Agatha Christie - Anjing Kematian #56



SOS


I

“AH!” Mr. Dinsmead berkata dengan senang. Ia mundur dan memandangi meja bundar itu dengan perasaan puas. Cahaya dari perapian berkilauan di taplak meja putih yang terbuat dari bahan kasar, juga pada pisau-pisau dan garpu-garpu, serta perangkat makan lainnya.

      “Apa... apa segalanya sudah siap?” Mrs. Dinsmead bertanya dengan ragu-ragu. Ia seorang wanita mungil yang sudah tidak segar lagi, dengan wajah pucat, rambut tipis yang disisir ke belakang, dan gerak-gerik yang selalu berkesan gugup.
      “Segalanya sudah siap,” sahut suaminya dengan keriangan berlebihan.
      Mr. Dinsmead bertubuh besar, dengan bahu melandai dan wajah merah yang lebar. Kedua matanya yang kecil seperti mata seekor babi berbinar-binar di bawah sepasang alisnya yang lebat sementara janggutnya sama sekali kelimis.
      “Limun?” tanya Mrs. Dinsmead, hampir-hampir dengan berbisik.
      Suaminya menggelengkan kepala. “Teh saja. Jauh lebih baik. Coba lihat udara di luar sana, hujan dan angin kencang. Secangkir teh panas yang enak sangat tepat untuk makan malam pada cuaca seperti ini.” Ia mengedipkan mata dengan bercanda, lalu kembali mengamati meja.
      “Sepiring telur yang enak, daging panggang dingin, keju dan roti. Itulah urutan yang tepat untuk makan malamku. Jadi, siapkan semuanya, Ma. Charlotte ada di dapur, sudah menunggu untuk membantu.”
      Mrs. Dinsmead bangkit berdiri, sambil menggulung bola benang rajutnya dengan hati-hati. “Dia sudah menjadi gadis yang sangat cantik,” gumamnya. “Manis dan cantik, menurutku.”
      “Ah!” kata Mr. Dinsmead. “Dan sangat mirip dengan ibunya! Ayo, pergilah ke dapur, jangan buang-buang waktu lagi.” Lalu ia mondar-mandir sejenak di ruangan Itu, sambil bersenandung sendiri. Sekali ia mendekati jendela dan memandang ke luar. “Cuaca buruk,” gumamnya pada diri sendiri. “Sepertinya kecil kemungkinan kita kedatangan tamu malam ini.”
      Setelah itu ia pun keluar dari ruangan tersebut. Sekitar sepuluh menit kemudian, Mrs. Dinsmead masuk dengan membawa sepiring telur goreng. Kedua anak perempuannya mengikuti, membawa piring-piring makan malam yang lain. Mr. Dinsmead dan anak lelakinya, Johnnie, masuk paling belakang. Mr. Dinsmead duduk di ujung meja.
      “Dan berkatilah kami, dan sebagainya,” katanya dengan nada bercanda. “Juga diberkatilah orang yang pertama kali menciptakan makanan kaleng. Coba bayangkan, apa yang akan kita lakukan kalau kita tidak punya makanan kaleng untuk dibuka sesekali, kalau tukang daging lupa mengirimkan pesanan mingguannya, sementara kita tinggal bermil-mil jauhnya dari mana-mana?”
      Ia mulai memotong daging panggang itu dengan cekatan.
      “Aku heran, siapa yang terpikir membangun rumah di sini, bermil-mil dari mana-mana,” kata anak perempuannya, Magdalena, dengan kesal. “Kita tidak pernah melihat siapa-siapa di sini.”
      “Memang,” sahut ayahnya. “Tidak pernah ada siapa-siapa.”
      “Aku tidak mengerti, kenapa Ayah membeli rumah ini,” kata Charlotte.
      “Masa, Nak? Yah, aku punya alasan-alasan sendiri - begitulah.”
      Mata Mr. Dinsmead memandang mata istrinya dengan diam-diam, namun istrinya mengerutkan kening.
      “Dan berhantu, lagi,” kata Charlotte. “Aku tidak bakal mau tidur sendirian di sini.”
      “Omong kosong,” kata ayahnya. “Kau belum pernah melihat apa pun di sini, bukan? Coba katakan.”
      “Memang barangkali belum pernah melihat apa pun, tapi...”
      “Tapi apa?”
      Charlotte tidak menjawab, namun ia merinding sedikit. Terpaan hujan deras menghantam kaca jendela, dan Mrs. Dinsimead tanpa sengaja menjatuhkan sendok hingga menimbulkan bunyi denting di nampan.
      “Gugup, Ma? Tidak, kan?” kata Mr. Dinsmead. “Malam ini memang cuacanya jelek sekali, itu saja. Tak usah khawatir, kita aman di sini, di perapian kita, dan sepertinya takkan ada siapa pun yang datang mengganggu kita. Wah, sungguh ajaib kalau ada yang datang. Dan keajaiban tidak bakal terjadi. Tidak,” ia menambahkan dengan nada puas, seolah-olah pada dirinya sendiri. “Keajaiban tidak bakal terjadi.”
      Tapi begitu ia selesai mengucapkan kalimatnya, sekonyong-konyong terdengar ketukan di pintu. Mr. Dinsmead terpaku, seakan-akan tak percaya.
      “Siapa itu?” gerutunya. Mulutnya ternganga.
      Mrs. Dinsmead memekik pelan dan mempererat lilitan syalnya. Wajah Magdalena jadi bersemu merah, dan ia mencondongkan tubuh kepada ayahnya.
      “Keajaiban telah terjadi,” katanya. “Sebaiknya Ayah lihat, siapa yang datang itu.”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...