Lorong
gelap gulita. Ia melewatinya, membuka pintu depan dan keluar ke jalan, sambil
membanting pintu di belakangnya.
Sebuah taksi baru saja menurunkan
penumpang di rumah di depan sana, dan Dermot menghentikannya, lalu berangkat ke
Grafton Galleries.
Di pintu ruang dansa ia berdiri sejenak.
Kebingungan, kepalanya terasa berputar. Musik jazz yang riuh rendah.
Wanita-wanita yang tersenyum. Ia merasa seperti melangkah masuk ke dunia lain. Apakah
tadi ia bermimpi? Mustahil rasanya bahwa percakapan tidak bersahabat dengan
pamannya tadi benar-benar terjadi. Itu dia. Claire melangkah lewat, bagaikan
bunga lili dalam gaun putih keperakan yang melekat ketat di tubuhnya yang
ramping. Ia tersenyum pada Dermot, wajahnya tenang dan damai. Pasti semua ini
hanya mimpi.
Orang-orang sudah berhenti berdansa.
Claire ada di dekatnya, tersenyum kepadanya. Bagaikan dalam mimpi, ia mengajak
wanita itu berdansa. Sekarang Claire ada dalam pelukannya. Musik yang keras
sudah mengalun kembali.
Ia merasa Claire agak lunglai dalam
pelukannya.
“Capek? Mau berhenti?”
“Kalau kau tidak keberatan. Bisakah kita
mencari tempat untuk bicara? Ada yang ingin kukatakan padamu.”
Ini bukan mimpi. Dermot tersentak kembali
ke bumi. Benarkah tadi ia menganggap wajah Claire tenang dan damai? Wajah yang dilihatnya
ini dihantui kecemasan dan ketakutan. Seberapa banyak yang diketahui Claire?
Dermot menemukan sebuah sudut yang sepi,
dan mereka duduk berdampingan.
“Nah,” katanya, berusaha menampilkan sikap
santai yang sama sekali tidak ia rasakan. “Katamu ada yang ingin kaukatakan padaku?”
“Ya.” Claire menunduk, memainkan
rumbai-rumbai gaunnya dengan gugup. “Tapi agak... sulit.”
“Katakan saja, Claire.”
“Hanya ini... aku ingin kau... pergi dulu
untuk sementara.”
Dermot terperanjat. Ia sama sekali tidak
menduga Claire akan berkata begitu.
“Kau ingin aku pergi? Kenapa?”
“Sebaiknya aku jujur saja, bukan? Aku...
aku tahu kau... orang yang baik, dan kau sahabatku. Aku ingin kau pergi karena
aku... aku telah membiarkan diriku menyukaimu.”
“Claire.”
Kata-katanya membuat Dermot tertegun...
tak sanggup bicara. “Tolong jangan menganggap aku begitu sombongnya hingga membayangkan
kau... kau bisa jatuh cinta padaku. Aku hanya... aku tidak terlalu bahagia...
dan... oh! Aku lebih suka kau pergi saja”
“Claire, apa kau tidak tahu bahwa aku
sudah mencintaimu... amat sangat mencintaimu... sejak pertama kali aku
melihatmu?”
Claire mengangkat wajahnya dengan
terkejut, menatap Dermot.
“Kau mencintaiku? Kau sudah lama
mencintaiku?”
“Sejak awal.”
“Oh!” serunya. “Kenapa tidak kaukatakan
padaku? Waktu itu? Waktu aku masih bisa bersamamu? Kenapa baru menceritakan sekarang,
saat sudah terlambat? Tidak, aku pasti sudah sinting aku tidak tahu apa yang
kukatakan. Aku tidak mungkin bisa bersamamu.”
“Claire, apa maksudmu sudah terlambat'?
Apa... apa karena pamanku? Karena apa yang diketahuinya? Karena pendapatnya?”
Claire mengangguk tanpa berbicara.
Wajahnya basah oleh air mata.
“Dengar. Claire, kau tidak perlu mempercayai
semua itu. Jangan dipikirkan. Kau akan ikut bersamaku. Kita akan pergi ke Laut
Selatan, ke pulau-pulau yang hijau bagaikan permata. Kau akan bahagia di sana.
Dan aku akan menjagamu melindungimu selalu.” Dirangkulnya wanita itu dan
didekatkannya kepadanya: ia merasa Claire gemetar oleh sentuhannya. Namun
Sekonyong-konyong Claire merenggutkan diri darinya.
“Oh, tidak. Apa kau tidak mengerti? Aku
tak bisa sekarang. Akan sangat buruk akibatnya. Buruk, buruk. Selama ini aku ingin menunjukkan sikap baik dan sekarang...
sekarang akibatnya bakal buruk.”
Dermot ragu-ragu. Merasa bingung oleh
kata-kata Claire. Claire menatapnya dengan pandangan memohon.
“Kumohon,” katanya. “Aku ingin bersikap
baik...”
Tanpa berkata apa-apa lagi Dermot berdiri
dari duduknya dan meninggalkannya. Sesaat ia merasa sangat tersentuh, sekaligus
galau oleh apa yang dikatakan Claire tadi. Ia mengambil topi dan mantelnya, dan
bertumbukan dengan Trent.
“Halo, Dermot, kau pulang cepat.”
“Ya. aku sedang tidak berminat berdansa
malam ini.”
“Malam ini sangat buruk,” kata Trent
dengan murung. “Tapi kau pasti tidak secemas aku saat ini.” Sekonyong-konyong
Dermot takut kalau kalau Trent ingin mencurahkan isi hati kepadanya. Jangan sampai, jangan!
“Yah, sampai jumpa,” katanya cepat-cepat.
“Aku mau pulang.”
“Pulang? Bagaimana dengan peringatan dari
arwah itu tadi?”
“Aku akan ambil risiko. Selamat malam,
Jack.”
Flat Dermot tidak jauh. Ia berjalan kaki
pulang, karena merasa perlu menghirup udara malam yang sejuk untuk mendinginkan
otaknya yang panas.
Ia membuka pintu dengan kuncinya lalu
menyalakan lampu di kamar tidur. Dan seketika, untuk kedua kalinya malam itu,
perasaan yang ia sebut sebagai Tanda Bahaya tadi muncul kembali. Perasaan itu
begitu kuat, hingga sesaat bisa mengalihkan pikiran tentang Claire dari
benaknya. Bahaya! Ia ada dalam bahaya. Pada saat ini di ruangan ini ia berada
dalam bahaya! Sia-sia ia mencoba mengibaskan rasa takutnya.
Barangkali sebenarnya usahanya hanya
dilakukan setengah hati. Sejauh ini, Tanda Bahaya itu telah memberinya peringatan
yang membuat ia bisa menghindari malapetaka. Sambil tersenyum sendiri karena
kepercayaannya pada takhayul, ia memeriksa seisi flatnya dengan hati-hati.
Mungkin saja ada orang masuk dan bersembunyi di sini. Tapi pencariannya tidak
menghasilkan apa-apa. Pelayannya, Milson, sedang pergi, dan flat itu
benar-benar kosong.
Ia kembali ke kamar tidunya dan melepaskan
pakaian perlahan-lahan, sambil mengerutkan kening pada dirinya sendiri.
Perasaan sedang terancam bahaya itu masih tetap tajam. Ia beranjak ke laci untuk
mengambil saputangan, dan sekonyong-konyong tertegun.
Ada onggokan yang tidak ia kenal di bagian
tengah laci. Sebuah benda keras.
Jemarinya dengan gugup dan cepat
menyibakkan saputangan itu dan mengambil benda yang tersembunyi di bawahnya. Tenyata
sebuah revolver.
Dengan sangat heran Dermot memeriksa
revolver itu dengan saksama. Polanya agak tidak biasa, dan belum lama ini satu pelurunya
telah ditembakkan. Selain itu, tidak ada petunjuk lain. Seseorang telah menaruh
revolver ini di lacinya sore itu. Tadi benda ini tidak ada ketika ia berpakaian
untuk makan malam, ia yakin itu. Ketika hendak menaruh revolver itu kembali ke
dalam laci, ia terkejut oleh bunyi bel pintu. Lagi dan lagi, kedengaran sangat
nyaring dalam keheningan flat kosong tersebut.
Siapa yang datang pada jam selarut ini?
Dan hanya satu jawaban yang muncul atas pertanyaan tersebut jawaban yang muncul
secara naluriah dan tak ada hentinya.
“Bahaya
bahaya bahaya...”
Dituntun oleh naluri yang tidak ia pahami,
Dermot mematikan lampu, mengenakan mantel yang tergeletak di sebuah kursi lalu membuka
pintu lorong.
Dua laki laki berdiri di luar, dan sekilas
Dermot melihat seragam biru mereka. Polisi!
“Mr. West?” tanya pria yang berdiri paling
depan.
Dermot merasa lama sekali ia baru menjawab,
padahal hanya beberapa detik kemudian ia menjawab pertanyaan tersebut dengan meniru
nada datar pelayannya.
“Mr. West belum pulang. Anda ada keperluan
apa dengannya pada jam selarut ini?”
“Belum pulang, ya? Baiklah, kalau begitu
kami akan masuk dan menunggu saja.”
“Tidak, tidak bisa.”
“Coba dengar. Namaku Inspektur Verall dari
Seotland Yard, dan aku punya surat perintah penangkapan untuk tuanmu. Kau boleh
melihatnya kalau mau.”
Dermot membaca kertas yang disodorkan
padanya, atau pura-pura membacanya, lalu bertanya dengan nada bingung, “Untuk
apa ini? Apa kesalahannya?”
“Pembunuhan. Sir Alington West dari Harley
Street.”
Dengan pikiran bergemuruh, Dermot mundur.
Ia beranjak ke ruang tamu dan menyalakan lampu. Sang inspektur mengikutinya.
“Periksa seluruh tempat ini,” perintahnya
pada petugas satunya.
Kemudian ia beralih pada Dermot. “Kau
tetap di sini, Bung. Jangan coba-coba menyelinap pergi untuk memberitahu
tuanmu. Omong-omong, siapa namamu.
“Milson, Sir.”
“Kapan kira-kira tuanmu pulang, Milson?”
“Saya tidak tahu, Sir, dia pergi ke acara
dansa di Grafton Galleries.”
“Dia keluar dari sana sekitar satu jam
yang lalu. Kau yakin dia belum kembali?”