Episode
6
RUANG serambi utama itu kosong. Yang tampak hanya Welas
Asih dan Peony, melangkah perlahan-lahan, yang satu di depan yang lain.
Puluhan
patung kayu Buddha berjejer di salah satu sisi dinding, sementara di dekat kaki
mereka pelita-pelita minyak menyingkapkan ekspresi wajah masing-masing. Peony
melirik ke arah patung Buddha Kebenaran yang seram, yang biasanya mengadili
mereka yang baru saja meninggal. Ia mengalihkan matanya dari sosok berwibawa ini,
kemudian berbisik pada wajah Buddha Kebijakan yang ramah. “Kedua orangtuaku
tentunya ada bersama Anda.”
Welas
Asih berhenti begitu mereka tiba di muka Buddha Kemakmuran. Ia memutar salah
satu cuping telinganya yang panjang. Dua lempengan melengkung yang berfungsi sebagai
perutnya yang gemuk membuka, menyingkapkan lubang yang dalam dan gelap.
“Mendekatlah,” perintah biksu tua itu kepada Peony.
Peony
melongok ke arah tempat persembunyian itu. Sinar pelita tak dapat masuk ke
sana, namun sesuatu di bawah tampak berkilauan. Ia membungkukkan tubuh, lalu melihat
cahaya itu keluar dari dalam sebuah batu besar.
Setelah
menggulung lengan jubahnya, Welas Asih merogoh batu berat itu dengan lengannya
yang kurus. Ia mengangkatnya tanpa mengerahkan tenaga, kemudian meletakkannya
di dekat kaki Buddha Kemakmuran.
Peony
menahan napas. Sebagai anak penambang batu kemala, ia sudah sering melihat jenis
batu itu dalam keadaan mentah, tapi belum pernah dalam ukuran dan kualitas ini.
Begitu diletakkan di bawah cahaya lampu, sinar dari dalam batu itu memudar.
Namun secercah kilau lembut berwarna hijau masih tetap memancar dari dalamnya,
seperti kunang-kunang hijau terjebak di dalamnya, dan terus menari sepanjang
masa.
“Ini
ditemukan ayahmu sekitar setahun yang lalu,” ujar Welas Asih sambil menunjuk
batu itu. “Dia memintaku menyimpannya untuknya.”
Si
biksu mengungkapkan pada Peony bahwa orang-orang Mongol menuntut setiap jengkal
tanah bangsa Cina, berikut semua hasil bumi, ikan, dan mineral-mineralnya. Para
penambang tidak diperbolehkan menyimpan atau menjual batu kemala yang mereka temukan,
sama seperti para nelayan dan petani yang tidak berhak atas hasil tangkapan dan
olahan mereka.
Welas
Asih berkata, “Ayahmu mengikis batu ini dari dinding gua, kemudian
menyembunyikannya di bawah setumpuk ranting kayu, sambil menunggu kesempatan untuk
menyelundupkannya ke tempatku di tengah malam. Dia memintaku menyimpannya
untuknya.” Si biksu meletakkan tangannya di kepala Peony. “Dia mengatakan bahwa
selain kau dan ibumu, batu ini adalah satu-satunya miliknya yang berharga.”
Peony
menggigit bibir untuk menahan air matanya dan terus menyimak kata-kata biksu
tua itu.
“Ayahmu
ingin batu ini mendapatkan perlindungan yang sama seperti kau dan ibumu. Dia
tahu bahwa di bawah undang-undang bangsa Mongol, usia orang hanya bak secercah
cahaya di dalam hujan badai. Karenanya dia mempercayakan semua yang dianggapnya
berharga kepadaku.”
Ia
menambahkan bahwa seorang pengrajin andal akan membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk mengeluarkan batu kemala itu dari tempat persembunyiannya, sesudah itu
masih beberapa tahun lagi untuk memolesnya sebelum batu itu dapat diukir. “Aku
akan menyimpan batu ini di dalam perut Buddha Kemakmuran, sampai aku menemukan
tangan yang cukup terampil untuk mengolahnya.” Ia meletakkan jarinya di bawah
dagu Peony, kemudian mengangkat wajahnya untuk menatap ke dalam matanya. “Dan
aku akan menyembunyikanmu dalam seragam biksuni, tidak hanya untuk melindungimu
dari orang-orang Mongol, tapi juga dari derita kehidupan yang tiada
berkesudahan ini.”
Peony
menatap biksu itu dengan tercengang. Welas Asih tersenyum. Ia begitu yakin
bahwa Peony akan lega begitu mengetahui keputusannya. “Ayo kita simpan batu itu
kembali lalu bergabung dengan yang lain,” ujarnya.
Para
pengungsi lain sudah berkumpul di halaman belakang yang terbuka saat Welas Asih
dan Peony muncul. Pakaian berkabung mereka yang compang-camping telah diganti
dengan pakaian bekas orang-orang mati yang sudah dicuci para biksuni. Kotoran
di wajah mereka sudah dibersihkan, namun kesedihan dan kepedihan yang membayang
tak dapat dihapus begitu saja. Sambil berdiri di atas mimbar, Welas Asih
meminta mereka duduk di pelataran berlapis batu bata itu.
“Sebagai
penduduk desa, kalian boleh bersembunyi di kuil ini untuk sementara waktu.
Sebagai biksu dan biksuni, kalian akan aman untuk seterusnya, bahkan di bawah undang-undang
Pemerintah Mongol. Pengangkatan calon baru akan diselenggarakan di sini besok
pagi, karenanya aku harus memberi penjelasan mengenai ajaran Buddha kepada
kalian malam ini.”
Kebanyakan
di antara penduduk desa itu tersenyum. Merupakan kehormatan bagi mereka untuk
diangkat menjadi pengikut Buddha. Namun Peony langsung ingin berdiri dan kabur
dari situ. Ia mengangkat tangan untuk meraba rambutnya, ia tak berniat mencukur
kepalanya. Ia menggigil begitu teringat upacara pengangkatan yang pernah
disaksikannya. Seorang biksu tua menggunakan dupa menyala untuk membakar
lubang-lubang di kepala para calon yang baru dicukur. Katanya tidak sakit, tapi
air mata yang mengalir dari mata para calon itu mengungkapkan lain. Seorang
biksu atau biksuni penuh akan memiliki delapan belas bekas luka di atas
kepalanya, yang diperolehnya satu demi satu sesuai dengan kenaikan tingkatnya
dari tahun ke tahun.
Welas
Asih memulai, “Hidup di bumi ini hanyalah tahap penuh derita yang tiada
berkesudahan, dan aku yakin kalian setuju.” Si biksu mengawasi kerumunan orang.
Cahaya bulan menambah jelas guratan sendu di wajah-wajah mereka, sementara
angin lembut mengantarkan desahan yang menyatakan mereka sependapat dengannya.
Ia
melanjutkan, “Kita semua sebetulnya roh belaka. Tempat asal kita adalah surga.
Semua roh sebetulnya sama, termasuk roh hewan yang mungkin saja pernah atau
akan menjadi saudara kita dalam kehidupan lain.”
Gumaman
memenuhi halaman belakang kuil itu, sementara semua agak terpana oleh kenyataan
bahwa mereka pernah memakan tubuh sesama mereka. Peony menelan liurnya yang
tiba-tiba mengalir begitu ia mendengar ucapan tadi. Ia begitu lapar, sehingga
takkan menolak sepotong daging lezat, meskipun rohnya pernah atau akan
berhubungan darah dengannya di suatu waktu tertentu.
Welas
Asih berkata, “Setelah kita mati, mereka yang kelakuannya kurang baik akan
dihukum Buddha Kebenaran, sedangkan mereka yang berbudi luhur akan dijemput
Buddha Kebijakan.”
Para
penduduk desa berpandangan, tanpa berusaha menyembunyikan kengerian mereka di
bawah cahaya bulan. Peony menggerenyitkan wajah. Meskipun ia agak sulit diatur,
kedua orangtuanya tak pernah memukulnya. Entah bagaimana ia selalu berhasil
berdebat untuk melepaskan diri dari hukuman, atau lari lebih cepat daripada
ayah atau ibunya. Siapa pun yang berniat merotannya sebaiknya lebih besar,
lebih kuat, dan lebih cepat darinya, entah ia sang Buddha atau bukan.
Welas
Asih adalah laki-laki berpengetahuan luas, dan ia tahu bahwa dalam agama mana
pun, ketakutan selalu dapat dijadikan pengikat kuat antara umat dan ajarannya.
Ia menakut-nakuti penduduk desa dengan kehidupan akhirat, dengan mengatakan
bahwa untuk menghindari hukuman, orang harus memenuhi kewajibannya di bumi.
Peony
tersenyum dalam hati. Kewajibannya di bumi adalah membalas kematian kedua
orangtuanya, menikahi Shu, kemudian mengurus sebuah rumah penuh anak-anak. Sesudah
itu ia dan Shu akan meninggal dalam usia tua, lalu naik ke surga. Ia akan
mengembara di antara awan-awan lembut serta menikmati semua yang pernah mereka
nikmati selama hidup, termasuk hal ternikmat dalam hubungan suami-istri -
kenikmatan yang belum pernah dialaminya, namun selalu dibayang-bayangkannya
setiap kali mendengar erangan kenikmatan kedua orangtuanya di waktu malam.
Welas
Asih berkata, “Dengan berlaku baik, roh akan mencapai nirwana, tempat tidak ada
kepedihan ataupun kelaparan, kerinduan ataupun nafsu. Tak ada lagi tawa maupun
tangis, cinta maupun kebencian, untuk selama-lamanya.”
“Nah,
itulah!” kata-kata itu tiba-tiba saja terlompat dari mulut Peony dan membuat
semua orang menengok. Bahkan Welas Asih mendengar celetukannya. Biksu tua itu menggumamkan
sesuatu. Peony cepat-cepat berdiri.
Ia
menerobos kerumunan orang yang tercengang-cengang, kemudian memasuki bangunan
kuil, mencari dapur. Begitu menemukannya, ia mendesak seorang biksuni tua untuk
memberinya sedikit sisa bubur gandum. Saat ia menghabiskan sendok terakhir,
Welas Asih muncul.
“Kelakuanmu
tidak baik,” tegur Welas Asih, kemudian ia meminta biksuni tua itu keluar.
Begitu tinggal berdua, Welas Asih mengatakan bahwa andai kata Peony sudah menjadi
anggota Kuil Langit, ia akan mendapat hukuman keras karena ulahnya itu. “Kau
akan dibawa menghadap kepala biksuni, disuruh berlutut bertelanjang dada. Lalu kau
akan dicambuk sampai punggungmu berdarah-darah. Kau putri sahabatku, namun
disiplin di kuil ini tetap harus ditegakkan.”
Peony
tertawa. “Peraturan di kuil Anda takkan kuobrak-abrik, shih-fu yang kuhormati,”
ujarnya sambil menatap mata biksu tua itu tanpa berkedip. “Aku tak berniat
menjadi biksuni. Nirwana bukan tempatku. Aku akan bosan sekali. Bisa-bisa aku
akan berteriak-teriak dan membuat bingung semua Buddha di sana.”
Welas
Asih menggeleng-gelengkan kepala, tak berdaya. “Kehidupan di luar kuil penuh
dengan berbagai macam bahaya. Aku sudah berjanji pada ayahmu akan menjagamu...”
Peony
memotong, “Aku akan menjaga diriku sendiri, sampai aku menemukan Shu. Sesudah
itu dia yang akan menjagaku, seperti ketika kami masih kanak-kanak.” Ketika Welas
Asih mengangguk ragu-ragu, Peony menceritakan bagaimana keluarga Ma dan Shu
bertemu.
Sepuluh
tahun yang lalu, beberapa pangeran Mongol membagi tanah Cina di antara mereka.
Mereka mengendarai kuda dari daerah Sungai Kuning ke Sungai Yangtze,
masing-masing dengan sepasukan serdadu. “Menurut Baba, seorang pangeran akan
melemparkan tombaknya ke tanah untuk dijadikan tanda, kemudian dia memacu
kudanya sekencang-kencangnya. Begitu sampai kembali di tempat tombaknya, tanah
yang termasuk dalam lingkaran yang dibuat oleh tapak kudanya akan menjadi wilayah
kekuasaannya, sedangkan mereka yang tinggal dalam kawasan itu akan menjadi
budak-budaknya. Rakyat mulai memberontak. Kaum laki-laki dari desa-desa di Provinsi
Honan bersatu. Dalam salah satu pertempuran, babaku bertemu dengan Petani Shu
dari desa Pinus. Mereka langsung akrab.”
Pada
musim panas berikutnya, Petani Shu tiba di Lembah Zamrud bersama istri dan
keempat anak laki-laki mereka. Kedua keluarga itu berkumpul di tepi sungai
untuk menikmati kerlipan bintang di waktu malam.
Peony
berkata, “Mama mengusulkan agar keluarga Ma dan Shu berkumpul seperti itu lagi
setidaknya sekali dalam setahun, saat musim panas cukup hangat dan bintang-bintang
bersinar terang.” Seulas senyum malu-malu melembutkan ekspresi wajah Peony saat
ia melanjutkan, “Shu dan aku sama-sama berusia tujuh tahun ketika itu. Kami bermain
bersama-sama di tepi sungai itu. Oh, kami berhasil menangkap banyak
kunang-kunang. Tahun berikutnya kami bertemu di desa Pinus, dan kami diejek
anak-anak lain karena bermain bersama-sama. Kami hadapi mereka sebagai satu
tim, sampai mereka semua kabur sambil menangis. Ketika berusia sembilan tahun, kami
bertemu di Lembah Zamrud lagi, dan kali ini kami sama-sama menangis saat
terpaksa berpisah. Di tahun-tahun berikutnya perpisahan itu terasa semakin berat,
sehingga orangtua kami mulai merencanakan sesuatu untuk masa depan kami.”
Untuk
pertama kalinya Welas Asih melihat Peony menundukkan kepala dengan wajah
merona. Nadanya sekarang seperti seorang gadis pemalu. “Ketika kami berusia dua
belas tahun, orangtua kami mengadakan upacara sederhana untuk mempertunangkan
kami. Orang-orang dewasa minum arak dari guci di bawah bintang-bintang musim
panas, Shu dan aku berbagi sebuah kue dari tepung beras. Kami tidak menangis
kali ini, saat sinar bintang-bintang itu mulai memudar dan kami harus berpisah.
Kami tahu ketika itu, bahwa begitu mencapai usia enam belas tahun, kami akan
dinikahkan di bawah bulan purnama musim gugur.”
Peony
menatap biksu tua itu dengan pandangan hangat. “Nah, shih-fu yang kuhormati,
Anda mengerti sekarang kenapa aku tidak bisa menjadi biksuni serta merindukan nirwana?”
Welas
Asih mengangguk, lalu menghela napas dalam-dalam.
Peony
berkata lagi, “Semula aku bermaksud menantikan kedatangannya bersama
keluarganya pada musim panas ini. Tapi sekarang pikiranku berubah. Aku tak bisa
menunggu begitu lama. Aku akan berangkat besok, Shih-fu. Aku akan pergi
kepadanya, dan ibunya akan menerimaku begitu aku mengungkapkan kepada mereka
bahwa aku sekarang sebatang kara.”
Welas
Asih menghela napas sekali lagi. “Anakku, aku mengerti sekarang. Pergilah menghadap
para biksuni dan mintalah kepada mereka beberapa potong pakaian berwarna gelap.
Pakaian berkabungmu yang putih terlalu mencolok untuk bepergian melintasi
daerah-daerah yang dikuasai orang-orang Mongol itu.”
Saat
Peony melintasi halaman belakang yang terbuka, yang lain sudah berlalu. Angin
malam berembus lebih kencang sekarang, menggiring awan-awan tebal menutupi bulan.
Tanpa sinar bulan, cahaya bintang-bintang menjadi lebih terang. Peony
menengadahkan wajah, lalu tersenyum. Jarak antara desanya dan desa Shu dapat
ditempuhnya dalam dua hari. “Shu,” bisiknya lembut.
Di
bawah langit penuh bintang, halaman belakang Kuil Raja-raja yang terbuka tampak
terang benderang. Lebih dari dua puluh pemuda yang lolos dari kepungan serdadu-serdadu
Mongol dan membutuhkan perlindungan di belakang pintu kuil, kini menjadi calon
biksu dalam upacara Taoisme.
Sambil
menggenggam sebatang lilin, masing-masing calon berdiri dengan kepang terurai,
sehingga rambutnya tergerat penuh. Mereka menengadah menatap mimbar tempat Naga
Tanah berdiri dalam jubah kuning bersulam benang emas dan merah. Ia mengenakan
penutup kepala yang serasi serta sepasang sepatu yang ujungnya meruncing ke
atas.
“Untuk
menjadi biksu Tao, kalian harus dapat menerima kenyataan bahwa hidup ini tak
pernah berhenti berubah, begitu pula alam sekitarnya.” Naga Tanah berbicara
dengan suara lantang, dengan harapan Shu, yang berdiri terpisah dari yang lain
di sisi lain halaman itu, dapat mendengar ucapannya serta tergugah oleh
kepercayaan yang usianya sudah amat tua itu.
Namun
Shu masih terus berdiri sambil memindahkan berat tubuhnya dari satu kaki ke
kaki lain, mengikuti upacara itu dengan gelisah. Setelah di kuliahi biksu tua
itu mengenai kebakaran di rumahnya, ia mengubah keputusannya untuk tinggal di
kuil sampai luka-luka akibat pertarungannya dengan harimau itu pulih. Ia bahkan
sudah tak sabar lagi menunggu pagi. Ia harus berangkat malam ini. Buntelan
berisi barang-barangnya sudah menggelayut di ujung tongkat pendek yang
melintang di pundaknya.
Naga
Tanah melirik ke arah Shu dengan alis mengerut. Bulan tidak tampak, namun orang
tua itu dapat melihat di bawah sinar bintang. Ia mempelajari wajah Shu, namun
tak ada yang berubah dari ekspresinya yang sudah mantap itu. Biksu tua itu
menggigil, lalu dengan nada lebih tinggi ia berkata, “Matahari dan bulan tampil
bergantian masing-masing mewakili salah satu dari dua medan yang berlawanan-siang
dan malam, yin dan yang, yang baik dan yang jahat. Orang
baik harus memiliki kemauan untuk bertoleransi dengan peralihan dalam kehidupan
ini, serta menunggu saat kekuatan jahat meninggalkan dirinya, tanpa memaksa
dirinya melawan takdir tidak ramah yang sedang dihadapinya…”
Shu
mengangkat tangannya ke arah biksu tua itu, lalu diam-diam melambai meminta
diri. Ia memutar tubuh, memunggungi para penduduk desa, kemudian meninggalkan
kuil itu dengan langkah-langkah lebar. Ia dapat menangkap bagian akhir ritus
itu, sesudah itu suara para calon biksu yang mulai melantunkan doa. Sambil
terus melangkah ia menatap bintang-bintang. Garis-garis keras di wajahnya
langsung menghilang saat ia membisikkan sepatah kata, “Peony.”