Ching Yun Bezine - Sungai Lampion #8



Episode 7

KOTA Yin-tin terlelap di bawah langit tak berbulan, dengan Sungai Yangtze mengalir di satu sisinya dan Gunung Emas Ungu menjulang di sisi lainnya. Di antara bangunan-bangunan rumah di kaki perbukitan itu, dua tampak masih terang benderang di larut malam itu.

        “Apa ada yang tidak beres? Tidak ada yang sakit, bukan?” tanya Lu pada diri sendiri saat melintasi ruang masuk rumahnya yang berlantai marmer, menuju bagian yang didiami kedua orangtuanya.
        Para pelayan berseragam kelabu berdiri di sepanjang ruang masuk yang panjang itu. Mereka membungkuk dalam-dalam begitu melihat tuan muda mereka, namun jawaban mereka kurang meyakinkan, “Tuan Besar dan Nyonya punya berita baik untuk Tuan Muda.”
        Lu diantar ke ruang utama yang biasanya hanya dipakai untuk peristiwa-peristiwa khusus. Lampu-lampu bertudung sutra tergantung pada langit-langitnya yang dihiasi lukisan tangan. Cahaya lilin bersinar dari tempat-tempat lilin kuningan yang tinggi, berbentuk bunga bertangkai panjang.
        Bangsawan Lu adalah cendekiawan berpostur ramping kepucatan; usianya menjelang empat puluh. Ia mengenakan beberapa lapis pakaian berwarna keperakan dan biru tua. Lady Lu adalah wanita bertubuh ramping yang berusia dua tahun lebih muda dari suaminya. Ia mengenakan banyak perhiasan dan berpakaian lengkap berwarna merah dan keemasan. Keluarga Lu tidak terlalu besar, sejak kakek dan nenek Lu meninggal tahun yang lalu. Dengan agak bingung, Lu membungkuk ke arah orangtuanya. Ia tak mengerti kenapa mereka belum tidur di malam selarut ini, namun sebagai anak yang berbakti bukanlah haknya mempertanyakan itu. Ia melirik ke meja jati rendah yang diukir dan ditatah indung mutiara. Di samping lampu yang terang, gulungan perkamen berstempel merah penguasa Mongol tergeletak terbuka.
        Lu langsung mengerti mengapa kedua orangtuanya belum tidur dan masih berpakaian resmi seperti sekarang. Saat perintah dari pihak penguasa diteruskan, penerimanya diwajibkan menyambutnya dengan sebuah ritus layaknya kedatangan seorang pangeran Mongol. Lu menatap gulungan kertas itu dengan was-was, sambil mempertanyakan berita apa yang membuat kedua orangtuanya tampak begitu gembira.
        Bangsawan Lu berkata kepada Lu, “Ambillah.”
        Lu mematuhi perintah ayahnya. Ia membacanya, kemudian menahan napas. “Baba! Baba diangkat menjadi wali kota Yin-tin!”
        “Kau tidak senang?” Sementara Bangsawan Lu tersenyum, wajah anaknya berubah pucat pasi.
        Begitu mengingat tata krama, Lu segera membungkuk dalam-dalam, lalu berkata, “Selamat, Baba.” Kemudian ia menengadahkan wajahnya, lalu dengan agak ragu berkata, “Tapi, Baba, selama 65 tahun terakhir ini, hanya ada tiga orang Cina yang pernah menduduki posisi setinggi itu. Bagaimana cara Baba...” Ia langsung menghentikan kata-katanya, begitu teringat bahwa para pelayan masih berada di situ.
        Bangsawan Lu memerintahkan para pelayan meninggalkan ruangan, kemudian menanti sampai mereka pergi. Sesudah itu dengan nada lebih rendah ia berkata, “Sejak wali kota Yin-tin terakhir meninggal, gubernur Mongol Provinsi Kiangsu menerima banyak sogokan dari para pejabat Cina. Anakku, aku salah seorang di antara mereka...”
        Si ayah mengungkapkan bahwa ia telah melakukan kunjungan ke rumah kediaman si Gubernur, tidak hanya membawa emas dan perak sebagai upeti, tapi juga batu-batuan berharga serta perhiasan langka. Yang terakhir ini amat membesarkan hati istri si Gubernur, yang kemudian membujuk suaminya untuk memberikan kedudukan itu kepada Bangsawan Lu.
        Lady Lu tersenyum saat berkata, “Tidak seperti orang Cina, orang-orang Mongol amat menghargai kaum wanita mereka. Karenanya keputusan seorang gubernur Mongol dapat dipengaruhi istrinya. Sayang aku tak memiliki pengaruh demikian atas ayahmu.”
        Bangsawan dan Lady Lu tertawa, tapi putra mereka tidak. Lu menundukkan kepala agar kedua orangtuanya tidak melihat apa yang terpancar dari matanya.
        “Lu,” ujar ibunya lembut, sambil mengulurkan lengannya untuk meraih tangannya, “ayahmu tidak melakukan ini untuk kepentingan pribadi.” Lady Lu mengajaknya duduk bersama mereka, lalu dengan nada rendah dan hati-hati menjelaskan bahwa suaminya telah menghabiskan banyak uang untuk pelicin dengan maksud tertentu. “Salah satu di antaranya adalah agar penduduk Yin-tin memiliki wali kota yang berada di pihak mereka. Sedangkan alasan lainnya adalah...” Ia menatap suaminya.
        Nada bicara Bangsawan Lu seperti bisikan, “Aku bertekad untuk mendapatkan kedudukan sebagai wali kota karena sebuah undang-undang yang baru dimaklumatkan Shadow Tamu.”
        “Dalam kurun waktu 65 tahun terakhir ini, kecuali Khan yang Agung beserta keluarganya yang tinggal bersama para serdadu mereka di Da-du, kebanyakan orang-orang Mongol lebih suka tinggal di tenda-tenda di tempat-tempat terbuka di utara dan barat daerah Cina. Tapi karena orang-orang Cina di sepanjang Sungai Yangtze sering memberontak, Shadow Tamu menjadi resah.”
        Bangsawan Lu berkata, “Penasihat Khan takut menghadapi kemungkinan kita akan menghimpun kekuatan, lalu memberontak melawan mereka, tanpa sepengetahuan mereka. Akhirnya, dia memutuskan bahwa bangsa Mongol harus lebih waspada menghadapi daerah-daerah Cina Selatan. Dia memerintahkan kita membuka pintu rumah-rumah kita untuk mereka.”
        Lu mengepalkan tinjunya. Ia belum pernah menghantam siapa pun dengan tinjunya yang kecil itu seumur hidupnya, namun rasanya ia bisa menghantam orang Mongol mana pun saat ini. Rumah adalah tempat yang sifatnya amat pribadi bagi orang Cina, tak peduli bagaimanapun sederhana wujudnya, persis sebagaimana seorang istri adalah milik pribadi: seorang laki-laki, meskipun kenyataannya wanita dianggap tak berharga. Pada saat seorang laki-laki dipaksa membuka pintu rumahnya untuk orang asing, ia akan merasa dihina habis-habisan, seperti saat ia harus merelakan berbagi istrinya dengan orang lain.
        Wali Kota Lu berkata, “Dua puluh lima ribu tentara Mongol akan memasuki daerah Yangtze dalam waktu setahun ini. Kebanyakan di antara mereka akan menuju Provinsi Kiangsu, dan sedikitnya tiga ribu akan tinggal di kota Yin-tin. Mengingat di daerah ini ada sekitar 30.000 rumah, setiap sepuluh rumah terpaksa menampung seorang tentara Mongol. Bisa kaubayangkan kalau serdadu-serdadu ini tidak diperlakukan seperti raja, apa yang akan terjadi pada para pemilik rumah yang malang itu.”
        “Baba, dengan menjadi wali kota Yin-tin, apakah Baba dapat mencegah serdadu-serdadu Mongol ini memasuki rumah-rumah penduduk Cina?” tanya Lu.
        Bangsawan Lu menggeleng-gelengkan kepala.
        “Tidak, tidak bisa. Tapi memaksakan serdadu-serdadu mereka masuk ke rumah-rumah kita hanyalah salah satu siasat orang Mongol untuk dapat mengendalikan kita. Kita harus membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Dan tugas itu membutuhkan waktu serta pengorbanan tidak sedikit dari orang-orang Cina.”
        Sang ayah menatap mata putranya dalam-dalam, lalu sambil menepuk pundaknya ia berkata, “Lu, aku sudah menyusun beberapa rencana, dan aku membutuhkan bantuanmu untuk menerapkannya. Kau dan aku harus mempertaruhkan nyawa untuk membela rakyat kita.”
        Lu membungkuk hormat. Ia teringat peristiwa yang baru saja terjadi di tepi sungai. Masih terbayang bagaimana penduduk Yin-tin melontarkan batu-batu dan kata-kata tajam ke arahnya dan Lotus. Tapi tak apa. Seperti juga ayahnya, ia bersedia melakukan apa saja untuk membantu saudara-saudara sebangsanya, meski untuk itu ia takkan pernah menerima ucapan terima kasih sebagai balasannya.
        Lu berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya dengan nada rendah, sampai matahari mulai terbit. Saat meninggalkan bagian rumah yang didiami kedua orangtuanya, ia melihat ke arah langit yang mulai terang melalui jendela berbentuk bulan purnama, lalu perlahan-lahan berbisik, “Lotus, kau tidak akan tahu apa yang akan dilakukan ayahku dan aku, tapi aku yakin sebentar lagi kau akan tahu bahwa aku sekarang putra wali kota.”
       
“Jadi, dia putra wali kota sekarang! Aku tak peduli! Pokoknya aku tidak mengizinkan Lotus menemuinya lagi!” seru Bangsawan Lin dengan suara menggelegar.
        Ia laki-laki yang baru menginjak usia empat puluhan, dengan tubuh pendek gemuk dan garis wajah halus yang biasanya agak kepucatan, tapi kini merah karena marah. Ia tak dapat duduk tenang di kursinya yang dilapisi brokat. Ia melompat berdiri, lalu melangkah mondar-mandir melintasi ruang yang penuh perabotan mewah itu, sambil menendangi tepian keemasan jubahnya yang merah anggur, sehingga sabuk merah yang melilit pinggangnya yang gemuk berkibar-kibar.
        “Tapi...” Lady Lin hanya mengucapkan satu kata, kemudian mulai terisak. Ia delapan tahun lebih muda dari suaminya, wajahnya cantik dan tubuhnya amat rapuh. Kakinya amat mungil, sehingga ia tak bisa berjalan. Pakaiannya yang berlapis berwarna lembayung muda, dengan sabuk ungu. Ia mengenakan berbagai perhiasan mahal, juga di rambutnya, namun saat itu ia menangis tak berdaya.
        Sebagai istri bangsawan kaya, ia amat dihormati oleh para pelayan serta selir-selir suaminya yang jumlahnya tidak sedikit. Namun kedudukannya lebih rendah daripada suaminya yang terhormat serta keluarga suaminya yang juga tinggal di rumah yang sama dengan mereka. Ia amat mencintai anak tunggalnya, meskipun Lotus hanya anak perempuan. Ia tidak tahu bagaimana meyakinkan suami beserta keluarganya bahwa Lotus juga sama berharganya seperti ketiga anak laki-laki yang diperoleh Bangsawan Lin dari selir-selirnya. Keputusan suaminya akan membuat Lotus amat sedih, dan Lady Lin berharap ia dapat melakukan sesuatu untuk mengubahnya.
        Lotus menangkap gelegar amarah ayahnya serta isakan ibunya begitu memasuki ruang depan rumahnya. Di masing-masing sisinya terdapat beberapa pintu menuju berbagai bagian rumah. Lotus melongok melalui pintu-pintu yang terbuka, lalu melihat suasana kacau dalam setiap ruangannya yang bermandikan cahaya itu.
        Beberapa langkah lagi ia akan sampai di ruang duduk. Beberapa kursi jati patah-patah. Vas-vas porselen hancur berkeping-keping, berserakan di karpet-karpet tenunan tangan. Sebuah nampan dengan perangkat minum teh di atasnya rupanya baru saja disapu dari atas meja. Kursi favorit ibunya yang dilapisi sutra merah muda tampak ternoda dan penuh daun-daun teh yang masih basah.
        Dua pelayan sedang berlutut memunguti semuanya, sambil membersihkan ruang itu. Salah seorang dari mereka menghampiri Lotus, kemudian berbisik, “Sebaiknya Nona jangan masuk ke ruang utama sekarang. Tuan Besar sedang marah sekali. Dia menyepaki perabotan-perabotan, melemparkan semua barang ke dinding. Semua orang menjauhinya, kecuali Nyonya yang malang, yang tak bisa ke mana-mana.”
        “Apa yang membuat ayahku begitu marah?” tanya Lotus sambil menimbang-nimbang apakah ia akan mendampingi ibunya atau langsung masuk ke kamarnya dan bersembunyi. Hubungan antara ibunya dan dirinya amat akrab, sehingga ia enggan membiarkan ibunya menghadapi situasi sulit itu seorang diri, tapi sebetulnya ia juga amat takut terhadap ayahnya.
        Si pelayan bergumam, “Mata-mata Tuan Besar yang bekerja di rumah Gubernur datang untuk memberitahukan, bahwa berdasarkan usul Gubernur, pemerintah telah mengangkat wali kota baru. Tuan Besar tidak memperoleh kedudukan itu.”
        Lotus mulai memahami duduk persoalannya. Ayahnya telah berusaha keras menyogok Gubernur untuk mendapatkan jabatan kedua tertinggi di Provinsi Kiangsu. Yin-tin adalah ibu kota daerah itu, dan wali kotanya akan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Sekali terpilih, ayahnya akan dapat menaikkan suku bunga pinjaman uang dan sewa tanah. Bangsawan Lin sudah lama menunggu kesempatan ini. Pada saat-saat tertentu ia begitu yakin akan memperoleh jabatan itu, sehingga ia bahkan sudah menyusun pidato pelantikannya.
        “Baba tentu amat kecewa,” ujar Lotus, menghela napas. Ia kasihan pada ayahnya. Kemudian ia merenungkan kembali apa yang baru saja didengarnya, lalu menjadi sedikit bingung. “Tapi kenapa dia menyinggung-nyinggung soal putra wali kota yang baru? Siapakah dia dan untuk apa aku menemuinya?”
        Si pelayan menatap Lotus dengan penuh simpati. “Wali kota kita yang baru adalah Bangsawan Lu, ayah calon suami nonaku.”
        Jeritan kecil terlompat keluar dani mulut Lotus.
        Tiba-tiba lututnya terasa lemas sekali. Kedua pelayan yang menyangganya di masing-masing sisinya langsung melingkarkan lengan untuk menjaga agar tubuhnya yang sekarang gemetaran itu tidak jatuh.
Pelayan yang satu memperingatkannya sekali lagi, “Menurutku sebaiknya nonaku menghindari Tuan Besar sekarang juga. Dia membentak-bentak semua orang.”
        Lotus mengangguk tak berdaya. “Antar aku ke kamarku.”
        Sambil bergerak perlahan-lahan, samar-samar Lotus menangkap suara amarah ayahnya serta sahutan ketakutan ibunya.
        “Akan ada pesta di rumah keluarga Lu dalam waktu dekat ini. Semua pejabat Mongol, bangsawan asing beserta penerjemah mereka, serta orang-orang Cina kalangan atas akan diundang. Bahkan si gubernur tolol itu akan hadir di sana!” seru Bangsawan Lin. “Aku juga harus ke sana, tapi kau dan Lotus harus tinggal di rumah. Sebagai laki-laki, aku harus setor muka di rumah sialan itu dan tampil sebaik-baiknya. Tapi aku melarang kau bertemu dengan Lady Lu lagi. Dan aku takkan mengizinkan anak kita punya urusan apa pun dengan anak si Lu sialan itu!”
        “Tapi Lady Lu sepupuku, dan Lotus tunangan Lu,” ujar Lady Lin di antara isakannya. Sesaat suaranya terdengar agak tegas, namun sesudah itu ia terisak kembali.
        “Lupakan sepupumu, perempuan tolol!” seru Bangsawan Lin, disusul suara bantingan vas yang dilempar ke dinding.
        “Batalkan pertunangan anak kita! Lotus gadis cantik. Aku sudah punya calon yang lebih baik untuknya!”
        Lotus tersentak mendengar pernyataan itu, kemudian jatuh pingsan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...