Ching Yun Bezine - Sungai Lampion #22



Episode 21

SEBUAH rombongan bergerak di bawah sengatan panas matahari. Dua tandu tertutup dlikuti sepuluh gerobak yang ditarik oleh sapi dan masing-masing dikawal oleh enam orang.

        Di luar kebiasaannya, Peony menaiki salah sebuah tandu itu. Tanggap Kuo sedikit tertunda dalam perjalanan panjangnya, sehingga ia terlambat pulang. Joy Kuo menjadi resah. Karenanya, Peony dikirim untuk mencari tahu. Ia berpapasan dengan rombongan majikannya di perbatasan Provinsi Honan dua hari yang lalu. Setelah menugaskan seorang pesuruh untuk segera menyampaikan kepada Lady Kuo bahwa suaminya selamat, Peony menemani majikannya pulang ke kota Gunung Makmur.
        Saat menatap ke luar tandunya di daerah pinggiran kota ia melihat genting-genting biru sebuah kuil Lama yang hampir jadi, berkilauan di bawah matahari musim panas. Beberapa orang Cina sedang merampungkan hiasan-hiasannya. Peony mengerutkan alis. Ia semakin geram saat mereka mendekati sebuah pos penjagaan Mongol. Semua orang yang akan memasuki Gunung Makmur harus digeledah.
        “Berhenti!” ujar seorang serdadu Mongol, yang berdiri di tengah jalan dengan kaki terentang dan pedang terhunus ke arah kedua tandu.
        Yang tertua di antara mereka menjawab dengan senyum di wajah, namun nada suaranya sinis, “Tidakkah kaulihat simbol keluarga pada penyingkap tandu? Yah, tapi rupanya kau tidak dapat membaca. Kami anak buah Master Kuo. Beliau dan pelayannya baru kembali dari Selatan, sehabis melakukan perjalanan dagang.”
        Sementara itu tiga serdadu bergabung dengan yang pertama. Salah seorang di antara mereka mengamati simbol pada tirai tandu, lalu berkata, “Kami sudah pernah mendengar nama majikanmu, tapi kami harus menggeledah gerobak-gerobak itu. Kalau tidak, dari mana kami tahu kalian tidak membawa senjata? Kalian, orang-orang Cina, memang tak dapat dipercaya. Jangan pikir kami tidak tahu mengenai pisau dan pedang-pedang yang kalian buat secara diam-diam.”
        Kedua tandu itu diturunkan dengan hati-hati ke tanah. Tirai tandu pertama dibuka oleh sebuah tangan, kemudian seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi dan ramping muncul dengan jubah sutranya yang cokelat.
        Dengan tenang Tanggap Kuo berkata pada keempat serdadu itu, “Kalian boleh memeriksa isi gerobak-gerobakku, tapi kalian hanya akan menemukan barang-barang porselen. Kalian masing-masing boleh mengambil sesuatu sebagai hadiah. Aku hanya minta kepada kalian untuk berhati-hati dengan benda-benda seni yang halus itu.”
        Mata para serdadu melebar begitu melihat seorang gadis keluar dari tandu kedua. Tubuhnya yang tinggi besar mengingatkan mereka akan kaum wanita dari tempat asal mereka. Peony berdiri dengan kaki mengangkang dan tangan di pinggang. Ia menatap mereka dengan pandangan menantang.
        Para serdadu mengalihkan mata. Saat itu mereka lebih tertarik pada apa yang termuat di dalam gerobak-gerobak Master Kuo. Dua serdadu lain muncul untuk bergabung, lalu langsung ikut menyerbu jarahan mereka.
        Keenam puluh anak buah Kuo berdiri sambil mengawasi serdadu-serdadu itu, tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa, namun tinju mereka terkepal kuat-kuat. Setelah lima tahun, anggota pasukan Kuo sudah berjumlah sekitar seribu orang, dan yang bersamanya kali ini adalah yang paling elite di antara mereka. Mereka semua tahu bahwa di gerobak paling belakang, di bawah barang-barang porselen, terdapat sesuatu yang sebaiknya tidak sampai diketahui oleh orang-orang Mongol ini.
        Keenam serdadu ini menghampiri keenam gerobak pertama, masing-masing satu. Mereka menyingkapkan jeraminya dan menemukan barang pecah belah dari porselen, seperti piring, mangkuk, vas bunga, serta kotak-kotak perhiasan. Dalam waktu singkat mereka menemukan sesuatu yang mereka anggap cukup memadai, sehingga merasa tak perlu menggeledah keempat gerobak yang lain. Mereka mengacungkan barang-barang jarahan mereka ke arah Kuo saat kembali ke pos mereka.
        Peony menghela napas lega. Para anggota pasukan Kuo meregangkan kepalan mereka. Dengan sinis Kuo berseru kepada serdadu-serdadu itu, “Aku senang kalian dapat menghargai barang-barang porselen kota Yin-tin. Tak ada yang lebih baik dari itu di Cina.”
        Rombongan itu melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian di kejauhan terlihat rumah keluarga Kuo, dengan beberapa rangkaian kembang api panjang bergelantungan dari tiang-tiang bambu. Sewaktu mereka mendekat, seorang penjaga berteriak. Rangkaian kembang api itu kemudian dinyalakan. “Selamat datang, Master Kuo!” seru seluruh penghuni rumah sambil membungkuk, menyambut kedatangan majikan yang amat mereka hormati.
        Kuo berkata kepada empat pengawalnya, “Ambilkan kedua benda yang kusembunyikan dalam gerobak terakhir.” Kemudian ia bergegas masuk.
        Peony segera membuntuti tuannya, lalu melihat nyonyanya duduk di sebuah kursi berlapis satin. Jubahnya hijau kepucatan. Peony mengernyitkan wajah ke arah Meadow, si pengurus rumah tangga keluarga Kuo yang sudah tua, yang sedang mendampingi Lady Kuo, lalu berseru, “Nyonyaku, sudah kulakukan seperti yang Anda perintahkan kepadaku. Aku memastikan Tuan makan tiga kali sehari, dan tidur cepat-cepat setiap malam!”
        Kuo membungkukkan tubuh di dekat istrinya, lalu meraih tangannya yang halus tanpa memedulikan kehadiran yang lain, ia mengecup tangannya, kemudian mengusapkannya ke wajahnya sambil berkata, “Aku begitu merindukan dirimu.”
        Wajah Joy merona. Tidak biasanya laki-laki mengecup tangan wanita di depan banyak orang. Kemudian ia mengerutkan alis, seakan ada sesuatu yang tidak beres. Indra pendengaran Lady Kuo lebih tajam daripada mereka yang dapat melihat.
        “Aku menangkap nada kecewa dalam suaramu, Suamiku,” ujarnya, sambil mencoba melepaskan tangannya dari genggaman suaminya. Karena sia-sia, dengan menggunakan tangan lainnya ia meraba wajah suaminya. Jari-jarinya menjelajahi sekitar alisnya. “Adakah sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan harapan?”
        Kuo menengadahkan wajahnya persis pada saat empat pengawainya muncul dengan dua kotak besar. “Aku membawa pulang beberapa benda yang sangat menarik,” ujarnya setelah memberikan tanda kepada para anak buahnya untuk meletakkan kotak-kotak itu di meja. “Untung orang-orang Mongol itu tidak menemukannya.”
        Meadow sama sekali tidak menaruh minat pada isi kedua kotak itu. “Membuang-buang uang nyonyaku untuk barang-barang yang tak berguna,” gerutunya dengan nada rendah saat ia meninggalkan ruangan itu bersama keempat pengawal Master Kuo.
        Peony tidak berniat ikut beranjak dari sana. Ia memperhatikan saat majikannya membawa kotak yang lebih kecil ke dekat istrinya. Setelah dibuka, tampak beberapa batang kayu yang panjangnya sekitar sepuluh sentimeter.
        Kuo mengeluarkan sebatang dari kotaknya, kemudian meletakkannya dalam genggaman istrinya. “Batang api ini hasil penemuan beberapa orang Selatan yang pintar.”
        “Baunya seperti kembang api,” ujar Joy Kuo, sambil mengendus ujung merah batang itu.
        “Betul,” ujar suaminya. “Para pembuatnya mencelupkan batang-batang ini ke dalam suatu campuran bahan peledak dan lem.” Ia membiarkan Joy meraba salah satu sisi kotak kayu yang cukup kasar. “Dan mereka juga menempelkan pasir halus pada kotaknya. Begitu mereka membutuhkan api, mereka cuma perlu begini...” Ia mengambil benda di tangan istrinya, lalu menggoreskan ujungnya yang merah pada bagian kasar kotaknya dengan cepat.
        “Batangnya terbakar!” seru Peony antusias.
        “Ajaib sekali!” Ia membawa tangan nyonyanya ke dekat lidah api untuk merasakan kehangatannya, kemudian menatap majikannya dengan pandangan memohon, persis seorang bocah yang meminta izin mencoba permainan baru.
        “Ayolah,” ujar Kuo sambil tersenyum pada pelayan favorit istrinya.
        Peony menunggu sampai batangnya mulai terbakar, lalu berseru dengan penuh semangat, “Akhirnya Buddha Api mau membagi rahasianya dengan kita! Kita tak perlu lagi menggosok-gosok batu api untuk menyalakan api utama setiap pagi!”
        “Tak sulit membuat batang api seperti ini. Aku sudah mempelajari caranya, dan aku akan meneruskannya pada orang-orang Utara,” ujar Kuo bangga. “Tak aneh kalau kelak seluruh dunia mengetahui rahasia pembuatan batang-batang api ini.”
        “Batang api,” ulang Joy Kuo. “Nama yang cocok sekali.” Kemudian ia bertanya, “Tapi kenapa kita harus merahasiakannya dari orang-orang Mongol?”
        “Sebetulnya ada yang lebih penting daripada batang-batang api itu.” Kuo menunjuk kotak yang lebih besar. “Peony, coba bawakan kotak itu ke sini.”
        Kotak ini panjangnya lebih dari satu meter dan lumayan berat. Peony menyerahkannya pada majikannya, kemudian mengawasinya saat ia mengeluarkan sebuah tabung besi dari dalamnya, dan menunggu sampai ia menerangkan kepada mereka, benda aneh apa yang ada dalam genggamannya itu.
        Suara Kuo amat rendah dan serius. “Khan yang sekarang berkuasa memiliki enam pandai besi yang menciptakan Tangan Maut ini baginya, yang kemudian dipakai untuk membunuh khan yang terdahulu. Sementara salah satu di antara keenam pandai besi itu sekarat, dia menurunkan desainnya kepada putra sulungnya, yang kemudian pergi ke daerah Selatan untuk menjual desain itu pada kaum patriot kita. Bangsa kita mengganti namanya menjadi Naga Kobar. Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk ini.”
        Joy mengelus permukaan tabung besi yang dingin itu, kemudian menggigil. Kuo meraih tangannya, lalu mendekatkannya ke dadanya. “Aku dapat merasakan ketakutanmu terhadap benda ini.”
        Khan Taufan, lanjutnya, tak ingin ada orang lain dalam kalangan istana memiliki Tangan Maut. Artinya senjata ini tidak akan digunakan oleh orang-orang Mongol selama ia masih hidup. Di lain pihak, para pemimpin pergerakan orang-orang Cina di Selatan sudah mulai membuat Naga Kobar. Namun biayanya tinggi sekali, sehingga tak ada yang sanggup membuat dalam jumlah cukup besar. Di antara para pemimpin pergerakan di daerah Utara, hanya Kuo yang memiliki sebuah Naga Kobar.
        Kuo berkata, “Andai kata senjata pribadi Khan ini juga boleh digunakan para serdadu Mongol, dan andai kata semua orang Cina yang memberontak juga menggunakannya, perang yang berkecamuk akan sepuluh kali lebih dahsyat daripada sekarang.” Nada bicara Kuo terdengar amat prihatin saat ia berkata lagi, “Begitu dunia luar mengetahui keberadaan senjata ini, pertumpahan darah di antara umat manusia akan tidak terkendali lagi.”
        Peony menyukai rasa tabung besi itu dalam genggamannya. Ia mempermainkannya sambil mengikuti pembicaraan di antara kedua majikannya.
        “Kau belum mengungkapkan mengapa nadamu terdengar begitu kecewa tadi,” ujar Joy prihatin.
        “Tujuan utama perjalananku kali ini adalah menjawab undangan yang kuterima dari Lu. Aku berharap bisa mempersatukan kekuatan orang-orang Selatan dengan orang-orang Utara serta menentukan tanggal untuk suatu revolusi nasional…”
        Kuo menjelaskan lebih jauh, sementara Peony mendengarkan dengan penuh perhatian setelah meletakkan Naga Kobar kembali di tempatnya.
        “Semua orang Cina penduduk kota Yin-tin tahu tempat kediaman Lu. Mereka bersikap amat hormat saat membicarakan keluarga Lu atau menunjuk ke rumah di dekat Danau Angin Berbisik yang didiami keluarga itu. Air mata mereka berlinang saat mengungkapkan kepadaku bahwa Wali Kota Lu belum lama meninggal, dan mereka sekarang kehilangan seorang figur bapak yang selalu siap melindungi mereka.
        “Hujan turun amat deras saat aku tiba di muka kediaman keluarga Lu. Aku menunggu dalam hujan, namun Lu tak juga mau keluar menemuiku. Kemudian aku mendengar, di daerah Selatan, tradisi berkabung selama seratus hari ternyata dilaksanakan lebih ketat daripada di Utara, terutama di kalangan kaum cendekiawan kaya yang mampu melakukannya.”
        Menurut tradisi, jika seorang ayah meninggal, putranya harus berkabung untuknya selama seratus hari. Selama periode itu, ia harus tetap tinggal di rumah serta mengenakan pakaian hitam, tidak makan daging, minum air dingin, pantang bersetubuh, serta tidak menemui siapa-siapa kecuali keluarga terdekat.
        Kuo berkata, “Aku menunggu dalam hujan sambil berharap pikirannya akan berubah, tapi sia-sia. Aku tak bisa tinggal di Yin-tin terlalu lama. Sebagai orang asing, aku tak dapat menemukan perantara yang mempunyai hubungan cukup dekat dengannya. Karena itu, aku terpaksa pergi tanpa bertemu dengan Lu. Sepertinya aku harus menunggu sampai akhir musim gugur, setelah masa berkabung selesai, baru kemudian aku dapat menghubunginya kembali.”

Peony menjaga agar Lady Kuo tidak kesepian selama suaminya menghabiskan musim panas tahun 1352 untuk mengawasi orang-orangnya membuat batang-batang api. Ia membagi-bagi tugas di antara penduduk kota Gunung Makmur, sehingga seluruh proses berlangsung lebih mudah dan sederhana.
        Begitu musim gugur mulai, para biksu Lama berdatangan dari daerah Mongolia, berkuda dalam jubah marak yang serasi dengan penutup kepala mereka. Mereka menempati kuil-kuil baru mereka, kemudian langsung membuktikan bahwa aliran Buddha dari Mongolia sama sekali berbeda dengan yang dari Cina.
        “Biksu-biksu itu ke sini untuk membeli arak dariku!” ungkap pemilik kedai arak pada Peony dengan nada tak mengerti. “Dan aku terpaksa menjualnya kepada mereka.”
        “Mereka juga datang untuk membeli daging babi dan sapi dariku!” seru seorang tukang daging takjub. “Lalu mereka bertanya, apakah gadis-gadis dari rumah-rumah bordil mau melayani panggilan ke kuil!”
        Penduduk Gunung Makmur percaya bahwa dalam dunia yang serba kacau ini, para cendekiawan Konfusius, para biksu Buddha, dan biksu Tao merupakan tiga pilar utama penyangga moral. Kalau ternyata satu di antaranya begitu rapuh, membuat mereka amat resah. Akibatnya, di suatu malam gelap, lima pemuda menyulut kuil yang didiami oleh para biksu Lama itu. Namun api berhasil dipadamkan sebelum menimbulkan bencana, dan para pengacaunya ditangkap serta dihukum pancung di alun-alun kota. Penduduk kota amat berang, sehingga tak dapat dikendalikan lagi, baik oleh para biksu maupun biksuni atau bahkan Kuo.
        “Master Kuo,” ujar Peony saat mengungkapkan kepada majikannya apa yang baru didengarnya, “penduduk kota sudah siap memberontak, dengan atau tanpa restu Anda.”
        Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, Kuo menghela napas. “Kukira daerah Utara sudah menyatakan perang secara terbuka tanpa dukungan dari daerah Selatan.” Kemudian ia bertanya kepada Peony, “Apakah kau dan Joy bersedia menemui Sumber Damai dan menyampaikan rencana kami?”
        Dengan tandu Peony dan Lady Kuo menuju Kuil Bangau Putih sore itu juga dan mendapati Sumber Damai sudah menantikan kedatangan mereka. Sikapnya yang biasanya penuh damai kali ini digantikan oleh kemarahan yang amat sangat.
        “Tingkah laku para biksu Lama itu telah menimbulkan keresahan di hati para biksu kuil ini. Dan sikap Khan yang membiarkan ajaran Kristen memasuki negeri ini membuat kemarahan mereka semakin menjadi-jadi. Kita bersalah karena memakai kungfu hanya untuk membela diri. Mulai sekarang kami takkan ragu-ragu lagi mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan,” ujarnya.
        Sesudah itu ia mengatakan sudah menghubungi para biksu kuil-kuil lain di sepanjang Sungai Kuning, sesuai instruksi Kuo. Mereka menyatakan bersedia memberi dukungan jika perang sampai pecah.
        Lady Kuo berkata, “Suamiku membutuhkan dukungan Anda, juga para biksu di semua kuil di Utara.” Sementara ia mengatakan itu, Peony menyelinap pergi.
        Begitu sampai di bagian yang didiami para biksuni, ia memanggil para penghuninya ke halaman. Ia menaiki podium, lalu sambil berdiri di hadapan para biksuni itu ia berkata, “Perang akan segera pecah. Orang-orang Utara akan bersatu berjuang melawan orang-orang Mongol, tapi majikanku hanya merekrut para biksu. Tak ada yang memikirkan kita, kaum biksuni!”
        Sesungguhnya Peony memang menganggap dirinya biksuni. Usianya sudah 24 tahun, sudah bisa dianggap perawan tua. Lady Kuo sudah pernah menganjurkannya menikah dengan salah satu pelayan laki-laki yang ada, namun Peony menampik usul itu. Memimpin para biksuni yang tergabung dalam Gerakan Serban Merah sudah menjadi prioritas utamanya sekarang. Ia merasa seakan sudah membalas kematian Shu setiap kali ia menghukum seorang Mongol yang meneror seorang Cina. Ia puas setiap kali mendengar bahwa karena ulah Serban Merah, orang-orang Mongol agak gentar begitu mereka berlaku tak semestinya terhadap orang-orang Cina.
        “Ayo, sebagai anggota Gerakan Serban Merah, kita perlihatkan pada kaum laki-laki, apa yang dapat kita lakukan!” seru Peony sambil mengangkat tinjunya.
        Para biksuni itu menyambutnya dengan sorak-sorai dan acungan tinju. Hanya sedikit di antara mereka yang menjadi biksuni karena rasa pengabdian yang besar – kebanyakan dipaksa oleh takdir. Masing-masing memiliki kisah sedih, dan sudah lama terbiasa hidup seperti anak kambing yang tak berdaya. Namun setelah menjadi anggota Serban Merah, mereka mendapat kesempatan untuk melindungi yang lemah serta menghukum yang berkuasa. Kemampuan itu memberi mereka rasa bangga dan percaya diri. Sekarang mereka bukan lagi anak-anak kambing yang bisa diperlakukan semena-mena oleh si serigala kejam.
        “Kami siap berperang bersamamu, Peony!” seru mereka.
        “Begitu Master Kuo siap, kalian akan kuhubungi. Kita akan ikut berjuang bersama kaum laki-laki, entah mereka suka atau tidak!” seru Peony. Akhirnya ia mengungkapkan kepada mereka bahwa untuk sementara, para anggota Serban Merah takkan berkumpul di alun-alun kota lagi, sebab mereka harus mempersiapkan diri untuk pertempuran yang lebih besar lagi.
        Peony kembali ke tempat Lady Kuo menunggu. Di sana ia mendengar Sumber Damai berkata, “...akan kukirim seorang biksu ke rumah Anda malam ini, untuk berdiskusi secara lebih terperinci dengan Master Kuo.”

Ketika Lady Kuo dan Peony sudah pulang, Sumber Damai memerintahkan para biksu yang masih muda dan cukup kuat untuk berbaris. Ia menceritakan mengenai pemberontakan yang akan segera pecah di daerah Utara. “Aku membutuhkan seorang sukarelawan untuk suatu misi berbahaya. Dia harus ke rumah Master Kuo dulu, lalu berkunjung ke semua kuil di daerah Utara. Master Kuo akan memberitahunya tanggal dimulainya pemberontakan itu, lalu dia akan meneruskannya kepada para kepala biksu di semua kuil sepanjang Sungai Kuning. Orang ini harus berani dan pintar, sebab pada saat dia bergerak dengan berjalan kaki dari tempat yang satu ke tempat yang lain, kemungkinan tertangkapnya besar sekali.”
        Sumber Kedamaian berhenti begitu melihat seorang biksu yang belum pernah ia perhatikan kehadirannya di situ sebelumnya. Pendeta muda itu sangat jangkung, berbahu lebar, dan berdada bidang. Lehernya berkesan kokoh seperti batang kayu, pinggangnya bagaikan drum. Lengan dan kaki-kakinya mengingatkannya pada batang-batang pohon yang besar. Kulit wajahnya gelap, dengan cuping hidung lebar, bibir tebal, serta alis yang membentuk garis lurus dan mata tajam.
        Baru dua hari ia berada di Kuil Bangau Putih itu, namun kehadirannya sudah menimbulkan banyak masalah. Ulahnya yang beringas membuat para biksu resah, bahkan mereka yang paling sabar sekalipun.
        Ia menguasai seni kungfu yang aneh. Suatu kombinasi berbagai teknik bela diri, yang sekaligus juga melanggar semua etika yang berlaku. Ia dapat menggunakan sebatang bambu seperti tombak, dan sebilah papan kayu seperti golok. Ia begitu lihai menggunakannya, sehingga tak seorang pun dapat mendekat atau membela diri menghadapi serangan-serangannya.
        Si raksasa pemberang ini dikirim untuk menemui Sumber Damai oleh kepala biksu sebuah kuil Buddha yang terletak di utara kota Gunung Makmur. Begitu tiba, ia langsung menghadap Sumber Damai lalu menyerahkan sepucuk surat kepadanya. “Agar waktu Anda tidak habis untuk membacanya, aku dapat mengatakan pada Anda isinya.” Biksu muda bertubuh besar ini tersenyum.
        Ia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia telah membaca surat yang sebetulnya hanya diperuntukkan bagi Sumber Damai.
        Secara terus terang ia berkata, “Anda diminta untuk memberiku perlindungan. Aku dicari di daerah Selatan sebagai pernbunuh. Aku sudah membunuh banyak orang Mongol di berbagai kota dan desa di sepanjang Sungai Yangtze, terutama di Phoenix dan Yin-tin. Aku belum pernah membunuh orang Cina, tapi setiap membunuh seorang Mongol, aku melakukannya bukan semata-mata untuk membela diri atau sebagai hukuman untuk suatu perbuatan jahat. Kadang-kadang aku membunuh seorang Mongol sebagai balas dendam gara-gara ulah orang Mongol yang lain.”
        Si raksasa berjubah biksu itu tersenyum, lalu berkata lagi, “Di dalam surat itu dikatakan aku pesilat terbaik, sekaligus biksu yang brengsek. Tiga tahun terakhir ini kujalani sebagai calon biksu di berbagai kuil, namun baik para biksu Buddha maupun Tao tak dapat menolerir ulahku. Menurut mereka, lebih baik aku menjadi biksu Lama, karena aku tidak suka sayur, suka makan daging, dan sesekali perlu minum sedikit arak. Pokoknya, semua yang dikatakan di dalam surat itu memang benar.”
        Siapa calon yang paling cocok untuk menjadi penerus berita terbaik? ujar Sumber Damai pada dirinya, sambil menatap sosok yang menjulang di antara kerumunan para biksu itu. Ia berpaling ke arah patung Buddha, lalu berkata dalam hati, “Maafkan aku, sang Buddha yang Agung, karena ingin mengirim dia keluar dari kuilku. Tapi terus terang, dia juga calon terbaik untuk tugas berbahaya ini.”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...