ingin kau digantung, ya, digantung. Bukan kau yang ingin kubunuh dengan pisau itu. Pisau itu untuk Claire, ya, Claire yang cantik, begitu putih dan lembut. Pamanmu tahu. Itu sebabnya dia hadir malam ini, untuk melihat apakah aku gila atau tidak. Dia ingin aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa supaya aku tidak membunuh Claire dengan pisau itu. Tapi aku sangat cerdik. Kuambil kunci pintunya, dan kunci pintumu juga. Aku menyelinap pergi dari tempat dansa itu. Begitu tiba di sana, kulihat kau keIuar dari rumah pamanmu, dan aku masuk. Kutembak dia. Lalu aku keluar lagi. Sesudahnya aku pergi ke tempatmu dan menaruh revolver itu di lacimu. Aku sudah berada di Grafton Galleries lagi, hampir bersamaan dengan saat kedatanganmu. Kumasukkan kembali kunci pintumu ketika aku mengucapkan selamat malam padamu. Aku tidak keberatan menceritakan semua ini padamu. Tidak ada orang lain yang mendengarkan, dan saat kau digantung, aku ingin kau tahu bahwa akulah pelakunya.... Oh oh, ini sangat menggelikan! Apa yang sedang kau pikirkan? Apa, yang kau pandangi?”
      “Aku sedang memikirkan beberapa ucapanmu tadi. Kau sendiri sebenarnya lebih baik tidak pulang, Trent.”
      “Apa maksudmu?”
      “Lihat di belakangmu!”
      Trent membalikkan tubuh. Di ambang pintu ruang yang bersambung dengan ruang itu berdiri Claire dan Inspektur Verall.
      Trent bertindak cepat. Revolvernya meletus satu kali dan mengenai sasarannya. Ia tersungkur di meja. Sang inspektur lari menghampirinya, sementara Dermot tertegun menatap Claire, seperti dalam mimpi. Berbagai pikiran berkelebat dalam benaknya. Pamannya, pertengkaran mereka, salah pengertian besar di antara mereka, hukum perceraian Inggris yang takkan pernah membebaskan Claire dari suami yang sinting, ucapan ”kita semua mesti mengasihaninya”, plot yang telah disusun Claire dan Sir Alington, namun bisa tercium oleh Trent yang cerdik, seruan Claire padanya, ”Buruk, buruk, buruk!” Ya, tapi sekarang....
      Sang inspektur menegakkan tubuh kembali.
      “Dia sudah mati,” katanya kesal.
      “Ya,” Dermot mendengar dirinya sendiri berkata. “Sejak dulu dia memang penembak jitu....”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...