Andri Rizki Putra, "Orang Jujur Tidak Sekolah" (1)

properti Kabarinews.com
Andri Rizki Putra, begitu namanya, adalah seorang pemuda yang putus sekolah sejak duduk di bangku SD serta SMP. Pasal utamanya adalah soal biaya, namun ia tetap melanjutkan pendidikan hingga tamat SMA--yang ia lewati selama satu tahun. Gelar Sarjana Hukum ia raih dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, selama tiga tahun dengan predikat "cum laude". Maka, sebagai rasa syukur, Rizki mendirikan sebuah yayasan yang disebut Yayasan Pemimpin Anak Bangsa atau YPAB, untuk anak-anak yang putus sekolah.

Ketika SD, Rizki tidak diperbolehkan mengikuti ujian karena iuran bulanan belum dilunasi. Ibu Rizki, Arlina Sariani, harus pontang-panting berikhtiar mencari rezeki ke sana-sini seorang diri. Tatkala biaya sekolah sudah mampu dilunasi, Rizki pun akhirnya dapat mengikuti ujian, ia lulus dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama unggulan di daerah Jakarta Selatan. Memasuki Ujian Nasional tingkat SMP pada tahun 2006, Rizki lagi-lagi menemui kendala. Tapi kali ini bukan soal biaya, melainkan sikap pihak sekolah yang agak nakal; banyak siswa-siswi yang "dibiarkan" menyontek begitu saja, para guru terkesan tidak berusaha mencegah, alih-alih beralternatif demikian, malah sebaliknya, menurut Rizki, ada juga guru yang mengirim pesan via ponsel berisi jawaban-jawaban ujian tersebut. Padahal asumsinya, sekolah merupakan surga ilmu pengetahuan, dengan belajar seseorang bisa menjadi pribadi yang cerdas serta berjiwa luhur.

Menyadari kenakalan pihak sekolah, Rizki segera berniat melaporkan keculasan ini pada kepala sekolah di ruangannya. Namun di tengah perjalanan, ia dicegah oleh seorang guru. "Ayo kembali ke kelas," kata guru itu. "Kenapa Rizki tidak minta jawaban? Nanti saya kasih." Rizki yang muak, hanya menggeleng, ia tetap bersikeras menolak untuk main curang. "Apa jadinya kalau institusi pendidikan yang digadang-gadang mampu mengantarkan seseorang jadi pribadi yang lebih baik justru menghalalkan cara curang meluluskan muridnya?" tanya pemuda kelahiran Medan, 20 Oktober 1991 ini. "Bagaimana jadinya bangsa ini kelak?"

Seiring waktu, Rizki sempat merasa putus asa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, karena peristiwa-peristiwa kurang mengenakan yang ia lewati itu. Padahal kalau dilihat dari predikat akademik, ia adalah siswa yang berperingkat bagus.

Tapi Rizki tidak berhenti belajar. Ia memilih tidak sekolah, melainkan dalam istilahnya, adalah "unschooling", atau tidak bersekolah. Menurutnya, metode ini merupakan sikap protes Rizki kepada pihak institusi pendidikan yang membiarkan kecurangan-kecurangan itu. Selain itu, "unschooling" juga bisa mengurangi beban sang ibu agar tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pendidikannya.  Namun "unschooling" tidak sama seperti "homeschooling" (sekolah di rumah--yang membutuhkan guru privat), bagi Rizki, "unschooling" adalah belajar sendiri, seperti membaca atau surfing di dunia maya dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, otodidak. Tapi otodidak ala Rizki ini lebih cenderung seperti program pemerintah untuk pendidikan informal, yaitu berupa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sehingga dari metode yang diimplementasikan dalam kesehariannya ini membuahkan ijazah Paket C. Awalnya tidak mudah, masyarakat menganggap metode ini sebuah kekeliruan: "Semua orang sangat tidak mendukung," katanya. "Bahkan mereka menganggap ibu saya gila karena membiarkan anaknya tidak sekolah." Beruntung, ibu Rizki sepenuhnya mendukung, "Hubungan saya dan ibu sangat terbuka," katanya, "jadi tidak heran kalau ibu mendukung sewaktu saya memutuskan berhenti sekolah. Dia bisa memahami saya."

Dalam perjalanannya, Rizki tidak begitu saja bisa meraih segala yang ia capai saat ini dengan mudah. "Saya harus jalani situasi depresi dan rasa putus asa itu," tuturnya. "Belum lagi anggapan orang yang mengatakan kalau Paket C identik dengan mereka yang putus sekolah. Banyak orang bilang ijazah ini lebih rendah dan tidak menjamin dapat lulus dan masuk universitas negeri. Namun, satu hal yang saya yakin; jika saya tidak bisa menolong diri saya sendiri, siapa lagi yang bisa membantu." Maka, berbekal motivasi ini, ia lebih giat belajar serta mencari tahu lewat internet mengenai program pendidikan yang ia cari. Seiring waktu, ia menemukan sebuah program pendidikan yang memiliki konsep setara seperti pendidikan formal sesungguhnya, yaitu dapat mengikuti ujian dan meraih ijazah.

Pada 2006, ketika Rizki baru lulus dari SMP (dan berhenti dari pendidikan formal), ia mengikuti sebuah program "placement test", yaitu metode pendidikan yang dapat mempercepat jangka waktu SMA  pada umumnya: jika SMA membutuhkan minimal 3 tahun lamanya untuk mendapatkan sebuah ijazah, metode ini bisa mengurangi jangka waktu tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Rizki menyanggupi itu. Dalam waktu satu tahun, di usia 16, ia lulus SMA.

Lanjut ke bagian 2
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...