BAGIAN
III
Episode 20
PARA tukang masak kerajaan sedang melakukan persiapan
untuk suatu perjamuan besar. Saat itu merupakan hari kelima setelah Pesta Bulan
untuk orang-orang Cina, yang sebagaimana biasanya tidak dirayakan oleh orang-orang
Mongol di Da-du, meskipun hidangan kepiting dari kota Yin-tin toh mereka
nikmati. Kilau Bintang bangga karena selama dua tahun terakhir ini, semua
kepiting krisan sampai dalam keadaan hidup.
Pesta
kerajaan itu dihadiri oleh semua pangeran, putri, pejabat istana beserta
keluarga mereka, sementara di tempat terhormat Khan Badai Pasir duduk di antara
Shadow Tamu dan Pedang Dahsyat. Selama bertahun-tahun si penasihat mengambil
semua keputusan baginya, dan panglima jenderalnya menyelesaikan semua urusan pertahanan
negerinya. Karenanya ia dapat menghabiskan hari-harinya yang panjang dengan
bercinta dengan Kilau Bintang serta menikmati kecantikannya.
“Coba
lihat,” ujar khan tua itu sambil menudingkan jari ke selirnya, yang saat itu
berdiri di sisi lain bangsal makan yang megah itu, mengawasi kepiting-kepiting
hidup yang sedang direbus. “Tertawa seperti kanak-kanak. Wajahnya begitu
polos.”
Pedang
Dahsyat dan Shadow Tamu berpandangan di belakang Khan Badai Pasir. Mereka
sama-sama tidak punya keturunan, dan mereka mencintai adik bungsu mereka seakan
ia anak perempuan mereka. Namun belakangan ini mereka mulai khawatir, mengingat
usia Kilau Bintang sudah menjelang 29 tahun. Fakta bahwa ia masih tetap menjadi
favorit Khan Badai Pasir selama enam tahun terakhir ini sungguh-sungguh
menakjubkan. Biasanya seorang khan hanya akan tertarik pada wanita yang sama selama
paling lama satu tahun atau malah kurang, dan jarang sekali ada yang
menunjukkan minat pada wanita yang sudah berusia di atas 25 tahun.
“Adik
kita memang betul-betul istimewa,” ujar Shadow Tamu sambil tersenyum ke arah
adiknya.
Pedang
Dahsyat mengangkat cangkir emasnya. “Untuk khan kita yang agung dan adik bungsu
kita! “
Saat pesta berlangsung, tak seorang pun
memperhatikan ketidakhadiran Pangeran Taufan, salah satu di antara kemenakan
Khan Badai Pasir. Pangeran ini masih muda, bertubuh kekar, dan amat brilian.
Selain itu, ia juga amat ambisius.
Tempat
kediamannya agak jauh dari bangsal makan yang megah itu. Para pengawal
pribadinya berdiri di muka pintu-pintunya yang tertutup, siap mencegat siapa
pun yang berniat masuk.
Bau
bahan peledak yang menyengat memenuhi bagian istana yang didiami Pangeran
Taufan, yang sedang sibuk bersama enam pandai besi terpilih karena keterampilan
mereka yang menonjol. Berbagai jenis senapan tergelar di meja besar.
Benda-benda itu merupakan hasil ciptaan orang-orang dari Dinasti Sung, sekitar
lebih dari tujuh tahun yang lalu.
Pangeran
Taufan memungut naga terbang, sebuah roket yang bisa melesat setelah
bagian-bagiannya yang terbuat dari bambu tebal diisi bahan peledak. Begitu
didorong keluar dari sebuah bumbung bambu pendek dengan sebuah tongkat panjang,
benda ini dapat mengenai sasaran berjarak enam meter dan membakarnya. “Kurang
bagus!” ujar pangeran itu sambil meletakkannya kembali.
Kemudian
ia mengambil naga kilat, sebuah wadah tanah liat berbentuk tabung yang harus
diisi bahan peledak. Setelah dilempar, tabung itu akan pecah begitu menyentuh tanah,
bahan-bahan peledaknya akan menimbulkan suara keras, lalu suatu lidah api akan
membubung tinggi. “Ini efektif untuk melacak musuh dalam kegelapan, tapi bukan yang
kuinginkan.” Si pangeran menggeleng-gelengkan kepala sambil mengembalikan
senjata itu ke tempatnya.
“Yang
Mulia, rasanya kami sudah menciptakan sesuatu yang sesuai dengan harapan Anda,”
ujar salah seorang pandai besi dengan nada antusias.
Sebuah
tabung besi sepanjang lengan laki-laki dewasa yang agak melengkung di
pangkalnya, diisi dengan campuran bahan peledak, remukan batu-batu, serta bubuk
besi. Di bagian yang agak melengkung itu ada pemicu yang tertahan di tempat
oleh sebatang kawat tipis.
Si
pandai besi menjelaskan, “Begitu pemicunya dilepas, campuran itu akan
menghambur keluar dengan amat cepat, mengenai sasaran, kemudian
menghancurkannya. Anda bisa berdiri dalam jarak lima belas meter dari musuh
Anda dan membunuhnya, andai kata bidikan Anda tepat.”
Pangeran
Taufan meraih, kemudian menggenggam tabung besi itu di tangannya. Sesudah itu
ia membidikkannya ke arah suatu sasaran bayangan. Senyum menghiasi wajahnya
saat ia berkata, “Mulai besok kalian berenam harus ikut denganku ke dalam
hutan, tempat tak seorang pun dapat melihat atau mendengarku latihan.” Sambil
termenung si pangeran berkata lagi, “Kita namakan apa benda ini? Coba kupikir
dulu. Ini tangan yang akan membunuh untukku. Tangan Maut! Ya, itu!”
Di suatu hari, pada musim semi 1352, Khan Badai
Pasir yang Agung berjalan-jalan di kebunnya, di bawah penjagaan ketat para
pengawalnya, sebagaimana biasa. Dengan nekat, Pangeran Taufan bersembunyi di
balik sebuah batu besar di sisi lain kebun itu. Ia membidikkan Tangan Maut-nya
ke arah Khan, kemudian menarik picunya. Campuran bahan peledaknya menimbulkan lubang
yang menembus jantung Khan.
Meskipun
tidak dinobatkan untuk naik takhta, Pangeran Taufan akhirnya berhasil menguasai
istana beserta semua yang tinggal di dalamnya. “Bunuh semua selir yang tak punya
anak dan umurnya lebih tua dariku!” perintah calon penguasa baru yang berusia
21 tahun itu. “Aku mau istanaku diisi dengan gadis-gadis cantik yang masih muda.
Kalau seorang selir tua tak punya anak, tak ada alasan baginya untuk makan
tempat.”
Perintah
si calon penguasa langsung dilaksanakan. Begitu Shadow Tamu mendengar mengenai
pemenggalan kepala Kilau Bintang, ia langsung menjatuhkan cangkir emasnya, lalu
menjerit, “Adikku yang malang baru berusia tiga puluh tahun dan masih cantik!”
Si
penasihat khan yang terdahulu tidak hanya sedih karena adiknya mati, tapi juga
amat tersinggung karena khan yang baru telah menitahkan sesuatu tanpa menanyakan
pendapatnya lebih dulu. Namun Shadow Tamu selihai musang, dan saat menguburkan
Kilau Bintang di samping makam Khan Badai Pasir, di wajahnya tidak terungkap
apa-apa. Tak seorang pun dapat membaca apa yang berkecamuk dalam pikirannya,
kecuali Pedang Dahsyat, yang langsung kembali ke istana untuk menghadiri upacara
pemakaman itu.
“Akan
kita balas kematian adik kita,” ujarnya begitu mereka tinggal berdua.
“Tentu
saja,” jawab Shadow Tamu. “Kita tinggal menunggu waktunya.”
Musim semi hampir berakhir, kebun istana penuh dengan
bunga-bunga berguguran. Shadow Tamu melangkah di atas kuntum-kuntum itu dalam perjalanannya
menuju sebuah kuil Lama, untuk mendoakan arwah adiknya. Ia sedang bersujud di
hadapan sebuah patung Buddha sambil memohon dengan penuh ketulusan hati saat
Pangeran Taufan memasuki ruangan yang sama.
“Aku
membutuhkan bantuanmu,” ujar calon khan yang baru itu. Ia memerintahkan para
pengawal untuk meninggalkan kuil, lalu menutup pintu-pintunya. Ia meletakkan
Tangan Maut-nya di altar, lalu duduk di sebelahnya. Pangeran itu amat jarang
terlihat tanpa senjata ajaibnya. “Aku akan naik takhta besok, dan kau akan
tetap menduduki jabatanmu sebagai penasihatku. Itu kalau kau dapat memecahkan
sebuah masalah untukku. Coba kita uji, sampai di mana kecerdikanmu.”
Pangeran
Taufan ingin mengisi istananya dengan gadis-gadis muda yang cantik dan
menyenangkan dipandang mata, namun hatinya terpaut pada seorang wanita yang
sudah menikah, yang bersuamikan seorang jenderal yang kedudukannya hanya
setingkat di bawah Pedang Dahsyat. Sebagai pangeran, Taufan dapat menjalin hubungan
gelapnya tanpa menimbulkan kecurigaan siapa pun, tapi sebagai Khan yang Agung,
setiap gerak-geriknya akan menjadi rahasia umum.
“Aku
tak tahan untuk tidak bertemu dengannya lagi. Tapi aku juga tak boleh membuat
suaminya marah,” ujar si pangeran putus asa.
Mata
Shadow Tamu berbinar, karena sesungguhnya jenderal itu merupakan perintang
utamanya dalam usahanya menggulingkan khan baru ini. Dengan nada yang tak
sedikit pun mengungkapkan emosinya, ia berkata, “Tidak sulit tentunya bagi
seorang khan yang berkuasa untuk menyingkirkan seorang jenderal. Dia bahkan
sama sekali tidak membutuhkan alasan itu. Janda si jenderal kemudian dapat
diboyong ke istana untuk mengisi tempat kosong yang tersedia.” Ia menunggu sampai
si pangeran yang masih muda masuk ke jebakannya.
“Tidak.
Aku tidak menghendaki itu,” ujar Pangeran Taufan. “Aku cuma ingin bertemu
dengan istri si jenderal secara diam-diam. Kalau dia juga tinggal di istana,
dia akan menjadi perintang hubunganku dengan gadis-gadis cantik lainnya.”
Kemudian dengan ragu si pangeran muda menambahkan, “Mungkin cintaku padanya
tidak cukup besar. Aku tidak begitu yakin, apa sebetulnya cinta sejati itu.”
Shadow
Tamu menyembunyikan kekecewaannya. Tapi setelah menimbang-nimbang kembali
masalah itu, sebuah gagasan yang luar biasa melintas dalam pikirannya. Bagaimanapun
juga, yang pertama harus dilakukannya adalah mendapatkan kepercayaan penuh dari
khan baru ini.
Dua ratus orang Cina kemudian dikerahkan secara
paksa untuk menggali terowongan. Satu ujungnya menembus kamar kepala biksu
sebuah kuil Lama yang terletak di dekat rumah si jenderal, yang lainnya
menembus halaman istana.
Orang-orang
itu bekerja siang-malam, dan selama itu mereka tak dapat berhubungan dengan
dunia luar. Terowongan rahasia itu akhirnya rampung dalam waktu dua puluh hari,
dan kedua ratus pekerja itu langsung dibunuh setelah tugas mereka selesai.
Sesudah
itu Shadow Tamu memberikan laporan kepada khan yang baru naik takhta itu
mengenai terowongan tersebut. Khan itu meninggalkan gadis-gadis mudanya yang cantik-cantik
untuk mengikuti penasihatnya ke kebun istana.
Pada saat bersamaan, seorang pesuruh mendapat tugas untuk
menemui istri si jenderal. Begitu menerima pesannya, wanita cantik itu
mengenakan pakaian terbaiknya, lalu bergegas ke kuil yang terletak di dekat tempat
tinggainya. Setelah memanjatkan doa ke hadirat sang Buddha, ia memerintahkan
para pelayannya menunggu di luar kuil, sementara ia masih ingin berbincang-bincang
dengan kepala biksu di ruangan pribadinya.
Khan
Taufan yang Agung tidak melihat perlunya membawa Tangan Maut-nya dalam
petualangan cintanya, karena itu ia menitipkan senjata ajaibnya itu pada kepala
kedua puluh pengawal pribadinya. Pasukannya ini tetap berdiri di tempat begitu
Khan sampai di undak-undakan tangga yang menuju sebuah patung Buddha. Khan
berlutut di kaki patung itu, kemudian menekankan ibu jari kaki kirinya.
Mata
para pengawal terbeliak saat sebuah pintu kayu di sisi pelataran mulai bergeser
ke samping, menyingkapkan sebuah jalan masuk. Khan berdiri, lalu menuruni
sebuah tangga rendah. Dari dalam terdengar suara seorang wanita, “Aku begitu
rindu padamu! Kukira kau sudah lupa padaku!”
Shadow
Tamu berdiri di dekat hasil ciptaannya, namun sama sekali tidak bangga. Di
matanya membayang sinar kebencian yang amat sangat saat ia menyaksikan Khan merengkuh
kekasihnya dalam pelukannya, kemudian menuruni tangga yang akan membawa mereka
ke sebuah ruangan kecil yang dihias dengan megah. Setelah Khan memutar sebuah
tempat lilin emas yang terletak di meja di samping tempat tidurnya, pintunya
mulai bergeser kembali ke tempat semula.
Baik
Shadow Tamu maupun para pengawalnya menunggu dengan sabar, sampai Khan yang
Agung muncul kembali dengan senyum puas di wajahnya yang masih muda.
“Perintahkan pada bendaharaku untuk memberimu sekantong emas,” ujar Khan kepada
Shadow Tamu. “Kau memang pantas mendapatkan penghargaan itu.”
Si penasihat membungkukkan tubuh untuk
menyatakan rasa terima kasihnya, kemudian menyipitkan matanya di belakang Khan
yang sedang beranjak dari ruangan itu. Baginya memenangkan hati Taufan yang
masih muda adalah permainan anak-anak. Tak ada lagi keraguan dalam dirinya
bahwa kematian adiknya akan segera terbalas.