Agatha Christie - Anjing Kematian #11



Lorong gelap gulita. Ia melewatinya, membuka pintu depan dan keluar ke jalan, sambil membanting pintu di belakangnya.
      Sebuah taksi baru saja menurunkan penumpang di rumah di depan sana, dan Dermot menghentikannya, lalu berangkat ke Grafton Galleries.
      Di pintu ruang dansa ia berdiri sejenak. Kebingungan, kepalanya terasa berputar. Musik jazz yang riuh rendah. Wanita-wanita yang tersenyum. Ia merasa seperti melangkah masuk ke dunia lain. Apakah tadi ia bermimpi? Mustahil rasanya bahwa percakapan tidak bersahabat dengan pamannya tadi benar-benar terjadi. Itu dia. Claire melangkah lewat, bagaikan bunga lili dalam gaun putih keperakan yang melekat ketat di tubuhnya yang ramping. Ia tersenyum pada Dermot, wajahnya tenang dan damai. Pasti semua ini hanya mimpi.
      Orang-orang sudah berhenti berdansa. Claire ada di dekatnya, tersenyum kepadanya. Bagaikan dalam mimpi, ia mengajak wanita itu berdansa. Sekarang Claire ada dalam pelukannya. Musik yang keras sudah mengalun kembali.
      Ia merasa Claire agak lunglai dalam pelukannya.
      “Capek? Mau berhenti?”
      “Kalau kau tidak keberatan. Bisakah kita mencari tempat untuk bicara? Ada yang ingin kukatakan padamu.”
      Ini bukan mimpi. Dermot tersentak kembali ke bumi. Benarkah tadi ia menganggap wajah Claire tenang dan damai? Wajah yang dilihatnya ini dihantui kecemasan dan ketakutan. Seberapa banyak yang diketahui Claire?
      Dermot menemukan sebuah sudut yang sepi, dan mereka duduk berdampingan.
      “Nah,” katanya, berusaha menampilkan sikap santai yang sama sekali tidak ia rasakan. “Katamu ada yang ingin kaukatakan padaku?”
      “Ya.” Claire menunduk, memainkan rumbai-rumbai gaunnya dengan gugup. “Tapi agak... sulit.”
      “Katakan saja, Claire.”
      “Hanya ini... aku ingin kau... pergi dulu untuk sementara.”
      Dermot terperanjat. Ia sama sekali tidak menduga Claire akan berkata begitu.
      “Kau ingin aku pergi? Kenapa?”
      “Sebaiknya aku jujur saja, bukan? Aku... aku tahu kau... orang yang baik, dan kau sahabatku. Aku ingin kau pergi karena aku... aku telah membiarkan diriku menyukaimu.”
      “Claire.”
      Kata-katanya membuat Dermot tertegun... tak sanggup bicara. “Tolong jangan menganggap aku begitu sombongnya hingga membayangkan kau... kau bisa jatuh cinta padaku. Aku hanya... aku tidak terlalu bahagia... dan... oh! Aku lebih suka kau pergi saja”
      “Claire, apa kau tidak tahu bahwa aku sudah mencintaimu... amat sangat mencintaimu... sejak pertama kali aku melihatmu?”
      Claire mengangkat wajahnya dengan terkejut, menatap Dermot.
      “Kau mencintaiku? Kau sudah lama mencintaiku?”
      “Sejak awal.”
      “Oh!” serunya. “Kenapa tidak kaukatakan padaku? Waktu itu? Waktu aku masih bisa bersamamu? Kenapa baru menceritakan sekarang, saat sudah terlambat? Tidak, aku pasti sudah sinting aku tidak tahu apa yang kukatakan. Aku tidak mungkin bisa bersamamu.”
      “Claire, apa maksudmu sudah terlambat'? Apa... apa karena pamanku? Karena apa yang diketahuinya? Karena pendapatnya?”
      Claire mengangguk tanpa berbicara. Wajahnya basah oleh air mata.
      “Dengar. Claire, kau tidak perlu mempercayai semua itu. Jangan dipikirkan. Kau akan ikut bersamaku. Kita akan pergi ke Laut Selatan, ke pulau-pulau yang hijau bagaikan permata. Kau akan bahagia di sana. Dan aku akan menjagamu melindungimu selalu.” Dirangkulnya wanita itu dan didekatkannya kepadanya: ia merasa Claire gemetar oleh sentuhannya. Namun Sekonyong-konyong Claire merenggutkan diri darinya.
      “Oh, tidak. Apa kau tidak mengerti? Aku tak bisa sekarang. Akan sangat buruk akibatnya. Buruk, buruk. Selama ini aku ingin menunjukkan sikap baik dan sekarang... sekarang akibatnya bakal buruk.”
      Dermot ragu-ragu. Merasa bingung oleh kata-kata Claire. Claire menatapnya dengan pandangan memohon.
      “Kumohon,” katanya. “Aku ingin bersikap baik...”
      Tanpa berkata apa-apa lagi Dermot berdiri dari duduknya dan meninggalkannya. Sesaat ia merasa sangat tersentuh, sekaligus galau oleh apa yang dikatakan Claire tadi. Ia mengambil topi dan mantelnya, dan bertumbukan dengan Trent.
      “Halo, Dermot, kau pulang cepat.”
      “Ya. aku sedang tidak berminat berdansa malam ini.”
      “Malam ini sangat buruk,” kata Trent dengan murung. “Tapi kau pasti tidak secemas aku saat ini.” Sekonyong-konyong Dermot takut kalau kalau Trent ingin mencurahkan isi hati kepadanya. Jangan sampai, jangan!
      “Yah, sampai jumpa,” katanya cepat-cepat. “Aku mau pulang.”
      “Pulang? Bagaimana dengan peringatan dari arwah itu tadi?”
      “Aku akan ambil risiko. Selamat malam, Jack.”
      Flat Dermot tidak jauh. Ia berjalan kaki pulang, karena merasa perlu menghirup udara malam yang sejuk untuk mendinginkan otaknya yang panas.
      Ia membuka pintu dengan kuncinya lalu menyalakan lampu di kamar tidur. Dan seketika, untuk kedua kalinya malam itu, perasaan yang ia sebut sebagai Tanda Bahaya tadi muncul kembali. Perasaan itu begitu kuat, hingga sesaat bisa mengalihkan pikiran tentang Claire dari benaknya. Bahaya! Ia ada dalam bahaya. Pada saat ini di ruangan ini ia berada dalam bahaya! Sia-sia ia mencoba mengibaskan rasa takutnya.
      Barangkali sebenarnya usahanya hanya dilakukan setengah hati. Sejauh ini, Tanda Bahaya itu telah memberinya peringatan yang membuat ia bisa menghindari malapetaka. Sambil tersenyum sendiri karena kepercayaannya pada takhayul, ia memeriksa seisi flatnya dengan hati-hati. Mungkin saja ada orang masuk dan bersembunyi di sini. Tapi pencariannya tidak menghasilkan apa-apa. Pelayannya, Milson, sedang pergi, dan flat itu benar-benar kosong.
      Ia kembali ke kamar tidunya dan melepaskan pakaian perlahan-lahan, sambil mengerutkan kening pada dirinya sendiri. Perasaan sedang terancam bahaya itu masih tetap tajam. Ia beranjak ke laci untuk mengambil saputangan, dan sekonyong-konyong tertegun.
      Ada onggokan yang tidak ia kenal di bagian tengah laci. Sebuah benda keras.
      Jemarinya dengan gugup dan cepat menyibakkan saputangan itu dan mengambil benda yang tersembunyi di bawahnya. Tenyata sebuah revolver.
      Dengan sangat heran Dermot memeriksa revolver itu dengan saksama. Polanya agak tidak biasa, dan belum lama ini satu pelurunya telah ditembakkan. Selain itu, tidak ada petunjuk lain. Seseorang telah menaruh revolver ini di lacinya sore itu. Tadi benda ini tidak ada ketika ia berpakaian untuk makan malam, ia yakin itu. Ketika hendak menaruh revolver itu kembali ke dalam laci, ia terkejut oleh bunyi bel pintu. Lagi dan lagi, kedengaran sangat nyaring dalam keheningan flat kosong tersebut.
      Siapa yang datang pada jam selarut ini? Dan hanya satu jawaban yang muncul atas pertanyaan tersebut jawaban yang muncul secara naluriah dan tak ada hentinya.
      Bahaya bahaya bahaya...
      Dituntun oleh naluri yang tidak ia pahami, Dermot mematikan lampu, mengenakan mantel yang tergeletak di sebuah kursi lalu membuka pintu lorong.
      Dua laki laki berdiri di luar, dan sekilas Dermot melihat seragam biru mereka. Polisi!
      “Mr. West?” tanya pria yang berdiri paling depan.
      Dermot merasa lama sekali ia baru menjawab, padahal hanya beberapa detik kemudian ia menjawab pertanyaan tersebut dengan meniru nada datar pelayannya.
      “Mr. West belum pulang. Anda ada keperluan apa dengannya pada jam selarut ini?”
      “Belum pulang, ya? Baiklah, kalau begitu kami akan masuk dan menunggu saja.”
      “Tidak, tidak bisa.”
      “Coba dengar. Namaku Inspektur Verall dari Seotland Yard, dan aku punya surat perintah penangkapan untuk tuanmu. Kau boleh melihatnya kalau mau.”
      Dermot membaca kertas yang disodorkan padanya, atau pura-pura membacanya, lalu bertanya dengan nada bingung, “Untuk apa ini? Apa kesalahannya?”
      “Pembunuhan. Sir Alington West dari Harley Street.”
      Dengan pikiran bergemuruh, Dermot mundur. Ia beranjak ke ruang tamu dan menyalakan lampu. Sang inspektur mengikutinya.
      “Periksa seluruh tempat ini,” perintahnya pada petugas satunya.
      Kemudian ia beralih pada Dermot. “Kau tetap di sini, Bung. Jangan coba-coba menyelinap pergi untuk memberitahu tuanmu. Omong-omong, siapa namamu.
      “Milson, Sir.”
      “Kapan kira-kira tuanmu pulang, Milson?”
      “Saya tidak tahu, Sir, dia pergi ke acara dansa di Grafton Galleries.”
      “Dia keluar dari sana sekitar satu jam yang lalu. Kau yakin dia belum kembali?”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...