Agatha Christie - Anjing Kematian #13



Orang Keempat


CANON Parfitt agak terengah-engah. Berlari mengejar kereta sama sekali tidak cocok untuk orang seusianya. Tubuhnya sudah tidak seperti dulu lagi, dan dengan hilangnya sosok langsingnya yang dulu, muncul kecenderungan yang makin meningkat untuk kehabisan napas. Sang Canon sendiri selalu menyebut kecenderungan tersebut sebagai ”Jantungku, tahu?” dengan berwibawa tentunya.

      Ia mengempaskan diri ke sudut gerbong kelas satu sambil mendesah lega. Kehangatan gerbong yang diberi pemanas itu sangat menyenangkan hatinya. Di luar, salju masih terus turun. Beruntung sekali bisa mendapatkan tempat duduk di sudut, dalam perjalanan malam yang panjang ini. Kalau tidak, perjalanan ini bisa sangat tidak menyenangkan. Pasti ada gerbong tidur di kereta ini. Ketiga sudut lainnya sudah ditempati dan saat melihat-lihat, Canon Parfitt menyadari bahwa pria di sudut ujung sana tengah tersenyum padanya dengan sikap mengenali. Pria itu kelimis, dengan wajah lucu dan rambut yang mulai kelabu di kedua pelipisnya. Profesinya jelas di bidang hukum, dan tak seorang pun akan salah menduga hal itu. Sir George Durand memang seorang pengacara yang sangat terkenal.
      “Wah, Parfitt,” katanya ramah, “Anda lari mengejar kereta, ya?”
      “Sangat tidak bagus untuk jantungku, sebenarnya,” sahut sang Canon. “Kebetulan sekali bertemu dengan Anda, Sir George. Apakah Anda akan bepergian ke utara?”
      “Ke Newcastle,” Sir George menjawab singkat. “Omong-omong,” ia menambahkan, “Anda kenal Dr. Campbell Clark?”
      Pria yang duduk di sisi gerbong yang sama dengan sang Canon memiringkan kepala dengan sikap ramah.
      “Tadi kami bertemu di peron,” Sir George melanjutkan. “Suatu kebetulan lagi.”
      Canon Parfitt mernandangi Dr. Campbell Clark dengan penuh minat. Ia sudah sering mendengar nama dokter ini. Dr. Clark sangat terkenal sebagai dokter dan ahli kejiwaan, dan buku terbarunya, The Problem of the Unconseious Wind, menjadi buku yang paling banyak dibicarakan sepanjang tahun.
      Canon Parfitt memperhatikan rahang sang dokter yang persegi, sepasang mata birunya yang sangat tegas, dan rambut kemerahan yang belum tersentuh warna kelabu sedikit pun, namun sudah menipis dengan cepat. Ia juga mendapat kesan bahwa dokter ini memiliki kepribadian yang sangat dominan. Setelah itu, secara otomatis sang Canon memandang ke tempat duduk yang berhadapan dengannya. Setengah berharap bahwa orang yang duduk di situ juga mengenalinya, tapi orang keempat di gerbang itu ternyata sama sekali tak dikenalnya. Orang asing, tebak sang Canon. Kulitnya agak gelap dan sosoknya kecil, penampilannya tidak terlalu istimewa. Ia duduk meringkuk dalam mantel besar yang dikenakannya, dan tampaknya tertidur nyenyak.
      “Canon Parfitt dari Bradchestee?” tanya Dr. Campbell Clark dengan suara yang enak didengar.
      Sang Canon tampak tersanjung. ”Kebaktian-kebaktian ilmiah” yang diselenggarakannya benar-benar menjadi sukses besar terutama sejak pihak Pers memberitakannya. Yah, memang itulah yang dibutuhkan gereja, hal-hal modern yang bagus dan up-to-date.
      “Saya sudah membaca buku Anda dan merasa sangat tertarik, Dr. Campbell Clark,” katanya. “Walaupun ada bagian-bagian yang terlalu teknis untuk bisa saya pahami.”
      Sir George Durand menimpali. “Anda mau mengobrol atau tidur, Canon?” tanyanya. “Terus terang saja, aku ini mengidap insomnia, karenanya aku lebih memilih mengobrol.”
      “Oh! Tentu. Tentu saja,” sahut sang Canon. “Aku sendiri jarang tidur kalau mengadakan perjalanan-perjalanan malam begini, dan buku yang kubawa juga sangat tidak menarik.”
      “Yang jelas, kita bertiga merupakan kelompok yang cukup mewakili,” kata sang dokter dengan tersenyum. “Satu mewakili Gereja, satu bidang Hukum, dan satu lagi bidang Kedokteran.”
      “Berarti kita bisa saling tukar pendapat, bukan?” kata Sir George sambil tertawa. “Wakil Gereja dari sudut pandang spiritual, aku sendiri dari sudut pandang hukum yang sepenuhnya duniawi, dan Anda, Dokter, dari sudut pandang yang paling luas, mulai dari yang sepenuhnya patologis sampai yang super-psikologis! Kurasa kita bertiga bisa meliput topik apa pun dengan cukup lengkap.”
      “Kurasa tidak selengkap yang Anda bayangkan,” kata Dr. Clark.
      “Ada sudut pandang lain yang Anda lupakan, padahal cukup penting.”
      “Maksudnya?” tanya Sir George.
      “Sudut pandang orang awam.”
      “Apa itu penting? Bukankah orang awam biasanya salah?”
      “Oh! Hampir selalu. Tapi orang awam memiliki sesuatu yang tidak dipunyai oleh para ahli, sudut pandang pribadinya sendiri. Pada akhinya, kita tak bisa mengingkari hubungan-hubungan pribadi. Aku sudah belajar hal itu dalam profesiku. Lima banding satu, pasien-pasien yang datang padaku sebenarnya tidak sakit apa-apa; masalah mereka hanyalah mereka tidak merasa bahagia hidup dengan orang-orang yang serumah dengan mereka. Keluhan mereka macam-macam, mulai dari benjolan di lutut sampai kram otot tangan, tapi semuanya sama saja, penyebabnya adalah gesekan antarpikiran.”
      “Kurasa pasien-pasien Anda banyak yang mengalami masalah dengan ’saraf'’ mereka,” kata sang Canon dengan nada agak meremehkan. Ia sendiri punya saraf-saraf yang sangat bagus.
      “Ah, apa maksud. Anda?” Dr. Clark berbalik ke arahnya, cepat seperti kilat. “Saraf. Orang suka menggunakan kata itu seenaknya dan tertawa sesudahnya, seperti Anda tadi. ’Tidak ada yang sakit dengan si anu dan si anu,' kata mereka. ’Cuma masalah saraf’. Tapi, Bung, justru itu masalah yang paling penting sebenarnya! Penyakit fisik bisa dideteksi dan disembuhkan. Tapi sampai masa sekarang ini, pengetahuan kita tentang penyebab-penyebab tak jelas dari seratus satu bentuk penyakit saraf masih tidak banyak kemajuannya dibandingkan pada zaman... yah, pada zaman Ratu Elizabeth!”
      “Astaga,” kata Canon Parfitt, yang agak terkejut dengan serangan gencar sang dokter. “Benarkah begitu?”
      “Jangan salah.” Dr. Campbell Clark melanjutkan, “itu suatu tanda kelebihan manusia. Zaman dulu kita menganggap manusia hanyalah binatang yang bodoh, punya tubuh dan jiwa... dengan tekanan pada tubuh saja.”
      “Tubuh, jiwa, dan roh,” Canon Parfitt mengoreksi dengan nada biasa.
      “Rob?” sang dokter tersenyum ganjil. “Apa sebenarnya yang dimaksud kalian, para pendeta ini, dengan roh. Kalian tidak pernah memberikan penjelasan yang jernih tentang hal satu itu. Sepanjang zaman kalian takut membuat definisi yang setepatnya.”
      Sang Canon berdehem, siap-siap memberikan ceramah, tapi ia kecewa karena ternyata tidak diberi kesempatan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...