Agatha Christie - Anjing Kematian #47



Panggilan Sayap-Sayap

I

SILAS Hamer pertama kali mendengarnya pada suatu malam musim dingin di bulan Februari. Ia dan Dick Borrows tengah berjalan pulang dari acara makan malam yang diadakan oleh Bernard Selden, spesialis saraf itu. Tidak seperti biasanya, Borrows banyak berdiam diri, dan Silas Hamer bertanya dengan perasaan ingin tahu, apa yang sedang dipikirkan temannya itu. Jawaban Borrow sungguh tak terduga.

      “Aku sedang berpikir, bahwa dari antara semua orang dalam acara makan malam tadi, hanya dua orang yang bisa mengatakan dirinya bahagia. Dan anehnya kedua orang itu adalah kau dan aku!”
      Kata ”anehnya” itu sangat tepat, sebab kedua pria itu memang sangat berbeda. Richard Borrows, pendeta east-end yang pekerja keras, dan Silas Hamer, pria kelimis yang merasa puas diri, yang kekayaannya sudah diketahui orang di mana-mana.
      “Aneh, bukan,” Borrows merenungkan, “aku yakin kau satu-satunya jutawan yang merasa puas, yang pernah kukenal.”
      Sesaat Hamer terdiam. Ketika ia berbicara nadanya sudah berubah. “Dulu aku hanyalah anak penjual koran yang malang dan selalu kedinginan. Waktu itu aku menginginkan apa-apa yang sekarang telah kuperoleh - perasaan nyaman dan kemewahan yang bisa diberikan oleh uang, bukan kekuasaan yang ada pada uang. Aku memang menginginkan uang, bukan untuk menggunakannya sebagai suatu kekuatan, tapi untuk kubelanjakan habis-habisan - untuk diriku sendiri. Aku terus terang saja tentang hal itu. Kata orang, uang tak bisa membeli segalanya. Benar sekali. Tapi uang bisa membeli segala sesuatu yang kuinginkan - karena itulah aku merasa puas. Aku seorang materialis, Borrows. Luar-dalam.”
      Penerangan benderang di jalanan lebar itu mengkombinasikan pernyataan Silas Hamer. Sosoknya yang elegan terbungkus oleh mantel berat dari bulu binatang dan cahaya lampu yang putih semakin memperjelas lipatan-lipatan daging tebal di bawah dagunya. Kontras sekali dengan Dick Borrows yang berada di sampingnya, dengan wajahnya yang tirus dan tenang, serta sepasang mata yang berkesan pemimpi dan fanatik.
      “Kaulah yang tak bisa kumengerti,” kata Hamer dengan nada menekan.
      Borrows tersenyum.
      “Aku hidup di tengah penderitaan, kekurangan, kelaparan - segala penyakit fisik! Tapi aku ditopang oleh sebuah visi yang sangat kuat. Tidak mudah memahami hal ini kecuali kau percaya akan visi, sementara aku yakin kau tidak percaya.”
      “Aku memang tidak percaya akan apa pun yang tidak bisa kulihat, kudengar, dan kusentuh,” kata Silas Hamer dengan tegas.
      “Karena itulah. Itu perbedaan di antara kita. Nah, sampai jumpa, aku akan segera turun ke bawah tanah.”
      Mereka sudah tiba di ambang pintu stasiun kereta bawah tanah yang diterangi lampu. Kereta dengan rute menuju rumah Borrow.
      Hamer melanjutkan perjalanan seorang diri. Ia senang telah menyuruh pulang sopirnya malam ini. Ia memilih untuk berjalan kaki saja. Udara terasa dingin dan tajam. Keseluruhan inderanya terasa peka akan kehangatan yang diberikan mantel bulunya.
      Ia berhenti sejenak di trotoar, sebelum menyeberangi jalan. Sebuah bus besar sedang bergerak dengan berat ke arahnya.
      Hamer, yang merasa sangat santai, menunggu sampai bus itu lewat. Kalau hendak menyeberang mendahului bus itu, ia mesti bergegas padahal ia tidak suka bergegas.
      Di sampingnya, seorang laki-laki compang-camping yang lusuh melangkah mabuk dari trotoar. Hamer mendengar seseorang berteriak, melihat bus besar itu meliuk menghindar tanpa guna, lalu... dengan tertegun, disusul rasa ngeri yang timbul perlahan-lahan, ia menatap sosok compang-camping yang tergeletak tak bergerak di tengah jalan itu.
      Orang-orang bermunculan secara ajaib, dengan dua orang polisi dan si pengemudi bus di tengah-tengah.
      Namun Hamer masih juga terpaku, dengan perasaan takjub bercampur ngeri pada onggokan tak bernyawa yang tadi masih merupakan seorang manusia - manusia hidup, seperti dirinya! Ia merinding, seperti merasakan sesuatu yang jahat.
      “Tidak usah menyalahkan diri sendiri, Bung,” kata seorang laki-laki yang tampak kasar di sampingnya. “Kau tidak mungkin bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, dia sudah mati.”
      Hamer terpaku menatapnya. Sejujurnya, tak pernah terpikir olehnya bahwa tadi ia bisa saja menyelamatkan orang itu. Sekarang ia menepiskan pikiran itu sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Wah, kalau tadi ia setolol itu, saat ini mungkin ia... Cepat-cepat ia menghentikan pikiran itu dan berlalu meninggalkan kerumunan orang di sana. Ia merasa tubuhnya gemetar oleh rasa takut tak terkira yang tak bisa dijelaskan. Ia terpaksa mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia takut - amat sangat takut – terhadap kematian... Kematian yang datang dengan kecepatan dan kepastian tak kenal ampun, yang mcngerikan, tak pandang bulu, pada yang miskin ataupun kaya...
      Ia mempercepat langkahnya, tapi rasa takut itu masih tetap dirasakannya, menyelimutinya dalam cengkeramannya yang dingin membekukan.
      Ia merasa heran akan dirinya sebab ia tahu bahwa ia bukanlah pengecut. Ia merenungkan, lima tahun yang lalu, rasa takut ini tidak bakal menyerangnya. Sebab lima tahun yang lalu hidup belumlah semanis ini... Ya, itu dia, kecintaan akan hidup, itulah kunci misterinya. Semangat hidupnya sedang berada pada puncaknya, dan hanya satu yang menjadi ancaman baginya, kematian, sang perusak!
      Ia berbelok dan trotoar yang terang benderang. Ada sebuah lorong sempit diapit tembok-tembok tinggi, yang menawarkan jalan pintas ke Square, tempat rumahnya berada, rumahnya, yang terkenal akan koleksi benda-benda seninya.
      Kebisingan jalanan di belakangnya berkurang dan mereda, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak pelan langkah-langkah kakinya sendiri. Kemudian, dari keremangan cahaya di depannya, terdengar suara lain. Seorang laki-laki duduk bersandar di tembok, memainkan seruling. Pasti dia salah satu dari sekian banyak pemusik jalanan di kota ini, tapi kenapa dia memilih tempat yang begitu aneh untuk duduk? Tentunya, pada malam selarut ini, polisi... Namun segala pikiran di dalam benak Hamer terhenti dengan mendadak, saat ia dengan terkejut menyadari bahwa laki-laki itu tidak mempunyai kaki.
      Sepasang tongkat penyangga tersandar di tembok, di sampingnya. Sekarang Hamer bisa melihat bahwa bukan seruling yang dimainkannya, melainkan sebuah alat musik yang aneh, yang nada-nadanya jauh lebih tinggi dan lebih jernuh daripada nada-nada seruling.
      Laki-laki itu terus memainkan alat musiknya. Ia tidak mengacuhkan kedatangan Hamer. Kepalanya tertengadah jauh ke belakang, seakan terangkat oleh kebahagiaan yang ia rasakan dari musiknya sendiri dan nada-nada musik itu mengalir dengan jernih dan gembira, semakin tinggi dan semakin tinggi... Nada itu aneh sekali - sebenarnya sama sekali tak bisa disebut nada, melainkan sebuah frasa tunggal, mirip dengan nada-nada peralihan yang lamban dalam gesekan biola-biola pada Rietizi, diulangi berkali-kali, beralih dari satu kunci nada ke kunci nada lainnya, dari satu harmoni ke harmoni lainnya, tapi selalu makin tinggi, dan setiap kali melengking ke kebebasan yang lebih besar dan lebih tak berbatas.
      Belum pernah Hamer mendengar yang seperti itu. Ada kesan aneh dalam nada-nada itu, sesuatu yang menimbulkan inspirasi - dan melegakan jiwa. Nada itu... Dengan panik ia mencengkeram sebuah tonjolan di tembok di sampingnya.
      Ia sadar akan satu hal - ia mesti tetap di tanah - apa pun yang terjadi, ia mesti tetap berada di tanah.
      Sekonyong-konyong ia menyadari bahwa musik itu telah berhenti. Laki-laki yang tidak berkaki itu sedang mengambil tongkat-tongkat penyangganya. Sementara ia, Silas Hamer, sedang mencengkeram sebuah tonjolan batu seperti orang sinting hanya karena ia diliputi perasaan yang benar-benar tidak masuk akal - amat sangat absurd - bahwa ia, tengah terangkat dari tanah – bahwa musik itu membawanya melayang naik...
      Ia tertawa. Benar-benar pikiran sinting! Kakinya, jelas-jelas tidak terangkat dari tanah sedikit pun, tapi aneh sekali halusinasi yang dialaminya itu! Bunyi detak cepat kayu yang beradu dengan tanah memberitahunya bahwa laki-laki cacat itu tengah berjalan pergi.
      Hamer memandanginya sampai sosok orang itu tertelan kegelapan. Orang aneh!
      Ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih perlahan. Ia tak bisa menepiskan dari benaknya pikiran akan perasaan aneh yang luar biasa seperti barusan tadi, ketika tanah di bawah kakinya serasa lenyap. Kemudian, berdasarkan dorongan hati semata-mata, ia berbalik dan cepat-cepat berjalan ke arah yang diambil laki-laki tadi. Tak mungkin orang itu sudah jauh - ia pasti bisa menyusulnya.
      Hamer berseru begitu melihat sosok cacat itu bergerak perlahan-lahan. “Hei, tunggu sebentar.”
      Orang itu berhenti dan diam tak bergerak sampai Hamer berhasil menyusulnya. Sebuah lampu menyala tepat di atas kepalanya, memperlihatkan keseluruhan wajahnya. Silas Hamer tercekat terkejut. Laki-laki itu memiliki kepala paling indah yang pernah dilihatnya. Umurnya bisa berapa saja; jelas ia bukan anak kecil lagi, tapi wajahnya tampak begitu muda - muda dan penuh vitalitas.
      Aneh sekali. Hamer merasa sangat sulit membuka percakapan dengan orang itu.
      “Coba dengar,” katanya dengan canggung. “Aku ingin tahu, musik apa yang kaumainkan tadi itu?”
      Laki-laki itu tersenyum... bersama senyumannya, sekonyong-konyong seluruh dunia ikut melonjak gembira... “Itu sebuah nada lama - sudah sangat tua... sudah bertahun-tahun - berabad-abad umurnya.”
      Suaranya menyimpan kejernihan dan ketegasan yang aneh, memberikan nilai yang sama pada masing-masing suku katanya. Ia jelas bukan orang Inggris, tapi Hamer tak bisa menebak kebangsaannya.
      “Kau bukan orang Inggris? Dari mana asalmu?”
      Lagi-lagi orang itu menyunggingkan senyum lebar dan gembira. “Dari seberang lautan, Sir. Aku datang lama berselang... sudah lama sekali berselang.”
      “Kau pasti pernah mengalami kecelakaan parah. Apakah terjadinya belum lama ini?”
      “Sudah agak lama, Sir.”
      “Malang sekali, kehilangan dua kaki.”
      “Tidak apa-apa,” kata orang itu dengan sangat tenang. Dengan keseriusan yang tak dapat ditebak, ia mengalihkan tatapannya pada Hamer. “Kaki-kaki itu membawa kejahatan.”
      Hamer memberikan satu shilling padanya, lalu berbalik pergi. Ia merasa bingung dan agak gelisah. ”Kaki-kaki itu membawa kejahatan!” Aneh sekali, mengatakan itu! Mungkin kedua kakinya diamputasi karena penyakit, tapi... aneh sekali ucapannya itu.
      Hamer pulang ke rumahnya, masih sambil berpikir.

Sia-sia ia mencoba mengenyahkan peristiwa tadi dari benaknya. Ia berbaring di tempat tidur, dan ketika rasa kantuk mulai menyelimutinya. Ia mendengar jam berdentang satu kali. Satu dentang jernih, lalu sunyi... kesunyian yang kemudian dipecahkan oleh sebuah suara samar yang sudah dikenalnya... hatinya serasa melonjak mengenali suara itu. Hamer merasa jantungnya berdebar kencang. Itu suara laki-laki di lorong tadi, tengah memainkan musiknya, di suatu tempat yang tidak terlalu jauh...
      Nada-nada musik itu menari-nari gembira, berganti perlahan dengan panggilan yang membawa kegembiraan, frasa kecil yang sama, yang tak bisa dilupakan... “Aneh,” gumam Hamer, “aneh. Nada-nada itu seakan memiliki sayap...”
      Semakin jernih dan semakin jernih, semakin tinggi dan semakin tinggi - setiap gelombang naik lebih tinggi daripada yang sebelumnya, membawa dirinya ikut naik bersama. Kali ini ia tidak berusaha bertahan, dibiarkannya dirinya lepas... Naik... naik... gelombang-gelombang nada itu membawanya lebih tinggi dan lebih tinggi... Penuh kemenangan dan bebas, nada-nada itu bagai menyapunya.
      Semakin tinggi dan semakin tinggi, sekarang nada-nada itu telah melewati batas nada-nada manusia, tapi masih terus berlanjut... terus dan terus meninggi... akankah mereka mencapai titik akhir ketinggian yang sepenuhnya sempurna?
      Terus meninggi...
      Ada sesuatu yang menariknya - menariknya ke bawah. Sesuatu yang besar, berat, dan memaksa. Menariknya tanpa ampun - menariknya kembali, turun... turun...
      Ia berbaring di tempat tidurnya memandangi jendela di seberang. Kemudian, sambil menarik napas dengan berat dan susah payah, ia mengulurkan satu lengannya melewati tepi tempat tidur.
      Aneh, gerakan itu terasa berat sekali baginya. Kelembutan tempat tidurnya terasa menekan, begitu pula tirai-tirai tebal di jendela, yang menutupi cahaya dan udara. Langit-langit kamar ini juga terasa menekan. Ia merasa tercekik dan tak bisa bernapas. Ia bergerak sedikit di bawah selimutnya, dan berat tubuhnya terasa paling menekan dan antara semuanya....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...