Mobil
itu melaju pergi, sementara Sir Alington berdiri di undak-undak sia-sia
memeriksa saku-sakunya. “Pasti tertinggal di mantel satunya,” katanya akhirnya.
“Bisa tolong pencet bel? Aku yakin Johnson masih belum tidur.”
“Salah menaruh kunci, Johnson,” Sir
Alington menjelaskan. “Tolong bawakan dua gelas wiski dan soda ke perpustakaan,
ya?”
“Baik, Sir Alington.”
Sir Alington melangkah ke ruang
perpustakaan dan menyalakan lampu-lampu. Ia mengisyaratkan pada Dermot agar menutup
pintu setelah masuk.
“Aku tidak akan lama. Dermot. Ada sesuatu
yang ingin kukatakan padamu. Apakah ini cuma bayanganku saja, ataukah kau
memang punya... katakanlah perasaan
khusus terhadap Mrs. Jack Trent?”
Wajah Dermot memerah. “Jack Trent itu teman
baikku.”
“Maafkan aku, tapi itu sama sekali tidak
menjawab pertanyaanku. Aku yakin kau menganggap pandangan-pandanganku mengenai
perceraian dan hal-hal semacamnya terlalu puritan, tapi mesti kuingatkan padamu
bahwa kau satu-satunya kerabat dekatku dan ahli warisku.”
“Tidak
bakal ada perceraian,” kata Dermot dengan marah.
“Memang
tidak ada, untuk alasan yang barangkali lebih bisa dipahami olehku daripada
olehmu. Aku tak bisa memaparkan alasan itu sekarang, tapi aku ingin
memperingatkanmu. Claire Trent tidak tepat untukmu.”
Dermot menatap mata pamannya dengan tajam.
“Aku mengerti... dan izinkan aku mengatakan bahwa barangkali aku mengerti lebih
baik daripada yang Paman kira. Aku tahu alasan kehadiran Paman pada acara makan
malam tadi.”
“O ya?” Sir Alington jelas tampak terkejut
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Anggap saja itu sekadar tebakan, Sir.
Ucapanku benar, bukan, bahwa Paman hadir untuk alasan yang berkaitan dengan...
profesi Paman.”
Sir Alington mondar-mandir di ruangan
tersebut. “Kau benar sekali, Dermot. Tapi tentu saja aku tidak bisa mengatakannya
padamu, walau kurasa tak lama lagi rahasia ini akan tersebar juga.”
Dermot merasa jantungnya melompat. “Maksud
Paman, Paman sudah... mengambil kesimpulan?”
“Ya, ada kegilaan dalam keluarga itu dari
sisi ibu. Kasus yang menyedihkan... amat sangat menyedihkan.”
“Aku tak percaya, Sir.”
“Aku yakin tidak. Bagi orang awam, sedikit
sekali tanda-tanda yang terlihat.”
“Dan bagi ahlinya?”
“Buktinya sudah jelas. Dalam kasus semacam
itu, si pasien mesti dimasukkan ke rumah sakit jiwa, sesegera mungkin.”
“Ya Tuhan!” Dermot terkesiap. “Tapi orang
tak bisa dirumahsakitkan seperti itu dengan begitu saja.”
“Dermot! Pasien di-rumah-sakit-jiwakan
hanya kalau keberadaan mereka di tengah masyarakat bisa membahayakan komunitasnya.”
“Bahaya ini sangat serius. Kemungkinan
besar yang dialaminya adalah homicidal munia. Itulah yang terjadi dalam kasus
ibunya.”
Dermot memalingkan muka sambil mengerang,
lalu membenamkan wajah di kedua tangannya. Claire,
Claire yang putih dan berambut emas!
“Dalam keadaan ini,” Sir Alington
melanjutkan dengan santai, “aku merasa wajib memperingatkanmu.”
“Claire,” gumam Dermot. “Claire-ku yang
malang.”
“Ya, memang, kita semua mesti merasa
kasihan padanya.”
Sekonyong-konyong Dermot mengangkat
kepala. “Aku tidak percaya.”
“Apa?”
“Kubilang aku tidak percaya. Dokter-dokter
bisa saja membuat kesalahan. Semua orang tahu itu. Dan mereka selalu sok yakin
kalau menyangkut bidang mereka.”
“Dermot,” kata Sir Alington dengan marah.
“Kubilang aku tidak percaya. Lagipula,
kalaupun benar demikian, aku tidak peduli. Aku mencintai Claire. Kalau dia mau
ikut denganku, akan kubawa dia pergi jauh-jauh lepas dari jangkauan
dokter-dokter yang suka ikut campur. Aku akan menjaganya, mengurusnya, menaunginya
dengan cintaku.”
“Kau tidak boleh berbuat begitu. Apa kau
sudah gila?”
Dermot tertawa mengejek.
“Kalian pasti akan menganggap begitu aku
yakin.”
“Coba kau pahami, Dermot.” Wajah Sir
Alington merah padam oleh kemarahan tertahan. “Kalau kau melakukan tindakan
itu, tindakan memalukan itu, habislah sudah. Aku akan menarik kembali uang saku
yang saat ini kuberikan padamu, dan aku akan membuat surat wasiat baru,
meninggalkan keseluruhan hartaku pada berbagai rumah sakit “
“Silakan berbuat sesuka Paman dengan uang
itu,” kata Dermot dengan suara pelan. “Aku tetap mesti memiliki wanita yang kucintai.”
“Wanita yang...”
“Paman berani mengucapkan satu kata saja
yang menjelek-jelekkan dia, dan demi Tuhan, akan kubunuh Paman!” teriak Dermot.
Suara pelan denting gelas membuat mereka
sama-sama membalikkan tubuh. Karena terbakar oleh perdebatan mereka tadi, keduanya
tidak mendengar Johnson melangkah masuk dengan membawa nampan berikut
gelas-gelas. Wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apa pun, sebagaimana
layaknya pelayan yang baik, tapi Dermot bertanya-tanya, seberapa banyak yang
telah didengarnya.
“Itu saja, Johnson,” kata Sir Alington
dengan tegas. “Kau boleh pergi tidur.”
“Terima kasih, Sir. Selamat malam, Sir.”
Johnson mengundurkan diri.
Kedua orang itu saling pandang. Interupsi
sesaat tadi telah meredakan kemarahan mereka.
“Paman,” kata Dermot, “mestinya aku tidak
bicara kasar seperti tadi. Aku mengerti bahwa dari sudut pandang Paman. Paman
benar sekali. Tapi aku sudah lama mencintai Claire Trent. Sejauh ini, aku tak
pernah menyatakan cintaku pada Claire, berhubung Jack Trent adalah sahabat
baikku. Tapi mengingat situasi sekarang ini, fakta itu tidak. penting lagi.
Salah kalau Paman menganggap faktor uang bisa membuatku berubah pikiran. Kurasa
tidak ada lagi yang bisa dibicarakan di antara kita. Selamat malam.”
“Dermot...”
“Sungguh, tak ada gunanya berdebat lebih
lanjut. Selamat malam, Paman Alington. Aku menyesal, tapi bagaimana lagi.”
Dermot cepat-cepat keluar, menutup pintu
di belakangnya.