Episode
22
LANGIT malam musim gugur itu tak berawan
dan bulan yang masih muda nyaris tenggelam di antara sekian banyak bintang yang
berkilau terang. Seorang laki-laki bertubuh besar berjubah biksu menyelinap
keluar dari Kuil Bangau Putih. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia
bergerak tanpa suara ke arah jalan setapak yang sempit, menuju hutan pinus.
Saat
Shu mendengar gemeresik buah pinus tua remuk di bawah telapak kakinya, ia
teringat pada pohon-pohon pinus tinggi di kampung halamannya. Selama tiga tahun
terakhir ini ia sudah melintasi hampir semua kota kecil daerah Utara, namun ia
terus berusaha menghindari Lembah Zamrud dan desa Pinus. Ia akan kembali ke
kedua tempat itu kelak, tapi sebelum itu ia harus membalas kematian Peony dan
kedua keluarga mereka.
Dendamnya
merupakan bara yang tak kunjung mau padam, menimbulkan rasa sakit di dalam
hati. Kadang-kadang ia begitu membenci dirinya karena belum juga mencapai
apa-apa dalam usianya yang menginjak 24 tahun itu. Setelah bersembunyi di balik
tembok sekian banyak kuil dan gagal membentuk gerombolan pemberontak selama sekian
lama, ia betul-betul menyambut kesempatan untuk berjuang di bawah seorang tokoh
yang menurut Sumber Damai adalah pemimpin revolusi yang amat disegani di bagian
utara Provinsi Honan.
Sewaktu
menuruni gunung, ia melihat sebuah kuil Lama yang baru. Dari balik pintunya
yang tertutup ia dapat mendengar suara ingar-bingar yang membuatnya menarik kesimpulan
bahwa saat itu para biksunya sedang bersuka ria dengan minum-minum dan
makan-makan bersama beberapa wanita. “Andai kata para biksu Cina bisa diajak kompromi
seperti para biksu Mongolia itu, mungkin mereka akan bersikap lebih terbuka
padaku,” gumamnya pada diri sendiri sambil meneruskan perjalanannya.
Begitu
sampai di jalan yang akan membawanya ke rumah keluarga Kuo, sesuai petunjuk
yang diperolehnya, ia melihat sekelompok serdadu Mongol yang berkemah tak jauh
dari tempatnya berdiri. Beberapa di antara mereka sedang memanggang kelinci
liar di atas api unggun yang cukup besar. Aroma daging itu sampai ke hidungnya
dan menerbitkan air liurnya. Melihat daging kelinci itu, ia mendekati api
unggun mereka.
Makanan
vegetarian di berbagai kuil yang ditumpanginya sangat mengesalkan hatinya,
begitu pula peraturan-peraturan ketat yang berlaku di dalamnya. Ia sudah
meresahkan banyak kepala biksu dengan menyelinap keluar dari kuil-kuil mereka,
entah untuk mencuri atau merampok makanan, baik dari orang-orang Cina maupun
Mongol. Tapi bagaimana orang dapat menyalahkan seorang pemuda bertubuh begitu
besar karena tak bisa hidup hanya dari tahu dan taoge? Biar bagaimanapun, ia
tak pernah mengucapkan sumpah untuk tidak menggunakan kungfunya untuk
keuntungan pribadinya.
“Berhenti!”
seru seorang serdadu yang tiba-tiba muncul di tengah jalan dengan kaki
terentang dan pedang terhunus.
Shu
tersenyum. Takkan sulit baginya merenggut pedang itu dari tangan si serdadu.
Namun persis saat ia akan bertindak, lima orang Mongol lain muncul dari
kegelapan. Mereka mengepungnya.
Shu
langsung berpikir cepat, lalu memutuskan tak mungkin baginya membunuh mereka
semua tanpa menimbulkan kegemparan di seluruh perkemahan. Ia mengangkat kedua
tangannya ke dekat dada, lalu berkata dengan nada rendah hati yang dipaksakan,
“Semoga kalian diberkati sang Buddha, orang-orang yang baik, serta diberkahi
umur panjang dan berkantong-kantong emas.”
“Kenapa
malam-malam begini kau keluar dari kuil?” tanya salah seorang serdadu sambil
mengawasi biksu bertubuh besar itu dengan pandangan curiga.
Shu
menjawab, “Satu di antara para biksu yang sudah tua sedang sakit keras. Aku
harus pergi ke rumah tabib untuk meminta bantuan. Kalau aku tidak cepat-cepat,
sang Buddha akan menyalahkan aku kalau biksu tua itu sampai mati - aku dan
siapa pun yang menghalangi perjalananku.”
Mendengar
ancaman itu, para serdadu Mongol langsung menyingkir. Shu melanjutkan
perjalanan dan akhirnya sampai ke kota Gunung Makmur. Ia tak pernah mampir di kota
itu sejak ia kembali ke Utara, sesuai dengan anjuran Lu agar ia selalu berusaha
menjauhi kota-kota besar. Andai kata kepala biksu kuil yang terakhir
dikunjunginya tidak mengirimnya ke Kuil Bangau Putih, ia takkan pernah mengunjungi
daerah ini kembali.
Pemandangan
di sekelilingnya membangkitkan kembali kenangan-kenangan memedihkan. Begitu
sampai di alun-alun kota, ia mendapati sebatang tonggak bamboo masih terpancang
di sana. Ia pun hanyut oleh arus masa lampau, dan akhirnya terdampar di tahun
1345.
Terbayang
olehnya kepala seorang bocah berusia tiga belas tahun terpancang di ujung
tonggak itu. Ia menengadahkan wajahnya. Ujung tonggak itu seakan menyentuh
bintang-bintang di langit. Dengan lembut ia berkata, “Di manakah kau sekarang,
sobat kecilku? Di dalam pelukan ibumukah?”
Shu
memaksa dirinya mengalihkan pandangan dari ujung tonggak itu, namun air dingin
masa lalu kembali mengguyurnya. Kali ini arusnya menghanyutkannya ke tahun
1346.
Ia
menatap pelataran, lalu melihat wajah ketujuh temannya. Ia mendengar suara
teriakan mereka, “Lebih baik aku mati
daripada harus menyandang tato seperti ini!”
Dengan
sempoyongan ia melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di muka rumah
penjara. Hatinya terasa lebih ringan begitu teringat si sipir tua dan istrinya
yang baik. Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena
menyelamatkan dirinya. Namun ketika ia mengetuk pintu rumah penjara itu, yang
muncul adalah seorang sipir yang masih muda, yang kemudian menatapnya curiga. “Buat
apa kau mencari kedua pembelot tua yang tolol itu? Sipir Li dan istrinya sering
melepaskan para tahanan. Akhirnya perbuatan mereka diketahui orang-orang
Mongol. Mereka ditangkap, kemudian dibunuh sekitar dua tahun yang lalu,
tepatnya di sana, di alun-alun kota.”
Shu
segera berlari meninggalkan rumah penjara itu, sampai hampir kehabisan napas.
Di tengah-tengah kota ia berhenti. Kota itu lebih besar sekarang. Lampu-lampu merah
dan kuning bergelantungan di atas banyak toko dan restorannya, mengingatkannya
pada bunga-bunga yang berkembang di sebuah taman malam. Jumlah lampu hijau menyaingi
yang merah dan kuning, bak daun yang lebih banyak daripada kuncup bunga.
Di
antaranya terdapat satu yang lebih besar dari yang lain. Sinarnya jatuh ke atas
beberapa orang Mongol yang berdiri di bawahnya, memperlihatkan wajah-wajah mereka.
“Pedang
Dahsyat!” Shu menahan napas, kemudian langsung menyelinap ke tempat yang lebih
gelap, di dekat gerobak seorang penjaja makanan.
Si
panglima jenderal sudah berumur sekitar tiga puluh sekarang. Ia menggenggam
topi metal berujung lancipnya di tangannya. Rambut di pelipisnya sudah mulai
keperakan, namun itu malah membuat penampilannya semakin meyakinkan. Sepatu
botnya yang tinggi dan berujung runcing terpoles begitu baik, sehingga bahannya
yang dari kulit berwarna hitam tampak berkilauan di bawah cahaya lampu
kehijauan. Ia lebih gemuk sekarang. Sebilah pedang berat menggelantung dari
sabuk lebar yang melilit di pinggangnya. Ia ditemani oleh empat pengawal
bersenjata. Ia mengatakan sesuatu kepada mereka, kemudian memasuki rumah
berlampu hijau itu sambil tertawa. Stola sutra merahnya berkibas di
belakangnya.
Sementara
para pengawalnya ikut masuk bersamanya, Shu tetap tinggal di tempat gelap,
mengawasi pintu yang kemudian ditutup. Sesudah itu ia memperhatikan penampilannya
sendiri. Ia mengenakan sandal tua dan jubah biksu dari bahan katun sederhana.
“Itu
tidak adil!” serunya tiba-tiba, mengejutkan si penjaja makanan. Shu segera
meninggalkan tempat persembunyiannya, kemudian menghambur ke arah rumah berlampu
hijau itu.
Akal
sehatnya mengingatkan dirinya bahwa masih ada tugas yang harus diselesaikannya,
ia tak punya waktu untuk mengikuti dorongan hatinya. Namun gejolak untuk membuat
perhitungan dengan musuh yang telah membunuh teman-temannya serta menghabisi
kelompok anak buahnya bersama impian masa mudanya, begitu besar.
Sambil
mengendap-endap ia mendekati rumah itu, lalu dengan mudah berada di atapnya.
Perlahan-lahan ia menelusuri genting-genting, sambil berusaha menangkap suara
Pedang Dahsyat. Setelah yakin di mana kedudukan mangsanya, ia mempelajari
situasi ruangannya, kemudian melompat turun ke halaman kebunnya, tubuhnya
seakan seringan bulu.
Ia
mengitari rumah itu dengan langkah-langkah lembut bak kucing, sampai menemukan
jendela yang dicarinya. Ia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang,
kemudian menyerbu masuk. Jendela kertasnya langsung sobek, sementara ia
mendarat di lantai ruangan itu, persis di sebelah sebuah tempat tidur.
Lampu
yang terletak di meja di samping tempat tidur itu mati. Tapi meski jendelanya
sudah berantakan, sinar dari luar tidak cukup terang untuk mengenali wajah
kedua makhluk yang sedang berada di tempat tidur itu. Shu mendengar suara
jeritan seorang perempuan dan umpatan seorang laki-laki. Setelah matanya terbiasa
pada suasana gelap itu, ia melihat sesuatu berkilauan di lantai, di atas tumpukan
pakaian yang berserakan. Ia tersenyum begitu menyadari bahwa itu sebilah
pedang.
Ia
memungutnya, kemudian mencabutnya dari sarungnya. Ia menghampiri tempat tidur,
lalu menghunjamkan pedangnya ke tubuh laki-laki itu. Begitu dahsyat tusukannya
hingga mata pisaunya menembus tubuh orang itu sampai ke papan tempat tidurnya.
“Sekarang
kau boleh membusuk di neraka, Pedang Dahsyat!” ujar Shu sambil mengawasi
kemilau pedang yang berayun-ayun ke muka dan ke belakang dalam kegelapan.
Suara
yang ditimbulkannya saat menyerbu masuk serta jeritan histeris si perempuan
membuat seluruh isi rumah itu gempar. Shu menangkap suara orang berlarian
menuju ruangan itu. Ia memutar tubuh untuk melompat keluar dari jendela. Pada
saat bersamaan ia melihat sepasang sepatu laki-laki di lantai. Ternyata itu
bukan sepatu bot hitam Pedang Dahsyat yang terbuat dari kulit. Shu segera mendekati
tempat tidur itu lagi, kemudian mendoyongkan tubuh untuk memeriksa wajah mayat
itu. Ternyata bukan wajah si panglima jenderal.
Ia
melirik ke arah si gadis dan mendapati dirinya sedang diawasi. Terlintas dalam
pikirannya bahwa gadis itu sudah berada di sana sejak tadi, dan matanya sudah
terbiasa akan suasana gelap itu, sehingga dapat mengenalinya. Ia harus dibunuh.
Tanpa berpikir Shu meraih lehernya. Si gadis menutup mata sambil menggigit
bibirnya.
Sesaat
Shu bimbang. Perasaannya mengatakan ia tak boleh melakukannya. Sekali lagi
terjadi pergumulan antara hati dan akal sehatnya, namun kali ini yang
terakhirlah yang menang. Sementara pintu mulai diketuk-ketuk orang, ia
melingkarkan jari-jarinya di leher gadis itu, kemudian mencekiknya kuat-kuat.
Gadis itu membuka matanya, lalu menatap Shu penuh kebencian. Bola matanya mulai
melotot. Ia membuka mulut, lidahnya keluar.
Ketukan
berubah menjadi gedoran. Sebentar lagi pintu itu jebol. Setelah yakin gadis itu
sudah mati, ia segera menghambur keluar melalui jendela, lalu menghilang dalam
kegelapan kota Gunung Makmur.
Di rumahnya, Kuo berkata kepada
istrinya, “Sayang, kau punya kemampuan untuk mengetahui ketulusan hati orang dari
nada bicaranya. Aku ingin kau keluar untuk mendengar apa yang akan dikatakan
pemuda ini. Kita harus berhati-hati sekali, agar tidak terjebak dalam jaringan perangkap
mata-mata orang Mongol. Sumber Damai sudah tua, sehingga mungkin saja dia
tertipu biksu muda yang dikirimnya menemui kita.”
Di
sebuah sudut ruang duduk itu terdapat penyekat ruangan yang terdiri atas empat
panel. Di baliknya tersembunyi sebuah kursi yang nyaman. Peony membimbing Lady
Kuo ke kursi di belakang penyekat itu, kemudian tetap tinggal di sebelah
majikannya, sambil menunggu kedatangan si biksu dengan sabar. Ia bertanya-tanya
pada dirinya, siapakah biksu ini. Selama enam tahun terakhir ini, setiap kali
ia dan Lady Kuo mengunjungi Kuil Bangau Putih, Sumber Damai selalu memastikan
agar mereka tidak berpapasan dengan para biksu yang masih muda-muda.
Seseorang
menggedor pintu. Master Kuo berdiri untuk menemui tamunya. Kedua lelaki itu
tidak membuang-buang waktu untuk berbasa-basi. Saat memasuki ruang duduk itu, mereka
sudah berkenalan. Mereka bahkan sudah mulai membicarakan maksud pertemuan itu.
“Selain
yang ada di bawah pimpinanku, masih ada sedikitnya enam kelompok pemberontak
yang cukup besar di Cina, masing-masing berkedudukan di beberapa provinsi yang
berlainan,” Ujar Kuo. “Tujuan utama kita adalah menentang orang-orang Mongol
serta mempersatukan kaum revolusioner Cina. Keduanya sama beratnya. Seperti Anda
ketahui, masing-masing pemimpin pergerakan ingin menjadi penguasa tertinggi di
Cina, sehingga ada kemungkinan mereka akan menolak dipersatukan.”
Kuo
menguraikan lebih lanjut pada tamunya bahwa masing-masing pemimpin menyatakan
dirinya sebagai raja provinsinya. Di sebelah selatan Gunung Makmur, seorang pemimpin
bernama Wan telah menobatkan dirinya sebagai Raja Honan.
Kedua
wanita yang menunggu di balik penyekat belum dapat menangkap suara orang asing
itu, karena ia memang belum mengatakan apa-apa.
Kuo
melanjutkan, “Demikian juga halnya dengan para biksu. Nafsu untuk berkuasa dan
mengumpulkan harta rupanya juga mempengaruhi orang-orang saleh. Sikap tidak mendahulukan
kepentingan pribadi Sumber Kedamaian benar-benar suatu perkecualian, dan tugas
Anda dalam hal ini adalah membujuk para kepala biksu lain di utara Provinsi
Honan untuk juga berpikiran seperti itu. Tapi sebelum itu, aku harus
betul-betul yakin bahwa Anda memang cocok untuk misi yang amat penting ini.”
Peony
dan Lady Kuo mendengar orang asing itu menjawab dengan nada rendah namun
mantap, “Master Kuo, aku dapat meyakinkan Anda bahwa alasanku menentang
orang-orang Mongol ini bukan didasari nafsu memperoleh kekuasaan ataupun harta.
Aku hanya ingin membalas kematian orang-orang yang kucintai...”
Kata-kata
si orang asing terputus oleh jeritan seorang wanita. Ia berpaling ke arah
penyekat ruangan dan melihat dua pasang sepatu di bawahnya, yang satu kecil dan
yang lain besar sekali. Kaki-kaki yang besar langsung bergerak dengan
langkah-langkah lebar, sehingga penyekat ruangan itu nyaris ambruk kena
terjangannya. Seorang gadis bertubuh tinggi menghambur ke arah biksu muda itu.
“Shu!
Shu! Kusangka kau sudah mati! Aku melihat kuburanmu! Bagaimana mungkin kau
masih hidup?” seru Peony sambil meletakkan tangan di pundak Shu lalu meremasnya
untuk memastikan ia benar-benar bukan hantu.
“Pe-o-ny!
Peony M-ma!” seru Shu terbata-bata. Wajahnya langsung pucat, sementara seluruh
tubuhnya bergetar saat ia menambahkan, “A-aku melihat... mayatmu! Aku yang mengubur
mayatmu dan... mayat kedua orangtuamu! Mayatmu sudah hangus sama sekali!
B-bagaimana... kau bisa berdiri di sini, dalam keadaan hidup dan... l-lebih
tinggi dan besar dari dulu?”
“Aku?
Terbakar sampai hangus? Kau jangan mengada-ada!” seru Peony sambil mengamati
wajah Shu yang pucat serta tubuhnya yang gemetaran. Ia menurunkan tangannya
dari pundak biksu muda itu, mengitarinya, lalu tiba-tiba tertawa.
“Rupamu
lucu sekali dengan jubah konyol ini! Kau tampak jelek sekali dengan kepala
botakmu! Baru sekali ini aku melihat kau dicukur licin. Kau benar-benar tidak pantas
mengenakan pakaian seperti itu. Seorang biksu mestinya tampak saleh. Rupamu
seperti baru membunuh orang.”
Tiba-tiba
Peony berhenti tertawa, kemudian mulai menangis. Sambil berdiri di hadapannya,
ia mulai memukuli dada Shu dengan tinjunya. “Di mana kau bersembunyi selama
delapan tahun terakhir ini? Kenapa kau tidak mencariku dan memberi kabar bahwa
kau masih hidup?” Baru saja ia akan membuat Shu merasakan salah satu jurus tai
chi-nya, ia melihat air mata di mata pemuda itu.
Shu
mengawasi Peony tertawa dan menangis, namun sama sekali tidak menyadari bahwa
ia juga melakukan hal yang sama. Ia meletakkan tangannya di pinggang Peony, lalu
mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Peony!
Peony-ku!” serunya sambil berputar-putar dengan Peony dalam pelukannya. “Kita
takkan pernah berpisah lagi!”
Mereka
berangkulan sebagaimana layaknya dua makhluk yang saling merindukan, kemudian
tiba-tiba bertemu kembali. Masing-masing berebut menceritakan apa saja yang
telah menimpa dirinya selama tahun itu.
Kuo
menghampiri istrinya. Ia mengajak Joy keluar dari balik penyekat ruangannya,
lalu membimbingnya ke kursi lain. Ia duduk di sebelahnya, lalu sambil
bergenggaman tangan mereka mendengarkan percakapan itu.
Shu
dan Peony masih asyik berbicara saat salah seorang anak buah Kuo memasuki
ruangan itu dengan napas terengah-engah.
Orang
itu berkata, “Orang-orang Mongol menggeledah daerah ini untuk mencari pembunuh
perwira Mongol. Seorang pelacur Cina menyaksikan pembunuhan itu. Dia nyaris
mati di tangan si pembunuh, tapi akhirnya lolos dari maut. Dia memberikan
deskripsi terperinci mengenai penyerang itu pada Pedang Dahsyat. Mereka mencari
seorang biksu bertubuh tinggi besar, hidup atau mati. Hadiah untuk kepalanya
adalah dua puluh keping uang emas.”
Orang itu kemudian menambahkan bahwa
menurut dugaan, si pembunuh menuju arah ini. “Orang-orang Mongol menggeledah
semua jalan, toko, rumah-rumah pribadi, dan rumah-rumah sewa, serta berbagai
tempat yang mungkin menjadi tempat persembunyian, termasuk Kuil Bangau Putih!”
Sebelumnya - Selanjutnya