II
Dua
puluh menit sebelumnya, Mortimer Cleveland telah berdiri di tengah hujan lebat
dan kabut, memeriksa keadaan mobilnya. Ia benar-benar sedang sial. Dua ban
mobilnya kempes dalam jarak sepuluh menit, dan di sinilah ia, terdampar
bermil-mil jauhnya dari mana pun, di tengah-tengah bentangan daerah Wiltshire
yang gersang ini, sementara malam akan segera turun dan ia tak punya tempat
berteduh. Semuanya gara-gara ia mencoba mengambil jalan pintas. Kalau saja ia
bertahan mengemudi di jalan utama! Sekarang sepertinya ia tersesat di sebuah
jalur gerobak, dan tak punya bayangan sedikit pun, apakah di dekat-dekat sini
ada desa.
Ia melayangkan pandang dengan bingung ke
sekitarnya, dan tatapannya tertuju pada seberkas cahaya di punggung bukit di atasnya.
Tak lama kemudian cahaya itu lenyap tersapu kabut, tapi ia menunggu dengan
sabar, dan kemudian melihat cahaya itu kembali. Setelah menimbang-nimbang
sejenak, ia meninggalkan mobilnya dan mendaki punggung bukit tersebut.
Dengan segera ia sudah keluar dari tengah
kabut, dan ia melihat cahaya itu berasal dari jendela sebuah cottage kecil.
Setidaknya ia bisa menumpang berteduh di sana. Mortimer Cleveland mempercepat
langkahnya, sambil menundukkan kepala untuk melawan terpaan angin dan hujan
yang sepertinya berusaha menyuruhnya mundur kembali.
Cleveland cukup terkenal dalam bidangnya,
walau kebanyakan orang mungkin sama sekali tidak mengenal nama dan prestasi-prestasinya.
Ia seorang ahli dalam ilmu pengetahuan kejiwaan, dan sudah menulis dua buku
teks yang sangat bagus mengenai alam bawah sadar. Ia juga anggota Psychical
Research Society dan mempelajari okultisme yang banyak mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan
serta arah penelitian yang dibuatnya.
Ia sangat peka terhadap atmosfer
sekitarnya, dan melalui pelatihan yang rajin, ia telah berhasil meningkatkan
bakat alamnya itu. Ketika tiba di cottage tersebut dan mengetuk pintunya, ia merasa
berdebar-debar dan minatnya semakin terpicu, seakan-akan seluruh indranya
sekonyong-konyong telah dipertajam.
Gumam suara-suara di dalam cottage itu
semula terdengar cukup jelas olehnya. Tapi begitu ia mengetuk pintu, suasana
mendadak jadi hening. Lalu terdengar bunyi kursi yang didorong ke belakang, menggaruk
lantai. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh seorang anak laki-laki berusia
sekitar lima belas tahun. Cleveland menatap pemandangan di dalam rumah itu.
Pemandangan itu mengingatkannya pada
lukisan karya seorang seniman Belanda. Ada meja bundar dengan berbagai makanan
yang sudah siap disantap, para anggota keluarga duduk mengelilinginya, ada
satu-dua batang lilin yang menyala bergoyang-goyang, dan cahaya dari perapian
menyinari keseluruhan rumah. Sang ayah, seorang pria bertubuh besar, duduk di
salah satu sisi meja, di hadapannya duduk seorang wanita mungil berambut
kelabu, dengan wajah ketakutan. Menghadap ke pintu dan menatap langsung pada
Cleveland, duduk seorang gadis. Sepasang matanya yang terkejut menatap mata
Cleveland dengan tajam, satu tangannya yang memegang cangkir setengah terangkat
ke bibirnya. Gadis itu sangat cantik, dengan kecantikan yang amat tidak biasa.
Rambutnya yang berwarna merah keemasan membingkai wajahnya, seperti kabut;
kedua matanya, yang terletak berjauhan, berwarna kelabu jemili. Mulut dan
dagunya seperti seorang Madonna Italia darl zaman kuno.
Sejenak keheningan yang timbul begitu
tajam. Kemudian Cleveland melangkah masuk dan menjelaskan situasinya. Setelah
ia mengakhiri ceritanya, kembali terasa kehingan yang semakin sulit dipahami.
Namun, akhirnya, sang ayah bangkit, seolah-olah dengan susah payah.
“Masuklah, Sir... Mr. Cleveland, nama
Anda?”
“Benar, itu nama saya,” sahut Mortimer
dengan tersenyum.
“Ah! Ya. Masuklah, Mr. Cleveland. Bukan
cuaca bagus untuk berada di luar, bukan? Mendekatlah ke perapian. Tutup
pintunya, Johnnie, jangan berdiri saja di situ.”
Cleveland melangkah ke dekat perapian dan
duduk di sebuah kursi kecil dari kayu. Johnnie menutup pintu.
“Dinsmead, itu nama saya,” kata Mr.
Dinsmead. Sekarang sikapnya ramah sekali. “Ini istri saya, dan yang dua itu
anak-anak perempuan saya, Charlotte dan Magdalena.”
Untuk pertama kalinya, Cleveland melihat
wajah gadis satunya, yang duduk membelakanginya. Gadis itu sama cantik dengan saudara
perempuannya, namun dalam cara yang sama sekali berbeda. Kulitnya sangat gelap,
dengan wajah seputih pualam, hidung indah yang mancung, dan mulut serius.
Kecantikannya dingin, tenang, dan hampir-hampir menakutkan. Ia menanggapi ucapan
perkenalan ayahnya dengan menundukkan kepala, dan ia menatap Cleveland dengan
tatapan tajam seperti mereka-reka. Seakan-akan ia tengah menilai pria itu,
menimbang-nimbang dengan penilaiannya yang muda.
“Mau minum sesuatu, eh, Mr. Cleveland?”
“Terima kasih,” sahut Mortimer. “Secangkir
teh pasti nikmat sekali.”
Mr. Dinsmead ragu-ragu sejenak, kemudian
ia mengambil kelima cangkir yang ada di meja, satu demi satu, dan mengosongkan
isinya ke dalam sebuah mangkuk.
“Teh ini sudah dingin,” katanya cepat. “Coba
buatkan teh baru, ya, Ma?”
Mrs. Dinsmead cepat-cepat bangkit, dan
berlalu dengan membawa poci teh. Mortimer mendapat kesan bahwa wanita itu senang
bisa keluar dari ruangan tersebut.
Teh baru siap dengan segera, dan sang tamu
pun segera ditawari makanan.
Mr. Dinsmead bicara tanpa henti. Ia
cerewet sekali, ramah, dan sangat terbuka. Ia menceritakan segala sesuatu
tentang dirinya. Katanya belum lama ini ia pensiun dari usaha bangunannya, usahanya
berjalan sangat baik selama itu. Ia dan istrinya merasa ingin menghirup sedikit
udara pedesaan - sebab mereka belum pernah tinggal di desa. Tapi rupanya mereka
memilih bulan yang salah, Oktober dan November, namun mereka tak mau menunggu.
“Hidup ini kan tidak pasti, Sir,” maka
mereka pun membeli cottage ini. Delapan mil dari mana-mana, dan sembilan belas
mil dari kota terdekat. Tidak, mereka tidak mengeluh. Kedua anak perempuannya menganggap
tempat ini agak membosankan, tapi ia dan istrinya menikmati suasana tenang di
sini.
Ia terus berbicara, membuat Mortimer
hampir-hampir terhipnotis oleh celotehannya. Tentu saja tak ada apa-apa di
tempat ini, selain suasana rumah tangga yang biasa saja. Namun, sejak pertama
kali melihat sekilas bagian dalam rumah itu, Mortimer merasa mendeteksi sesuatu
yang lain, semacam ketegangan, tekanan, yang dipancarkan oleh salah satu dari
kelima orang tersebut - ia tidak tahu yang mana.
Pasti ini sekadar kekonyolannya saja,
seluruh sarafnya kacau balau! Mereka semua terkejut dengan kemunculannya yang mendadak
- itu saja.
Ia memaparkan masalah perlunya mencari
tempat berteduh malam itu, dan langsung mendapatkan tanggapan ramah.
“Anda mesti menginap di sini, Mr.
Cleveland. Tidak ada rumah lainnya sejauh bermil-mil lagi. Kami bisa
menyediakan kamar untuk Anda. Piyama saya mungkin agak longgar untuk Anda, tapi
itu lebih baik daripada tidak ada. Sementara itu, pakaian Anda pasti sudah
kering besok pagi.”
“Anda baik sekali.”
“Ah, bukan apa-apa,” sahut tuan rumahnya
dengan ramah.
“Seperti saya katakan tadi, cuaca di luar
terlalu buruk. Magdalena, Charlotte, pergilah menyiapkan kamar.”
Kedua gadis itu meniggalkan ruangan
tersebut. Tak lama kemudian, Mortimer mendengar mereka sibuk di lantai atas.
“Saya bisa mengerti kalau kedua anak
perempuan Anda yang menarik itu menganggap tempat ini membosankan,” kata
Cleveland.
“Mereka cantik-cantik, kan?” kata Mr.
Dinsmead dengan kebanggaan seorang ayah. “Tidak terlalu mirip dengan ibu mereka
atau dengan saya sendiri. Kami pasangan yang biasa-biasa saja, tapi sangat
saling menyayangi. Itu Anda boleh yakin, Mr. Cleveland. Eh, Maggie, benar kan?”
Mrs. Dinsmead tersenyum malu. Ia sudah
mulai merajut kembali. Jarum-jarum rajutnya bergerak sibuk. Ia bisa merajut
cepat sekali.
Tak lama kemudian kamar Mortimer
dinyatakan sudah siap. Sekali lagi Mortimer mengucapkan terima kasih, lalu
mengatakan bahwa ia ingin segera tidur.
“Apa kau sudah menaruh botol air panas di
tempat tidurnya?” tanya Mrs. Dinsmead yang sekonyong-konyong merasa perlu mempertahankan
reputasi rumah tangganya.
“Ya, Ibu, ada dua.”
“Bagus,” kata Dinsmead. “Antar dia ke
atas, anak-anak dan pastikan dia tidak memerlukan apa-apa lagi.”
Magdalena beranjak ke jendela, untuk
memeriksa apakah kaitan-kaitannya terpasang erat. Charlotte melayangkan pandang
untuk terakhir kali pada segala keperluan mandi. Lalu mereka berdua berdiri
sebentar di pintu.
“Selamat malam, Mr. Cleveland. Anda yakin
Anda tidak memerlukan apa-apa lagi?”
“Ya, terima kasih Miss Magdalena. Saya
tidak enak telah sangat merepotkan Anda berdua. Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Kedua gadis itu keluar, dan menutup pintu.
Kini Mortimer Cleveland hanya seorang diri. Ia melepaskan pakaian dengan
perlahan-lahan, sambil berpikir. Setelah mengenakan piama merah muda Mr.
Dinsmead, ia mengumpulkan pakaian-pakaiannya sendiri yang basah dan menaruh
semuanya di luar pintu, seperti sudah diinstruksikan oleh tuan rumahnya. Dari
lantai bawah terdengar olehnya suara keras Dinsmead.
Cerewet sekali orang itu! Pribadinya pun
aneh tapi memang ada kesan aneh pada seluruh keluarga itu. Atau ini sekadar
imajinasinya belaka?
Perlahan-lahan ia kembali ke kamarnya dan
menutup pintu. Ia berdiri di dekat tempat tidur, sibuk dengan pikirannya
sendiri.
Kemudian ia terperanjat...
Meja mahoni di sisi tempat tidur tertutup
debu, dan di atas debu itu tampak jelas tiga huruf, SOS.
Mortimer memandangi tulisan itu, seakan
tak bisa mempercayai penglihatannya. Tulisan itu telah menegaskan segala
pikiran dan perasaan tak menyenangkan yang samar-samar dirasakannya sejauh ini.
Rupanya perasaannya benar. Ada yang tidak beres di rumah ini.
SOS. Tanda minta pertolongan. Tapi jari
siapa yang telah menuliskannya dalam debu? Magdalena atau Charlotte? Mereka berdua
tadi berdiri di situ sejenak, sebelum keluar. Tangan siapa yang diam-diam
menerakan ketiga huruf itu di meja?
Terbayang olehnya wajah kedua gadis itu. Magdalena
yang berkulit gelap dan menjaga jarak, dan Charlotte yang menatapnya terkejut,
dengan sorot mata tak bisa ditebak, ketika ia pertama kali melihat gadis itu...
Ia kembali ke pintu dan membukanya. Suara
keras Mr. Dinsmead tidak terdengar lagi. Rumah itu sunyi sepi.
Ia berpikir sendiri. “Malam ini aku tak bisa berbuat apa-apa.
Besok yah, kita lihat saja.”