Episode
8
Lu berdiri di muka jendela kamar tidurnya, mengawasi
langit malam yang diterangi cahaya kembang api.
“Tuan
Muda, cepatlah. Semua sudah berkumpul di tepi Danau Angin Berbisik!” ujar
pelayan dari ambang pintu. “Wali Kota, para tamu, serta penduduk kota Yin-tin!”
Lu tiba
di danau tepat saat para pelayan menembakkan kumpulan anak panah terakhir.
Bola-bola api melayang tinggi, meledak, kemudian membentuk semburat aneka corak
dan warna. Corak naga hijau keemasan yang mengayunkan cakar seakan ingin meraih
bulan. Corak burung phoenix biru keperakan menebarkan sayap, kemudian melesat
melintasi Sungai Kejora. Corak serangkaian bunga krisan kuning yang mengembang
di antara gumpalan awan. Corak rimbunan pohon ceri merah yang menghiasi puncak
gunung. Tak satu pun di antara ilusi-ilusi yang menakjubkan itu bertahan. lama.
Begitu terwujud, semua langsung buyar bak bintang-bintang yang berjatuhan dalam
aneka warna, kemudian berubah menjadi asap sebelum menyentuh tanah.
Tiba-tiba
gong-gong dibunyikan di sisi lain Danau Angin Berbisik. Lu menoleh, lalu
melihat barongsai berbentuk singa dari sutra yang dihias meriah sepanjang lebih
dari lima belas meter. Dua puluh pemuda yang mengenakan celana panjang hitam,
bertelanjang dada, mengacungkan selongsong tubuh singa yang luwes itu sambil
menarikan jurus-jurus langkah yang sudah mereka latih lebih dulu. Kepala singa
itu disanggah seorang lelaki tua yang sudah memimpin kelompok itu selama
beberapa dekade. Ia mengendalikan mata dan mulut si singa dengan membuatnya
berkedip, melirik genit, tersenyum, atau mencebik.
Saat si
singa berkelit dan melompat lincah ke sana kemari mengitari danau, Lu mengawasi
sekelilingnya. Ia melihat banyak petani berdiri di dekatnya, laki-laki dan perempuan,
ikut menikmati pertunjukan langka itu. Ia melihat ayahnya, namun ibunya serta
para tamu wanita lainnya tidak kelihatan. Kecuali orang-orang asing yang masih
ingin memuaskan rasa ingin tahu mereka, semua tamu pria lain sudah cukup sering
menyaksikan pertunjukan seperti itu. Mereka bersikap tak acuh. Mereka malah berpaling
ke arah jalan yang menuju rumah kediaman keluarga Lu. Akhirnya seorang pelayan
laki-laki muncul sambil berlari membawa kuali besi yang berat, yang dibebat
beberapa lapis lampin.
Lu
mengerutkan alis. Kuali itu berisi mata uang tembaga yang panas dan beberapa
pasang sumpit besi bergagang kayu.
“Untuk
apa itu?” tanya seorang tamu asing.
“Perhatikan
saja,” jawab penerjemahnya. “Orang-orang kaya di Cina mempunyai cara tersendiri
untuk memperoleh kesenangan.”
Kuali
itu diletakkan di tanah. Para tamu bergegas mendekat, lalu dengan sumpit yang
disediakan mereka mulai menjumputi mata uang yang membara itu untuk dilemparkan
ke arah si singa. Selama beberapa waktu orang-orang asing itu memperhatikan,
kemudian segera mengikuti contoh orang-orang kaya itu.
Si
singa terbuat dari sutra, dihiasi benang perak dan emas, serta manik-manik kaca
dan batu-batuan setengah berharga. Kostum singa itu merupakan sumber penghidupan
para penarinya, dan mereka tak ingin itu terbakar. Oleh karenanya mereka
mencoba melindunginya dengan tubuh-tubuh mereka sendiri dan atraksi itulah yang
sebetulnya ditunggu-tunggu para tamu.
Orang-orang
kaya itu langsung beraksi, diikuti oleh tamu-tamu asing. Mata uang yang putih
dan panas itu segera mendarat di tubuh telanjang para penari, membakar kulit
mereka sehingga menimbulkan suara mendesis dan bau aneh. Para penari berteriak
sambil menggeliat kesakitan. Si singa bergulir, kemudian sempoyongan seakan
mabuk.
Orang-orang
Cina kaya itu tertawa. Orang-orang asing geli. Kebanyakan di antara petani yang
ikut menyaksikan pertunjukan itu marah, tapi sebagian lagi ikut menikmati permainan
itu, mengingat bukan kulit mereka yang terbakar saat itu.
“Cukup!”
seru Lu begitu ia tak tahan lagi. Ia melambaikan tangan ke arah si pelayan yang
mengeluarkan kuali itu. “Bawa pergi kepingan-kepingan logam panas itu dari
sini!”
Para
tamu kehormatan menoleh ke arah Wali Kota Lu dengan tertegun. Mereka berharap
ia akan menegur putranya.
Wali
Kota tidak mengacuhkan cara mereka menatapnya, melainkan mengangguk ke arah si
pelayan. “Laksanakan apa yang baru dikatakan tuan mudamu. Mulai hari ini, kalau
ada tarian barongsai yang disponsori keluarga kami, jangan pernah keluarkan
mata uang panas seperti itu lagi.”
Si
singa berhenti menari untuk sesaat. Para penarinya berdiri tertegun, tidak
yakin apakah mereka harus berterima kasih pada wali kota baru dan putranya atau
protes. Meskipun pernyataan ini membebaskan mereka dari siksaan, mereka juga
tidak mendapatkan mata uang logam lagi, yang biasanya mereka pungut saat kepingan-kepingan
itu sudah dingin.
Suara
Wali Kota Lu itu terdengar oleh semua yang hadir di sekitar tepi danau.
“Berikan seluruh isi kuali itu kepada para penari. Mereka bisa membagi-baginya,
begitu sudah tidak panas lagi.”
Orang-orang
asing kecewa permainan sudah berakhir, sementara orang-orang Cina protes keras.
“Wali Kota Lu baru saja melanggar tradisi yang usianya sudah ribuan tahun! Para
penari barongsai biasanya diupah dengan kepingan mata uang panas seperti itu!
Di
pihak lain, para petani mengungkapkan kekaguman mereka. “Wali Kota Lu dan
putranya sama sekali tidak seperti yang kita bayangkan semula. Setidaknya ada
dua orang kaya yang tidak sama sekali tak punya hati!”
Makan malam yang terdiri atas sekian-banyak sajian
itu dihidangkan dalam beberapa ruang makan. Sambil ditunggui pelayan
masing-masing, kaum wanita boleh makan sesuka hati sambil bergosip mengenai
berbagai masalah kewanitaan. Kaum pria makan sambil dihibur oleh gadis-gadis
penyanyi. Mereka menikmati daun-daun muda cantik yang duduk di pangkuan mereka,
sambil menyuapi mereka dengan aneka makanan dan minuman.
Mereka
mendapat sajian lidah burung kolibri, otak monyet, sirip ikan hiu, dan cakar
beruang. Setelah semua selesai makan, mangkuk-mangkuk porselen berisi air hangat
diantarkan ke meja-meja, masing-masing penuh dengan kuncup-kuncup bunga yang
mengambang. Para tamu mencuci tangan dalam air yang harum itu, mengeringkan
jari-jari mereka pada lembaran saputangan lembut yang disodorkan para pelayan,
kemudian menuju balairung utama.
Wali
Kota Lu dan istrinya duduk berdampingan, menerima hadiah-hadiah dari barisan
tamu mereka yang panjang. Gubernur Mongol memimpin iring-iringan itu, meletakkan
hadiah di sebuah meja besar, kemudian melangkah pergi. Orang-orang Cina maju
satu per satu menghadap wali kota mereka yang baru beserta istrinya, membungkuk,
lalu menyerahkan bingkisan. Tanpa melirik sedikit pun ke arah hadiah yang
diberikan, pasangan Lu memberikan tanda kepada dua pelayan untuk menerima dan
meletakkannya di meja, yang dalam waktu singkat sudah menggunung.
Orang-orang
asing tampak bingung melihat sikap tak peduli pasangan penerima hadiah-hadiah
ini. “Bahkan melirik pun mereka tidak!” komentar salah seorang di antara
mereka.
“Kami
orang-orang Cina menganggap tak pantas memperlihatkan bahwa kami senang
menerima hadiah-hadiah itu,” si penerjemah menjelaskan. “Konfusius mengajarkan
pada kami bahwa berharap-harap menerima hadiah merupakan sikap tamak, yang juga
dosa besar. Orang yang tahu tata krama selalu berusaha untuk tidak menoleh ke
arah hadiah itu, sampai si pemberi pergi.” Tanpa berusaha menghapuskan
senyumnya yang seakan sudah menyatu dengan ekspresinya, si penerjemah bergumam
dalam bahasa Cina, “Dasar kalian orang barbar tak tahu aturan!”
Begitu
upacara serah-terima hadiah berakhir, para tamu keluar dari ruangan itu, menuju
kamar musik. Di sana mereka dihibur oleh sekelompok pemain alat musik gesek sampai
larut malam.
Setelah
mengantar tamu terakhir keluar dari pintu, Lady Lu menarik diri. Sebaliknya,
Wali Kota Lu dan Lu si Bijak menuju ruang kerja mereka untuk menunggu.
Setelah meninggalkan rumah kediaman keluarga Lu, beberapa
tandu tertutup mengitari Danau Angin Berbisik, kemudian kembali ke kaki Gunung
Emas Ungu. Para pemilik tandu memerintahkan para pelayan mematikan lampion,
kemudian dalam gelap kembali ke rumah kediaman keluarga Lu. Mereka langsung
dipersilakan masuk oleh dua pelayan tua kepercayaan keluarga Lu.
Bersama
surat undangan mereka, para tamu khusus ini juga menerima kotak berisi kue-kue
manis. Masing-masing penerima menemukan sebuah kue yang ditandai dengan titik
merah di dalam kotak mereka. Ketika kue itu dibelah, mereka menemukan surat
yang ditulis di sehelai kertas. Si penerima membawa kertasnya itu ke ruang
pribadi mereka untuk membaca isi pesan rahasianya. “Kembalilah diam-diam begitu
pesta selesai, untuk menikmati hidangan penutup kami yang istimewa.”
Lebih
dari sekitar tiga puluh orang, tua dan muda, berkumpul di ruang kerja wali kota
baru, di belakang pintu tertutup. Para pelayan setia mereka menunggu di bagian rumah
yang didiami para pelayan keluarga Lu. Mereka akan menjaga rahasia majikan
mereka dengan nyawa.
Wali
Kota Lu berdiri kemudian berdeham. “Saya mengucapkan terima kasih kepada Anda
sekalian atas kesediaan Anda untuk kembali. Anda telah mempertaruhkan
keselamatan Anda dengan melakukannya.” Ia menatap Lu, kemudian menyingkir agar anaknya
dapat mengambil alih. “Lu-lah yang memiliki gagasan untuk mengirimkan pesan
rahasia melalui kue-kue manis kepada Anda sekalian. Dia akan mengungkapkan apa yang
menjadi bahan pernikiran kami berdua.”
Lu
membungkuk dalam-dalam, lalu memulai, “Anda sekalian yang terpilih adalah para
cendekiawan serta pengikut ajaran Konfusius. Kita selalu bersikap sebagaimana
layaknya seorang gentleman dan kita tak pernah terjun langsung dalam
pertempuran. Sebagaimana diajarkan oleh Konfusius, cendekiawan sejati tak perlu
kuat secara fisik untuk menyembelih ayam, atau sedemikian tegar hati untuk
menyaksikan pertumpahan darah.”
Lu
tersenyum. Sinar matanya memancarkan ketetapan hatinya. “Baba dan saya akan
selalu bersikap sebagai gentleman terpelajar. Namun kami sudah mengambil keputusan
untuk mendirikan suatu kelompok cendekiawan yang berpandangan sama seperti
kami, untuk menyelamatkan Cina secara diam-diam dan tidak mencolok.”
Lu
mengawasi wajah para. hadirin dengan cermat, khawatir kalau-kalau di antara
para undangan ada beberapa pengkhianat.
Semua
yang hadir di ruangan ini pernah diperlakukan secara tidak adil oleh
orang-orang Mongol; masing-masing memiliki cukup alasan untuk berani
mempertaruhkan nyawa mereka demi kelangsungan perkara yang akan diajukannya
ini. Ia melihat dua cendekiawan yang kakak-kakaknya dihukum penggal di
Pelataran Bunga Hujan belum lama ini. Adik-adik perempuan beberapa bangsawan
muda direnggut begitu saja oleh orang-orang Mongol saat mereka bersembahyang di
kuil, untuk kemudian diperkosa dan dibunuh. Beberapa bangsawan tua di dalam
ruangan itu pernah dipaksa menyerahkan anak-anak gadis mereka kepada khan-khan
Mongol, dan orang-orang yang pernah kaya, yang kemudian sama sekali bangkrut
gara-gara hartanya dirampok oleh pangeran-pangeran bangsa Mongol.
Lu
melanjutkan, “Di seluruh pelosok Cina ada ksatria-ksatria yang terus menantang
orang-orang Mongol dengan tangan kosong, sambil bergerak maju dengan berjalan
kaki. Pedang-pedang, pisau, serta alat-alat transportasi sudah berulang kali
direnggut dari mereka. Mereka membutuhkan senjata yang dibuat diam-diam oleh para
pengrajin berjiwa patriotik, dan makanan, kereta, sapi, keledai, serta berbagai
kebutuhan lainnya. Semua ini harus dibeli, dan saya mengusulkan kita menyokong
mereka dengan menyediakan dana yang tidak mereka miliki.”
Kesedihan
membayang di wajah Lu yang masih muda saat ia menambahkan, “Di samping kaum
revolusioner kita yang gagah berani ini, para penduduk miskin juga membutuhkan
uluran tangan kita. Kita adalah segelintir orang yang beruntung. Sementara perut
kita kenyang, rekan-rekan sebangsa kita banyak yang mati kelaparan. Di antara
mereka yang sedang sekarat itu terdapat beberapa cendekiawan seperti kita yang
kurang beruntung.”
Wali
Kota Lu serta para hadirin yang lebih tua mengangguk-angguk setuju, sementara
yang lebih muda menyambut dengan komentar-komentar antusias. Begitu Lu selesai
berbicara, para cendekiawan itu mulai mengeluarkan kepingan-kepingan uang emas
dan perak, yang mereka tumpuk bersama perhiasan-perhiasan mereka di meja.
Lu
terpilih sebagai pemimpin mereka, yang bertanggung jawab untuk menyimpan dan
membagi-bagikan uang itu di antara kaum pemberontak dan penduduk miskin. Ia
akan mengundang mereka untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan mengirimkan
pesan-pesan rahasia di dalam kue-kue manis. Tempatnya akan selalu sama, mengingat
orang-orang Mongol takkan pernah menggeledah rumah seorang wali kota. Di dalam pesan-pesan
itu, pada saat-saat perlu, Lu akan menggunakan nama Penguasa Danau Angin
Berbisik. Di Cina ada banyak danau dengan nama seperti itu, sehingga julukan
itu akan aman.
Kelompok
itu kemudian menyadari bahwa organisasi mereka juga membutuhkan nama. Setelah
berdiskusi, akhirnya diputuskan nama Liga Rahasia.
Setelah
mengangkat cangkir-cangkir teh mereka, para anggota liga yang baru itu
bersumpah untuk membela persekutuan serta melaksanakan misi mereka untuk hari-hari
selanjutnya.
Wali
Kota Lu menutup pertemuan itu dengan membenikan peringatan sederhana, “Kita tak
boleh lupa bahwa di luar, kita masih tetap akan membungkuk di hadapan Gubernur
serta berusaha sebaik-baiknya untuk rnenyenangkan hati orang-orang Mongol.”
“Menyenangkan
hati orang-orang Mongol? Bagaimana aku dapat menyenangkan hati orang-orang
Mongol itu dengan cara sebaik-baiknya?” tanya Bangsawan Lin pada dirinya
berulang kali, di dalam tandu tertutupnya. .
Selama
berlangsungnya pesta, ia mendengar Gubemur Mongol mengucapkan terima kasih pada
Wali Kota Lu untuk hadiah-hadiah yang telah menyenangkan hati istrinya. Lin
mengumpat-umpat dalam hati, “Jadi, begitulah cara si sialan itu mendapatkan
posisinya!” Kemudian ia mulai mempertanyakan pada diri sendiri, “Bagaimana aku dapat
membuat Gubernur Mongol itu lebih senang lagi, sehingga dia mau melepaskan
jabatan si Lu sialan itu?”
Ia amat
tersiksa saat kembang api mulai dinyalakan tadi, seakan kilau cemerlang
bunga-bunga apinya melambangkan keberhasilan Wali Kota Lu, sedangkan bara yang
kemudian berubah menjadi asap itu adalah dirinya sendiri. Ia merasakan
kepedihan yang diderita para penari barongsai, seakan sukses yang dicapai Wali
Kota Lu merupakan kepingan-kepingan panas yang menusuk-nusuk harga dinnya. Ia
telah mengunyah setiap suap makanan yang disajikan di hadapannya dengan gemas,
seakan daging itu milik musuhnya. Ia memperhatikan tumpukan hadiah yang
diterima Bangsawan Lu dengan hati dengki. Andai kata hadiah-hadiah itu miliknya
untuk dibawa pulang.
“Pulang.”
Ia menghela napas dalam-dalam, sementara tandunya semakin dekat ke rumahnya.
“Aku tak punya apa-apa di rumah selain kedua orangtuaku yang sudah mulai jompo,
tiga anak laki-laki konyol yang dilahirkan oleh selir-selirku, saudara-saudara
yang malas, istri yang rapuh, dan seorang anak perempuan yang tak berguna...”
Ia tersentak. Matanya membelalak lebar. Ia baru saja menemukan hadiah yang
dicari-carinya.
Saat tandunya berhenti di muka rumah kediamannya, Bangsawan
Lin sudah merumuskan suatu keputusan. Ia menerobos pintu ganda yang dijaga oleh
sepasang singa marmer, kemudian menuju ambang pintu yang bentuknya melengkung
sambil tersenyum lebar. “Bangunkan istriku dan Lady Lotus. Suruh mereka ke
ruang kerjaku!” perintahnya.
Begitu bangun dari tidur, Lotus segera berpakaian dengan
bantuan para pelayannya. Sesudah itu ia pergi ke ibunya. Dengan dipapah empat
pelayan wanita, mereka bergerak dengan langkah-langkah kecil, menghadap lelaki yang
sama-sama mereka takuti. Mereka sama-sama tak dapat menebak, apa yang membuat
mereka dipanggil di malam selarut itu.
“Mungkin
akhirnya dia sampai pada keputusan akan mencabut jabatanku, untuk diberikan
pada salah seorang selir yang telah melahirkan anak laki-laki baginya,” ujar Lady
Lin dengan suara bergetar.
“Mungkin
Baba tahu aku bermain layang-layang setiap hari, dan ingin menghukumku untuk
kelakuanku yang kekanak-kanakan,” ujar Lotus sambil menggigil.
Mereka
tercengang saat mendapati Bangsawan Lin tersenyum pada mereka dari kursi, yang
kaki serta sandaran tangannya terukir membentuk cakar naga. “Duduk,” perintah
Bangsawan Lin, sambil menunjuk ke arah dua kursi sejenis. Lotus dan ibunya
menarik napas lega. Mereka menduga bahwa mereka dipanggil karena Bangsawan Lin
ingin menceritakan tentang pesta yang baru dihadirinya itu.
“Suamiku,”
ujar Lady Lin, “apa yang dikenakan oleh istri Wali Kota tadi?” Ia melirik ke
arah anak perempuannya, lalu menambahkan, “Apakah putra Wali Kota juga di sana untuk
menyambut para tamu? Dan...”
Lin
mengibaskan tangannya, lalu membentak, “Tutup mulutmu, perempuan tolol!”
Wajah
pucat Lady Lin berubah keabu-abuan. Ia menatap suaminya sementara Bangsawan Lin
memerintahnya, “Bawa Lotus ke kamarnya. Bantu dia mengemasi pakaian dan
perhiasan-perhiasannya.”
Sesudah
itu ia menatap anak perempuannya, lalu menambahkan, “Lotus, apa ada sesuatu di
antara perhiasan ibumu yang ingin kaubawa?”
“Perhiasan
Mama? Untuk kubawa? Memangnya aku mau ke mana, babaku yang mulia?” tanya Lotus
gemetar.
“Ke
tempat yang akan menjadi rumahmu,” Jawab Lin. Matanya berbinar senang saat
mengamati penampilan Lotus dengan cermat. Sepertinya terakhir ia melihatnya, Lotus
masih tampak begitu kekanakan. Kapan ia berkembang menjadi gadis secantik ini?
Senyumnya semakin melebar setelah ia memperhatikannya dari atas ke bawah sekali
lagi. “Untuk mengambil hati seorang laki-laki, anakku.”
Pada
mulanya Lotus merasa lega. Ayahnya ingin memajukan hari perkawinannya dan
menikahkannya dengan Lu secepatnya. Seulas rona merah menjalar naik dari
lehernya, membuat telinganya merah dan wajahnya seakan terbakar. Ia melihat ke
bawah sambil menundukkan kepala, namun tak dapat menyembunyikan senyum yang mulai
mengembang di bibirnya. “Baik, Baba,” jawabnya lembut. “Aku akan mematuhi perintah
Baba.”
“Untuk
apa mempercepat perkawinan yang baru akan kita langsungkan setahun dari
sekarang?” tanya Lady Lin. Nadanya terdengar ceria; ia merasa senang.
“Lotus
takkan menikah dengan anak si Lu sialan itu. Dia akan ke rumah Gubernur Mongol
untuk menjadi salah satu selirnya!” seru Bangsawan Lin.
Lotus
merasa dunianya ambruk seketika. Matanya berkunang-kunang saat ia mencengkeram
erat-erat lengan kursinya, hingga ukiran cakar naga nyaris melukai telapak
tangannya. Beberapa hari yang lalu, saat ayahnya mengatakan ia mempunyai
rencana yang lebih besar baginya, baik si ibu maupun anak menganggap itu
ancaman kosong yang terlompat keluar dalam keadaan marah. Sekarang, saat ia
menundukkan kepala, ia melihat kupu-kupu yang disulamkan di sepatunya yang
mungil. Aku seperti mereka, ujarnya
dalam hati. Seperti kupu-kupu, aku tak
bisa menghindari takdirku.
Telinganya
mendenging saat ia menangkap suara ibunya yang seakan terdengar dari jauh. “Aku
tak bisa membiarkan kau melakukan ini pada Lotus-ku! Kalau kau ingin memberikannya
kepada orang Mongol, kau harus membunuhku dulu. Dan jangan lupa, aku bukan
berasal dari keluarga sembarangan yang tak punya pengaruh apa-apa. Kalau kau
berani melukaiku entah dengan cara bagaimana, mereka takkan membiarkan dirimu
bebas!” Lady Lin sama sekali tidak menaikkan nada suaranya, namun setiap
kata-katanya tajam seperti mata pisau.
Lotus
tak pernah mendengar ibunya menyanggah kata-kata ayahnya. Ia bahkan tak pernah
membayangkan ibunya memiliki kemampuan untuk membangkang. Ia mengangkat
matanya, kemudian melihat ibunya berdiri tanpa bantuan para pelayan.
Lady
Lin menuding suaminya dengan jari bergetar. “Lotus sudah dijanjikan pada
keluarga Lu dalam pertunangan yang berlangsung saat dia masih di dalam kandungan.
Bahkan laki-laki yang tak punya perasaan seperti kau seharusnya tahu bahwa kau
harus menghormati pertunangan yang sifatnya begitu sakral! “
Lotus
menatap ibunya dengan tercengang. Seorang wanita baik-baik tidak akan
mengucapkan kata kandungan begitu saja, meskipun ibunya hanya ingin
mengingatkan ayahnya akan suatu fakta. Ketika Lu berusia tiga tahun, ibunya
mengajaknya bertandang ke rumah keluarga Lin, karena Lady Lin sedang mengandung
ketika itu. Lady Lu berharap ia akan melahirkan anak laki-laki, namun, sambil menunjuk
perut besar Lady Lin ia juga berkata, “Andai kata anakmu perempuan, aku ingin
sekali ia menjadi istri anakku, Lu si Bijak.” Lady Lin mengajak suaminya berunding,
lalu menerima lamaran itu. Pertunangan itu diresmikan kemudian, pada hari yang
bersamaan dengan kelahiran Lotus.
Tanpa
bergeming Lady Lin melanjutkan, “Pertunangan seperti itu sudah diakui sejak
masa Konfusius masih hidup, dan masih akan dianggap sakral selama kebudayaan
Cina masih hidup.”
Ia
mengingatkan suaminya bahwa meskipun salah satu di antara anak-anak itu
meninggal sebelum pernikahan berlangsung, upacara itu masih tetap akan
dilangsungkan - yang meninggal akan diwakili oleh sebuah plaket kayu yang diukiri
sebuah nama. Saat pengantin laki-laki menjadi duda pada hari pernikahannya, ia
diharapkan akan menikah lagi, tapi saat seorang pengantin wanita tertimpa nasib
yang sama, ia harus tetap hidup menjanda untuk selamanya.
Bangsawan
Lin tak menduga istrinya dapat mengambil sikap seperti itu. Ia maju selangkah
sambil mengangkat tangan untuk memukulnya. Tangannya berhenti di udara, meskipun
Lady Lin sama sekali tidak berusaha mengelak atau berkedip. Kemudian ia
mempertimbangkan kembali apa yang dikatakan istrinya mengenai keluarganya. Bangsawan
Lin menyadari bahwa ia tak dapat menghina ayah dan sekian banyak paman istrinya
yang kaya-kaya serta amat disegani di Yin-tin. Ia menurunkan tangannya, kemudian
menatap tajam ke arahnya. Lady Lin membalas tatapannya tanpa berkedip. Akhirnya
Bangsawan Lin-lah yang berpaling ke arah lain.
“Aku
tak mau menghabiskan tenagaku berdebat dengan seorang perempuan,” ujarnya untuk
menutupi rasa malunya di hadapan para pelayan. Sebelum keluar dari ruangan itu,
ia memberikan perintahnya yang terakhir, “Tapi Lotus akan menjadi selir
Gubernur Mongol sebelum besok malam!”
Di waktu subuh, para pelayan di rumah kediaman keluarga
Lin mulai menggeliat di tempat tidur mereka, dan dengan enggan bangun untuk
menghadapi tugas-tugas yang seakan tidak berkesudahan hari itu.
Namun
tiga sosok diam-diam sudah menyelinap menuju gerbang belakang. Wanita yang di
tengah berkaki besar dan lebih tinggi daripada dua yang lain. Sambil menopang keduanya
dengan lengannya, ia berbisik, “Cepat!”
Jasmine,
pelayan wanita yang kuat itu, tidak memiliki nama keluarga. Ia dijual oleh
orangtuanya pada pedagang budak, yang dalam waktu singkat sudah lupa siapa nama
bocah itu. Ia mendapatkan namanya saat pedagang budak itu kebetulan
mengantarkannya ke hadapan orangtua Lady Lin ketika mereka sedang minum teh
jasmine. Di usianya yang 33 tahun itu ia belum pernah menikah. Ia sudah menjadi
pelayan Lady Lin sejak mereka sama-sama masih kecil, dan ketika diputuskan
bahwa Lotus harus kabur, Lady Lin langsung mengambil keputusan bahwa Jasmine-lah
yang harus mengawal anaknya.
“Sebaiknya
kau jalan lebih cepat kalau kau tak mau dijadikan selir si Mongol,” ujar
Jasmine kepada Lotus, yang mencoba bergegas sebisanya. “Dan Anda, nyonyaku, bagaimana
Anda bisa kembali ke kamar Anda tanpa bantuanku?” tanya Jasmine.
“Aku
pasti bisa,” ujar Lady Lin. “Aku bisa merambati tembok serta berpegangan pada
pohon-pohon.” Ia mencoba tertawa. “Kalau aku bisa mengumpulkan keberanian untuk
menentang suami yang juga junjunganku, aku pasti dapat menemukan cara untuk
kembali ke kamarku sendiri.” Nadanya sedikit bergetar saat ia menoleh ke arah
anaknya. “Anakku, kau harus berusaha hidup bahagia tanpa mamamu. Jadilah istri
yang baik untuk Lu dan patuhilah kedua orangtuanya. Penuhi semua keinginan
suamimu saat dia benar, tapi kalau ulahnya mulai keterlaluan, kau harus mengikuti
teladan yang sudah kuberikan padamu. Hadapilah dia. Ingatlah selalu
kata-kataku, buah hatiku, karena aku tak yakin kita akan bertemu lagi.”
Lady
Lin tidak merasa ragu bahwa keluarga Lu akan menampung Lotus, dan bahwa
perkawinan akan segera dilangsungkan. Mengingat Wali Kota Lu sekarang menduduki
tempat kedua tertinggi sesudah Gubernur Mongol, Bangsawan Lin takkan berani
melakukan apa pun untuk mencegah perkawinan itu begitu Lotus sudah berada di
luar jangkauannya. Yang dapat dilakukannya sesudah itu hanyalah menyiksa
istrinya.
“Mama,
ikutlah denganku,” ujar Lotus memohon di antara deraian air matanya. “Bukankah
Mama juga bisa tinggal di rumah keluarga Lu?”
“Anak
bodoh,” ujar Lady Lin sambil menggeleng. “Kau akan menjadi istri utama tuan
muda di dalam rumah keluarga Lu. Sedangkan aku apa? Maskawinmu?”
Lotus
menghapus air mata yang mengalir membasahi wajahnya. Apa yang dikatakan ibunya
memang benar. Tidak akan ada tempat bagi Lady Lin di dalam rumah keluarga Lu,
meskipun kedua wanita itu masih memiliki hubungan saudara. Salah satu alasan
mengapa seorang anak laki-laki begitu berharga sedangkan anak perempuan tidak,
adalah bahwa para orangtua mempunyai hak untuk tinggal bersama anak laki-laki
mereka, tapi tidak bersama anak perempuan mereka.
Untuk
mempermudah perpisahan itu, Lady Lin menunjuk Jasmine, lalu berkata dengan nada
yang dibuatnya terdengar seceria mungkin, “Kuharap keluarga Lu tidak
merendahkan dirimu karena tidak membawa maskawin selain Jasmine.”
“Jangan
khawatir, Nyonyaku,” ujar si pelayan pada Lady Lin. “Aku akan menjaga Lady
Lotus dengan sebaik-baiknya, seperti aku menjaga Anda selama ini.”
Begitu
mereka sampai di gerbang, Lotus berpaling ke arah ibunya, lalu memohon sekali
lagi, “Mama, ayolah ikut denganku. Biar bagaimanapun tradisinya, keluarga Lu
akan memperbolehkan Mama tinggal bersamaku.”
Si ibu
tersenyum sedih. “Aku menikahi ayahmu ketika aku seusiamu. Aku tidak mengenal
laki-laki lain dalam hidupku. Setiap gadis memiliki cinta di hatinya, yang
ingin diberikannya kepada seseorang. Aku memberikan cintaku kepada ayahmu. Aku
takut dan tidak suka padanya, tapi aku tak pernah berhenti mencintainya.” Lady
Lin menggeleng-gelengkan kepala dengan tegas. “Aku takkan pernah meninggalkan
rumahnya selama dia membiarkan aku tinggal untuk mendampinginya.”