Episode
21
SEBUAH rombongan bergerak di bawah sengatan panas matahari.
Dua tandu tertutup dlikuti sepuluh gerobak yang ditarik oleh sapi dan
masing-masing dikawal oleh enam orang.
Di luar
kebiasaannya, Peony menaiki salah sebuah tandu itu. Tanggap Kuo sedikit
tertunda dalam perjalanan panjangnya, sehingga ia terlambat pulang. Joy Kuo
menjadi resah. Karenanya, Peony dikirim untuk mencari tahu. Ia berpapasan
dengan rombongan majikannya di perbatasan Provinsi Honan dua hari yang lalu.
Setelah menugaskan seorang pesuruh untuk segera menyampaikan kepada Lady Kuo
bahwa suaminya selamat, Peony menemani majikannya pulang ke kota Gunung Makmur.
Saat
menatap ke luar tandunya di daerah pinggiran kota ia melihat genting-genting
biru sebuah kuil Lama yang hampir jadi, berkilauan di bawah matahari musim
panas. Beberapa orang Cina sedang merampungkan hiasan-hiasannya. Peony
mengerutkan alis. Ia semakin geram saat mereka mendekati sebuah pos penjagaan Mongol.
Semua orang yang akan memasuki Gunung Makmur harus digeledah.
“Berhenti!”
ujar seorang serdadu Mongol, yang berdiri di tengah jalan dengan kaki terentang
dan pedang terhunus ke arah kedua tandu.
Yang
tertua di antara mereka menjawab dengan senyum di wajah, namun nada suaranya
sinis, “Tidakkah kaulihat simbol keluarga pada penyingkap tandu? Yah, tapi
rupanya kau tidak dapat membaca. Kami anak buah Master Kuo. Beliau dan
pelayannya baru kembali dari Selatan, sehabis melakukan perjalanan dagang.”
Sementara
itu tiga serdadu bergabung dengan yang pertama. Salah seorang di antara mereka
mengamati simbol pada tirai tandu, lalu berkata, “Kami sudah pernah mendengar
nama majikanmu, tapi kami harus menggeledah gerobak-gerobak itu. Kalau tidak,
dari mana kami tahu kalian tidak membawa senjata? Kalian, orang-orang Cina, memang
tak dapat dipercaya. Jangan pikir kami tidak tahu mengenai pisau dan
pedang-pedang yang kalian buat secara diam-diam.”
Kedua
tandu itu diturunkan dengan hati-hati ke tanah. Tirai tandu pertama dibuka oleh
sebuah tangan, kemudian seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi dan ramping
muncul dengan jubah sutranya yang cokelat.
Dengan
tenang Tanggap Kuo berkata pada keempat serdadu itu, “Kalian boleh memeriksa isi
gerobak-gerobakku, tapi kalian hanya akan menemukan barang-barang porselen.
Kalian masing-masing boleh mengambil sesuatu sebagai hadiah. Aku hanya minta kepada
kalian untuk berhati-hati dengan benda-benda seni yang halus itu.”
Mata
para serdadu melebar begitu melihat seorang gadis keluar dari tandu kedua.
Tubuhnya yang tinggi besar mengingatkan mereka akan kaum wanita dari tempat
asal mereka. Peony berdiri dengan kaki mengangkang dan tangan di pinggang. Ia
menatap mereka dengan pandangan menantang.
Para
serdadu mengalihkan mata. Saat itu mereka lebih tertarik pada apa yang termuat
di dalam gerobak-gerobak Master Kuo. Dua serdadu lain muncul untuk bergabung, lalu
langsung ikut menyerbu jarahan mereka.
Keenam
puluh anak buah Kuo berdiri sambil mengawasi serdadu-serdadu itu, tanpa
menunjukkan ekspresi apa-apa, namun tinju mereka terkepal kuat-kuat. Setelah
lima tahun, anggota pasukan Kuo sudah berjumlah sekitar seribu orang, dan yang
bersamanya kali ini adalah yang paling elite di antara mereka. Mereka semua
tahu bahwa di gerobak paling belakang, di bawah barang-barang porselen, terdapat
sesuatu yang sebaiknya tidak sampai diketahui oleh orang-orang Mongol ini.
Keenam
serdadu ini menghampiri keenam gerobak pertama, masing-masing satu. Mereka
menyingkapkan jeraminya dan menemukan barang pecah belah dari porselen, seperti
piring, mangkuk, vas bunga, serta kotak-kotak perhiasan. Dalam waktu singkat
mereka menemukan sesuatu yang mereka anggap cukup memadai, sehingga merasa tak
perlu menggeledah keempat gerobak yang lain. Mereka mengacungkan barang-barang
jarahan mereka ke arah Kuo saat kembali ke pos mereka.
Peony
menghela napas lega. Para anggota pasukan Kuo meregangkan kepalan mereka.
Dengan sinis Kuo berseru kepada serdadu-serdadu itu, “Aku senang kalian dapat menghargai
barang-barang porselen kota Yin-tin. Tak ada yang lebih baik dari itu di Cina.”
Rombongan
itu melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian di kejauhan terlihat rumah
keluarga Kuo, dengan beberapa rangkaian kembang api panjang bergelantungan dari
tiang-tiang bambu. Sewaktu mereka mendekat, seorang penjaga berteriak.
Rangkaian kembang api itu kemudian dinyalakan. “Selamat datang, Master Kuo!”
seru seluruh penghuni rumah sambil membungkuk, menyambut kedatangan majikan
yang amat mereka hormati.
Kuo
berkata kepada empat pengawalnya, “Ambilkan kedua benda yang kusembunyikan
dalam gerobak terakhir.” Kemudian ia bergegas masuk.
Peony
segera membuntuti tuannya, lalu melihat nyonyanya duduk di sebuah kursi
berlapis satin. Jubahnya hijau kepucatan. Peony mengernyitkan wajah ke arah Meadow,
si pengurus rumah tangga keluarga Kuo yang sudah tua, yang sedang mendampingi
Lady Kuo, lalu berseru, “Nyonyaku, sudah kulakukan seperti yang Anda perintahkan
kepadaku. Aku memastikan Tuan makan tiga kali sehari, dan tidur cepat-cepat
setiap malam!”
Kuo
membungkukkan tubuh di dekat istrinya, lalu meraih tangannya yang halus tanpa
memedulikan kehadiran yang lain, ia mengecup tangannya, kemudian mengusapkannya
ke wajahnya sambil berkata, “Aku begitu merindukan dirimu.”
Wajah
Joy merona. Tidak biasanya laki-laki mengecup tangan wanita di depan banyak
orang. Kemudian ia mengerutkan alis, seakan ada sesuatu yang tidak beres. Indra
pendengaran Lady Kuo lebih tajam daripada mereka yang dapat melihat.
“Aku
menangkap nada kecewa dalam suaramu, Suamiku,” ujarnya, sambil mencoba
melepaskan tangannya dari genggaman suaminya. Karena sia-sia, dengan menggunakan
tangan lainnya ia meraba wajah suaminya. Jari-jarinya menjelajahi sekitar
alisnya. “Adakah sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan harapan?”
Kuo
menengadahkan wajahnya persis pada saat empat pengawainya muncul dengan dua
kotak besar. “Aku membawa pulang beberapa benda yang sangat menarik,” ujarnya
setelah memberikan tanda kepada para anak buahnya untuk meletakkan kotak-kotak
itu di meja. “Untung orang-orang Mongol itu tidak menemukannya.”
Meadow
sama sekali tidak menaruh minat pada isi kedua kotak itu. “Membuang-buang uang
nyonyaku untuk barang-barang yang tak berguna,” gerutunya dengan nada rendah
saat ia meninggalkan ruangan itu bersama keempat pengawal Master Kuo.
Peony
tidak berniat ikut beranjak dari sana. Ia memperhatikan saat majikannya membawa
kotak yang lebih kecil ke dekat istrinya. Setelah dibuka, tampak beberapa
batang kayu yang panjangnya sekitar sepuluh sentimeter.
Kuo
mengeluarkan sebatang dari kotaknya, kemudian meletakkannya dalam genggaman
istrinya. “Batang api ini hasil penemuan beberapa orang Selatan yang pintar.”
“Baunya
seperti kembang api,” ujar Joy Kuo, sambil mengendus ujung merah batang itu.
“Betul,”
ujar suaminya. “Para pembuatnya mencelupkan batang-batang ini ke dalam suatu
campuran bahan peledak dan lem.” Ia membiarkan Joy meraba salah satu sisi kotak
kayu yang cukup kasar. “Dan mereka juga menempelkan pasir halus pada kotaknya.
Begitu mereka membutuhkan api, mereka cuma perlu begini...” Ia mengambil benda
di tangan istrinya, lalu menggoreskan ujungnya yang merah pada bagian kasar
kotaknya dengan cepat.
“Batangnya
terbakar!” seru Peony antusias.
“Ajaib
sekali!” Ia membawa tangan nyonyanya ke dekat lidah api untuk merasakan
kehangatannya, kemudian menatap majikannya dengan pandangan memohon, persis seorang
bocah yang meminta izin mencoba permainan baru.
“Ayolah,”
ujar Kuo sambil tersenyum pada pelayan favorit istrinya.
Peony menunggu
sampai batangnya mulai terbakar, lalu berseru dengan penuh semangat, “Akhirnya
Buddha Api mau membagi rahasianya dengan kita! Kita tak perlu lagi menggosok-gosok
batu api untuk menyalakan api utama setiap pagi!”
“Tak
sulit membuat batang api seperti ini. Aku sudah mempelajari caranya, dan aku
akan meneruskannya pada orang-orang Utara,” ujar Kuo bangga. “Tak aneh kalau
kelak seluruh dunia mengetahui rahasia pembuatan batang-batang api ini.”
“Batang
api,” ulang Joy Kuo. “Nama yang cocok sekali.” Kemudian ia bertanya, “Tapi
kenapa kita harus merahasiakannya dari orang-orang Mongol?”
“Sebetulnya
ada yang lebih penting daripada batang-batang api itu.” Kuo menunjuk kotak yang
lebih besar. “Peony, coba bawakan kotak itu ke sini.”
Kotak
ini panjangnya lebih dari satu meter dan lumayan berat. Peony menyerahkannya
pada majikannya, kemudian mengawasinya saat ia mengeluarkan sebuah tabung besi dari
dalamnya, dan menunggu sampai ia menerangkan kepada mereka, benda aneh apa yang
ada dalam genggamannya itu.
Suara
Kuo amat rendah dan serius. “Khan yang sekarang berkuasa memiliki enam pandai
besi yang menciptakan Tangan Maut ini baginya, yang kemudian dipakai untuk membunuh
khan yang terdahulu. Sementara salah satu di antara keenam pandai besi itu
sekarat, dia menurunkan desainnya kepada putra sulungnya, yang kemudian pergi
ke daerah Selatan untuk menjual desain itu pada kaum patriot kita. Bangsa kita
mengganti namanya menjadi Naga Kobar. Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk
ini.”
Joy
mengelus permukaan tabung besi yang dingin itu, kemudian menggigil. Kuo meraih
tangannya, lalu mendekatkannya ke dadanya. “Aku dapat merasakan ketakutanmu
terhadap benda ini.”
Khan
Taufan, lanjutnya, tak ingin ada orang lain dalam kalangan istana memiliki
Tangan Maut. Artinya senjata ini tidak akan digunakan oleh orang-orang Mongol
selama ia masih hidup. Di lain pihak, para pemimpin pergerakan orang-orang Cina
di Selatan sudah mulai membuat Naga Kobar. Namun biayanya tinggi sekali,
sehingga tak ada yang sanggup membuat dalam jumlah cukup besar. Di antara para
pemimpin pergerakan di daerah Utara, hanya Kuo yang memiliki sebuah Naga Kobar.
Kuo
berkata, “Andai kata senjata pribadi Khan ini juga boleh digunakan para serdadu
Mongol, dan andai kata semua orang Cina yang memberontak juga menggunakannya,
perang yang berkecamuk akan sepuluh kali lebih dahsyat daripada sekarang.” Nada
bicara Kuo terdengar amat prihatin saat ia berkata lagi, “Begitu dunia luar
mengetahui keberadaan senjata ini, pertumpahan darah di antara umat manusia akan
tidak terkendali lagi.”
Peony
menyukai rasa tabung besi itu dalam genggamannya. Ia mempermainkannya sambil
mengikuti pembicaraan di antara kedua majikannya.
“Kau
belum mengungkapkan mengapa nadamu terdengar begitu kecewa tadi,” ujar Joy prihatin.
“Tujuan
utama perjalananku kali ini adalah menjawab undangan yang kuterima dari Lu. Aku
berharap bisa mempersatukan kekuatan orang-orang Selatan dengan orang-orang
Utara serta menentukan tanggal untuk suatu revolusi nasional…”
Kuo
menjelaskan lebih jauh, sementara Peony mendengarkan dengan penuh perhatian
setelah meletakkan Naga Kobar kembali di tempatnya.
“Semua
orang Cina penduduk kota Yin-tin tahu tempat kediaman Lu. Mereka bersikap amat
hormat saat membicarakan keluarga Lu atau menunjuk ke rumah di dekat Danau
Angin Berbisik yang didiami keluarga itu. Air mata mereka berlinang saat
mengungkapkan kepadaku bahwa Wali Kota Lu belum lama meninggal, dan mereka sekarang
kehilangan seorang figur bapak yang selalu siap melindungi mereka.
“Hujan
turun amat deras saat aku tiba di muka kediaman keluarga Lu. Aku menunggu dalam
hujan, namun Lu tak juga mau keluar menemuiku. Kemudian aku mendengar, di daerah
Selatan, tradisi berkabung selama seratus hari ternyata dilaksanakan lebih
ketat daripada di Utara, terutama di kalangan kaum cendekiawan kaya yang mampu
melakukannya.”
Menurut
tradisi, jika seorang ayah meninggal, putranya harus berkabung untuknya selama
seratus hari. Selama periode itu, ia harus tetap tinggal di rumah serta mengenakan
pakaian hitam, tidak makan daging, minum air dingin, pantang bersetubuh, serta
tidak menemui siapa-siapa kecuali keluarga terdekat.
Kuo
berkata, “Aku menunggu dalam hujan sambil berharap pikirannya akan berubah,
tapi sia-sia. Aku tak bisa tinggal di Yin-tin terlalu lama. Sebagai orang
asing, aku tak dapat menemukan perantara yang mempunyai hubungan cukup dekat
dengannya. Karena itu, aku terpaksa pergi tanpa bertemu dengan Lu. Sepertinya
aku harus menunggu sampai akhir musim gugur, setelah masa berkabung selesai,
baru kemudian aku dapat menghubunginya kembali.”
Peony menjaga agar Lady Kuo tidak kesepian selama suaminya
menghabiskan musim panas tahun 1352 untuk mengawasi orang-orangnya membuat
batang-batang api. Ia membagi-bagi tugas di antara penduduk kota Gunung Makmur,
sehingga seluruh proses berlangsung lebih mudah dan sederhana.
Begitu
musim gugur mulai, para biksu Lama berdatangan dari daerah Mongolia, berkuda
dalam jubah marak yang serasi dengan penutup kepala mereka. Mereka menempati
kuil-kuil baru mereka, kemudian langsung membuktikan bahwa aliran Buddha dari
Mongolia sama sekali berbeda dengan yang dari Cina.
“Biksu-biksu
itu ke sini untuk membeli arak dariku!” ungkap pemilik kedai arak pada Peony
dengan nada tak mengerti. “Dan aku terpaksa menjualnya kepada mereka.”
“Mereka
juga datang untuk membeli daging babi dan sapi dariku!” seru seorang tukang
daging takjub. “Lalu mereka bertanya, apakah gadis-gadis dari rumah-rumah bordil
mau melayani panggilan ke kuil!”
Penduduk
Gunung Makmur percaya bahwa dalam dunia yang serba kacau ini, para cendekiawan
Konfusius, para biksu Buddha, dan biksu Tao merupakan tiga pilar utama penyangga
moral. Kalau ternyata satu di antaranya begitu rapuh, membuat mereka amat
resah. Akibatnya, di suatu malam gelap, lima pemuda menyulut kuil yang didiami
oleh para biksu Lama itu. Namun api berhasil dipadamkan sebelum menimbulkan
bencana, dan para pengacaunya ditangkap serta dihukum pancung di alun-alun
kota. Penduduk kota amat berang, sehingga tak dapat dikendalikan lagi, baik
oleh para biksu maupun biksuni atau bahkan Kuo.
“Master
Kuo,” ujar Peony saat mengungkapkan kepada majikannya apa yang baru
didengarnya, “penduduk kota sudah siap memberontak, dengan atau tanpa restu
Anda.”
Setelah
menimbang-nimbang selama beberapa saat, Kuo menghela napas. “Kukira daerah
Utara sudah menyatakan perang secara terbuka tanpa dukungan dari daerah Selatan.”
Kemudian ia bertanya kepada Peony, “Apakah kau dan Joy bersedia menemui Sumber
Damai dan menyampaikan rencana kami?”
Dengan
tandu Peony dan Lady Kuo menuju Kuil Bangau Putih sore itu juga dan mendapati
Sumber Damai sudah menantikan kedatangan mereka. Sikapnya yang biasanya penuh
damai kali ini digantikan oleh kemarahan yang amat sangat.
“Tingkah
laku para biksu Lama itu telah menimbulkan keresahan di hati para biksu kuil
ini. Dan sikap Khan yang membiarkan ajaran Kristen memasuki negeri ini membuat kemarahan
mereka semakin menjadi-jadi. Kita bersalah karena memakai kungfu hanya untuk
membela diri. Mulai sekarang kami takkan ragu-ragu lagi mengambil tindakan-tindakan
yang diperlukan,” ujarnya.
Sesudah
itu ia mengatakan sudah menghubungi para biksu kuil-kuil lain di sepanjang Sungai
Kuning, sesuai instruksi Kuo. Mereka menyatakan bersedia memberi dukungan jika
perang sampai pecah.
Lady
Kuo berkata, “Suamiku membutuhkan dukungan Anda, juga para biksu di semua kuil
di Utara.” Sementara ia mengatakan itu, Peony menyelinap pergi.
Begitu
sampai di bagian yang didiami para biksuni, ia memanggil para penghuninya ke
halaman. Ia menaiki podium, lalu sambil berdiri di hadapan para biksuni itu ia berkata,
“Perang akan segera pecah. Orang-orang Utara akan bersatu berjuang melawan
orang-orang Mongol, tapi majikanku hanya merekrut para biksu. Tak ada yang memikirkan
kita, kaum biksuni!”
Sesungguhnya
Peony memang menganggap dirinya biksuni. Usianya sudah 24 tahun, sudah bisa
dianggap perawan tua. Lady Kuo sudah pernah menganjurkannya menikah dengan
salah satu pelayan laki-laki yang ada, namun Peony menampik usul itu. Memimpin
para biksuni yang tergabung dalam Gerakan Serban Merah sudah menjadi prioritas
utamanya sekarang. Ia merasa seakan sudah membalas kematian Shu setiap kali ia
menghukum seorang Mongol yang meneror seorang Cina. Ia puas setiap kali
mendengar bahwa karena ulah Serban Merah, orang-orang Mongol agak gentar begitu
mereka berlaku tak semestinya terhadap orang-orang Cina.
“Ayo,
sebagai anggota Gerakan Serban Merah, kita perlihatkan pada kaum laki-laki, apa
yang dapat kita lakukan!” seru Peony sambil mengangkat tinjunya.
Para
biksuni itu menyambutnya dengan sorak-sorai dan acungan tinju. Hanya sedikit di
antara mereka yang menjadi biksuni karena rasa pengabdian yang besar –
kebanyakan dipaksa oleh takdir. Masing-masing memiliki kisah sedih, dan sudah
lama terbiasa hidup seperti anak kambing yang tak berdaya. Namun setelah
menjadi anggota Serban Merah, mereka mendapat kesempatan untuk melindungi yang
lemah serta menghukum yang berkuasa. Kemampuan itu memberi mereka rasa bangga
dan percaya diri. Sekarang mereka bukan lagi anak-anak kambing yang bisa diperlakukan
semena-mena oleh si serigala kejam.
“Kami
siap berperang bersamamu, Peony!” seru mereka.
“Begitu
Master Kuo siap, kalian akan kuhubungi. Kita akan ikut berjuang bersama kaum
laki-laki, entah mereka suka atau tidak!” seru Peony. Akhirnya ia mengungkapkan
kepada mereka bahwa untuk sementara, para anggota Serban Merah takkan berkumpul
di alun-alun kota lagi, sebab mereka harus mempersiapkan diri untuk pertempuran
yang lebih besar lagi.
Peony
kembali ke tempat Lady Kuo menunggu. Di sana ia mendengar Sumber Damai berkata,
“...akan kukirim seorang biksu ke rumah Anda malam ini, untuk berdiskusi secara
lebih terperinci dengan Master Kuo.”
Ketika Lady Kuo dan Peony sudah pulang, Sumber Damai
memerintahkan para biksu yang masih muda dan cukup kuat untuk berbaris. Ia
menceritakan mengenai pemberontakan yang akan segera pecah di daerah Utara. “Aku
membutuhkan seorang sukarelawan untuk suatu misi berbahaya. Dia harus ke rumah
Master Kuo dulu, lalu berkunjung ke semua kuil di daerah Utara. Master Kuo akan
memberitahunya tanggal dimulainya pemberontakan itu, lalu dia akan
meneruskannya kepada para kepala biksu di semua kuil sepanjang Sungai Kuning.
Orang ini harus berani dan pintar, sebab pada saat dia bergerak dengan berjalan
kaki dari tempat yang satu ke tempat yang lain, kemungkinan tertangkapnya besar
sekali.”
Sumber
Kedamaian berhenti begitu melihat seorang biksu yang belum pernah ia perhatikan
kehadirannya di situ sebelumnya. Pendeta muda itu sangat jangkung, berbahu
lebar, dan berdada bidang. Lehernya berkesan kokoh seperti batang kayu,
pinggangnya bagaikan drum. Lengan dan kaki-kakinya mengingatkannya pada batang-batang
pohon yang besar. Kulit wajahnya gelap, dengan cuping hidung lebar, bibir
tebal, serta alis yang membentuk garis lurus dan mata tajam.
Baru
dua hari ia berada di Kuil Bangau Putih itu, namun kehadirannya sudah
menimbulkan banyak masalah. Ulahnya yang beringas membuat para biksu resah,
bahkan mereka yang paling sabar sekalipun.
Ia
menguasai seni kungfu yang aneh. Suatu kombinasi berbagai teknik bela diri,
yang sekaligus juga melanggar semua etika yang berlaku. Ia dapat menggunakan
sebatang bambu seperti tombak, dan sebilah papan kayu seperti golok. Ia begitu
lihai menggunakannya, sehingga tak seorang pun dapat mendekat atau membela diri
menghadapi serangan-serangannya.
Si
raksasa pemberang ini dikirim untuk menemui Sumber Damai oleh kepala biksu
sebuah kuil Buddha yang terletak di utara kota Gunung Makmur. Begitu tiba, ia langsung
menghadap Sumber Damai lalu menyerahkan sepucuk surat kepadanya. “Agar waktu
Anda tidak habis untuk membacanya, aku dapat mengatakan pada Anda isinya.”
Biksu muda bertubuh besar ini tersenyum.
Ia sama
sekali tidak berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia telah membaca surat yang
sebetulnya hanya diperuntukkan bagi Sumber Damai.
Secara
terus terang ia berkata, “Anda diminta untuk memberiku perlindungan. Aku dicari
di daerah Selatan sebagai pernbunuh. Aku sudah membunuh banyak orang Mongol di
berbagai kota dan desa di sepanjang Sungai Yangtze, terutama di Phoenix dan
Yin-tin. Aku belum pernah membunuh orang Cina, tapi setiap membunuh seorang
Mongol, aku melakukannya bukan semata-mata untuk membela diri atau sebagai
hukuman untuk suatu perbuatan jahat. Kadang-kadang aku membunuh seorang Mongol
sebagai balas dendam gara-gara ulah orang Mongol yang lain.”
Si
raksasa berjubah biksu itu tersenyum, lalu berkata lagi, “Di dalam surat itu
dikatakan aku pesilat terbaik, sekaligus biksu yang brengsek. Tiga tahun
terakhir ini kujalani sebagai calon biksu di berbagai kuil, namun baik para biksu
Buddha maupun Tao tak dapat menolerir ulahku. Menurut mereka, lebih baik aku
menjadi biksu Lama, karena aku tidak suka sayur, suka makan daging, dan sesekali
perlu minum sedikit arak. Pokoknya, semua yang dikatakan di dalam surat itu
memang benar.”
Siapa
calon yang paling cocok untuk menjadi penerus berita terbaik? ujar Sumber
Damai pada dirinya, sambil menatap sosok yang menjulang di antara kerumunan
para biksu itu. Ia berpaling ke arah patung Buddha, lalu berkata dalam hati, “Maafkan
aku, sang Buddha yang Agung, karena ingin mengirim dia keluar dari kuilku. Tapi
terus terang, dia juga calon terbaik untuk tugas berbahaya ini.”