Ching Yun Bezine - Sungai Lampion #23



Episode 22 

LANGIT malam musim gugur itu tak berawan dan bulan yang masih muda nyaris tenggelam di antara sekian banyak bintang yang berkilau terang. Seorang laki-laki bertubuh besar berjubah biksu menyelinap keluar dari Kuil Bangau Putih. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia bergerak tanpa suara ke arah jalan setapak yang sempit, menuju hutan pinus.

        Saat Shu mendengar gemeresik buah pinus tua remuk di bawah telapak kakinya, ia teringat pada pohon-pohon pinus tinggi di kampung halamannya. Selama tiga tahun terakhir ini ia sudah melintasi hampir semua kota kecil daerah Utara, namun ia terus berusaha menghindari Lembah Zamrud dan desa Pinus. Ia akan kembali ke kedua tempat itu kelak, tapi sebelum itu ia harus membalas kematian Peony dan kedua keluarga mereka.
        Dendamnya merupakan bara yang tak kunjung mau padam, menimbulkan rasa sakit di dalam hati. Kadang-kadang ia begitu membenci dirinya karena belum juga mencapai apa-apa dalam usianya yang menginjak 24 tahun itu. Setelah bersembunyi di balik tembok sekian banyak kuil dan gagal membentuk gerombolan pemberontak selama sekian lama, ia betul-betul menyambut kesempatan untuk berjuang di bawah seorang tokoh yang menurut Sumber Damai adalah pemimpin revolusi yang amat disegani di bagian utara Provinsi Honan.
        Sewaktu menuruni gunung, ia melihat sebuah kuil Lama yang baru. Dari balik pintunya yang tertutup ia dapat mendengar suara ingar-bingar yang membuatnya menarik kesimpulan bahwa saat itu para biksunya sedang bersuka ria dengan minum-minum dan makan-makan bersama beberapa wanita. “Andai kata para biksu Cina bisa diajak kompromi seperti para biksu Mongolia itu, mungkin mereka akan bersikap lebih terbuka padaku,” gumamnya pada diri sendiri sambil meneruskan perjalanannya.
        Begitu sampai di jalan yang akan membawanya ke rumah keluarga Kuo, sesuai petunjuk yang diperolehnya, ia melihat sekelompok serdadu Mongol yang berkemah tak jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa di antara mereka sedang memanggang kelinci liar di atas api unggun yang cukup besar. Aroma daging itu sampai ke hidungnya dan menerbitkan air liurnya. Melihat daging kelinci itu, ia mendekati api unggun mereka.
        Makanan vegetarian di berbagai kuil yang ditumpanginya sangat mengesalkan hatinya, begitu pula peraturan-peraturan ketat yang berlaku di dalamnya. Ia sudah meresahkan banyak kepala biksu dengan menyelinap keluar dari kuil-kuil mereka, entah untuk mencuri atau merampok makanan, baik dari orang-orang Cina maupun Mongol. Tapi bagaimana orang dapat menyalahkan seorang pemuda bertubuh begitu besar karena tak bisa hidup hanya dari tahu dan taoge? Biar bagaimanapun, ia tak pernah mengucapkan sumpah untuk tidak menggunakan kungfunya untuk keuntungan pribadinya.
        “Berhenti!” seru seorang serdadu yang tiba-tiba muncul di tengah jalan dengan kaki terentang dan pedang terhunus.
        Shu tersenyum. Takkan sulit baginya merenggut pedang itu dari tangan si serdadu. Namun persis saat ia akan bertindak, lima orang Mongol lain muncul dari kegelapan. Mereka mengepungnya.
        Shu langsung berpikir cepat, lalu memutuskan tak mungkin baginya membunuh mereka semua tanpa menimbulkan kegemparan di seluruh perkemahan. Ia mengangkat kedua tangannya ke dekat dada, lalu berkata dengan nada rendah hati yang dipaksakan, “Semoga kalian diberkati sang Buddha, orang-orang yang baik, serta diberkahi umur panjang dan berkantong-kantong emas.”
        “Kenapa malam-malam begini kau keluar dari kuil?” tanya salah seorang serdadu sambil mengawasi biksu bertubuh besar itu dengan pandangan curiga.
        Shu menjawab, “Satu di antara para biksu yang sudah tua sedang sakit keras. Aku harus pergi ke rumah tabib untuk meminta bantuan. Kalau aku tidak cepat-cepat, sang Buddha akan menyalahkan aku kalau biksu tua itu sampai mati - aku dan siapa pun yang menghalangi perjalananku.”
        Mendengar ancaman itu, para serdadu Mongol langsung menyingkir. Shu melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai ke kota Gunung Makmur. Ia tak pernah mampir di kota itu sejak ia kembali ke Utara, sesuai dengan anjuran Lu agar ia selalu berusaha menjauhi kota-kota besar. Andai kata kepala biksu kuil yang terakhir dikunjunginya tidak mengirimnya ke Kuil Bangau Putih, ia takkan pernah mengunjungi daerah ini kembali.
        Pemandangan di sekelilingnya membangkitkan kembali kenangan-kenangan memedihkan. Begitu sampai di alun-alun kota, ia mendapati sebatang tonggak bamboo masih terpancang di sana. Ia pun hanyut oleh arus masa lampau, dan akhirnya terdampar di tahun 1345.
        Terbayang olehnya kepala seorang bocah berusia tiga belas tahun terpancang di ujung tonggak itu. Ia menengadahkan wajahnya. Ujung tonggak itu seakan menyentuh bintang-bintang di langit. Dengan lembut ia berkata, “Di manakah kau sekarang, sobat kecilku? Di dalam pelukan ibumukah?”
        Shu memaksa dirinya mengalihkan pandangan dari ujung tonggak itu, namun air dingin masa lalu kembali mengguyurnya. Kali ini arusnya menghanyutkannya ke tahun 1346.
        Ia menatap pelataran, lalu melihat wajah ketujuh temannya. Ia mendengar suara teriakan mereka, “Lebih baik aku mati daripada harus menyandang tato seperti ini!”
        Dengan sempoyongan ia melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di muka rumah penjara. Hatinya terasa lebih ringan begitu teringat si sipir tua dan istrinya yang baik. Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena menyelamatkan dirinya. Namun ketika ia mengetuk pintu rumah penjara itu, yang muncul adalah seorang sipir yang masih muda, yang kemudian menatapnya curiga. “Buat apa kau mencari kedua pembelot tua yang tolol itu? Sipir Li dan istrinya sering melepaskan para tahanan. Akhirnya perbuatan mereka diketahui orang-orang Mongol. Mereka ditangkap, kemudian dibunuh sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya di sana, di alun-alun kota.”
        Shu segera berlari meninggalkan rumah penjara itu, sampai hampir kehabisan napas. Di tengah-tengah kota ia berhenti. Kota itu lebih besar sekarang. Lampu-lampu merah dan kuning bergelantungan di atas banyak toko dan restorannya, mengingatkannya pada bunga-bunga yang berkembang di sebuah taman malam. Jumlah lampu hijau menyaingi yang merah dan kuning, bak daun yang lebih banyak daripada kuncup bunga.
        Di antaranya terdapat satu yang lebih besar dari yang lain. Sinarnya jatuh ke atas beberapa orang Mongol yang berdiri di bawahnya, memperlihatkan wajah-wajah mereka.
        “Pedang Dahsyat!” Shu menahan napas, kemudian langsung menyelinap ke tempat yang lebih gelap, di dekat gerobak seorang penjaja makanan.
        Si panglima jenderal sudah berumur sekitar tiga puluh sekarang. Ia menggenggam topi metal berujung lancipnya di tangannya. Rambut di pelipisnya sudah mulai keperakan, namun itu malah membuat penampilannya semakin meyakinkan. Sepatu botnya yang tinggi dan berujung runcing terpoles begitu baik, sehingga bahannya yang dari kulit berwarna hitam tampak berkilauan di bawah cahaya lampu kehijauan. Ia lebih gemuk sekarang. Sebilah pedang berat menggelantung dari sabuk lebar yang melilit di pinggangnya. Ia ditemani oleh empat pengawal bersenjata. Ia mengatakan sesuatu kepada mereka, kemudian memasuki rumah berlampu hijau itu sambil tertawa. Stola sutra merahnya berkibas di belakangnya.
        Sementara para pengawalnya ikut masuk bersamanya, Shu tetap tinggal di tempat gelap, mengawasi pintu yang kemudian ditutup. Sesudah itu ia memperhatikan penampilannya sendiri. Ia mengenakan sandal tua dan jubah biksu dari bahan katun sederhana.
        “Itu tidak adil!” serunya tiba-tiba, mengejutkan si penjaja makanan. Shu segera meninggalkan tempat persembunyiannya, kemudian menghambur ke arah rumah berlampu hijau itu.
        Akal sehatnya mengingatkan dirinya bahwa masih ada tugas yang harus diselesaikannya, ia tak punya waktu untuk mengikuti dorongan hatinya. Namun gejolak untuk membuat perhitungan dengan musuh yang telah membunuh teman-temannya serta menghabisi kelompok anak buahnya bersama impian masa mudanya, begitu besar.
        Sambil mengendap-endap ia mendekati rumah itu, lalu dengan mudah berada di atapnya. Perlahan-lahan ia menelusuri genting-genting, sambil berusaha menangkap suara Pedang Dahsyat. Setelah yakin di mana kedudukan mangsanya, ia mempelajari situasi ruangannya, kemudian melompat turun ke halaman kebunnya, tubuhnya seakan seringan bulu.
        Ia mengitari rumah itu dengan langkah-langkah lembut bak kucing, sampai menemukan jendela yang dicarinya. Ia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, kemudian menyerbu masuk. Jendela kertasnya langsung sobek, sementara ia mendarat di lantai ruangan itu, persis di sebelah sebuah tempat tidur.
        Lampu yang terletak di meja di samping tempat tidur itu mati. Tapi meski jendelanya sudah berantakan, sinar dari luar tidak cukup terang untuk mengenali wajah kedua makhluk yang sedang berada di tempat tidur itu. Shu mendengar suara jeritan seorang perempuan dan umpatan seorang laki-laki. Setelah matanya terbiasa pada suasana gelap itu, ia melihat sesuatu berkilauan di lantai, di atas tumpukan pakaian yang berserakan. Ia tersenyum begitu menyadari bahwa itu sebilah pedang.
        Ia memungutnya, kemudian mencabutnya dari sarungnya. Ia menghampiri tempat tidur, lalu menghunjamkan pedangnya ke tubuh laki-laki itu. Begitu dahsyat tusukannya hingga mata pisaunya menembus tubuh orang itu sampai ke papan tempat tidurnya.
        “Sekarang kau boleh membusuk di neraka, Pedang Dahsyat!” ujar Shu sambil mengawasi kemilau pedang yang berayun-ayun ke muka dan ke belakang dalam kegelapan.
        Suara yang ditimbulkannya saat menyerbu masuk serta jeritan histeris si perempuan membuat seluruh isi rumah itu gempar. Shu menangkap suara orang berlarian menuju ruangan itu. Ia memutar tubuh untuk melompat keluar dari jendela. Pada saat bersamaan ia melihat sepasang sepatu laki-laki di lantai. Ternyata itu bukan sepatu bot hitam Pedang Dahsyat yang terbuat dari kulit. Shu segera mendekati tempat tidur itu lagi, kemudian mendoyongkan tubuh untuk memeriksa wajah mayat itu. Ternyata bukan wajah si panglima jenderal.
        Ia melirik ke arah si gadis dan mendapati dirinya sedang diawasi. Terlintas dalam pikirannya bahwa gadis itu sudah berada di sana sejak tadi, dan matanya sudah terbiasa akan suasana gelap itu, sehingga dapat mengenalinya. Ia harus dibunuh. Tanpa berpikir Shu meraih lehernya. Si gadis menutup mata sambil menggigit bibirnya.
        Sesaat Shu bimbang. Perasaannya mengatakan ia tak boleh melakukannya. Sekali lagi terjadi pergumulan antara hati dan akal sehatnya, namun kali ini yang terakhirlah yang menang. Sementara pintu mulai diketuk-ketuk orang, ia melingkarkan jari-jarinya di leher gadis itu, kemudian mencekiknya kuat-kuat. Gadis itu membuka matanya, lalu menatap Shu penuh kebencian. Bola matanya mulai melotot. Ia membuka mulut, lidahnya keluar.
        Ketukan berubah menjadi gedoran. Sebentar lagi pintu itu jebol. Setelah yakin gadis itu sudah mati, ia segera menghambur keluar melalui jendela, lalu menghilang dalam kegelapan kota Gunung Makmur.

Di rumahnya, Kuo berkata kepada istrinya, “Sayang, kau punya kemampuan untuk mengetahui ketulusan hati orang dari nada bicaranya. Aku ingin kau keluar untuk mendengar apa yang akan dikatakan pemuda ini. Kita harus berhati-hati sekali, agar tidak terjebak dalam jaringan perangkap mata-mata orang Mongol. Sumber Damai sudah tua, sehingga mungkin saja dia tertipu biksu muda yang dikirimnya menemui kita.”
        Di sebuah sudut ruang duduk itu terdapat penyekat ruangan yang terdiri atas empat panel. Di baliknya tersembunyi sebuah kursi yang nyaman. Peony membimbing Lady Kuo ke kursi di belakang penyekat itu, kemudian tetap tinggal di sebelah majikannya, sambil menunggu kedatangan si biksu dengan sabar. Ia bertanya-tanya pada dirinya, siapakah biksu ini. Selama enam tahun terakhir ini, setiap kali ia dan Lady Kuo mengunjungi Kuil Bangau Putih, Sumber Damai selalu memastikan agar mereka tidak berpapasan dengan para biksu yang masih muda-muda.
        Seseorang menggedor pintu. Master Kuo berdiri untuk menemui tamunya. Kedua lelaki itu tidak membuang-buang waktu untuk berbasa-basi. Saat memasuki ruang duduk itu, mereka sudah berkenalan. Mereka bahkan sudah mulai membicarakan maksud pertemuan itu.
        “Selain yang ada di bawah pimpinanku, masih ada sedikitnya enam kelompok pemberontak yang cukup besar di Cina, masing-masing berkedudukan di beberapa provinsi yang berlainan,” Ujar Kuo. “Tujuan utama kita adalah menentang orang-orang Mongol serta mempersatukan kaum revolusioner Cina. Keduanya sama beratnya. Seperti Anda ketahui, masing-masing pemimpin pergerakan ingin menjadi penguasa tertinggi di Cina, sehingga ada kemungkinan mereka akan menolak dipersatukan.”
        Kuo menguraikan lebih lanjut pada tamunya bahwa masing-masing pemimpin menyatakan dirinya sebagai raja provinsinya. Di sebelah selatan Gunung Makmur, seorang pemimpin bernama Wan telah menobatkan dirinya sebagai Raja Honan.
        Kedua wanita yang menunggu di balik penyekat belum dapat menangkap suara orang asing itu, karena ia memang belum mengatakan apa-apa.
        Kuo melanjutkan, “Demikian juga halnya dengan para biksu. Nafsu untuk berkuasa dan mengumpulkan harta rupanya juga mempengaruhi orang-orang saleh. Sikap tidak mendahulukan kepentingan pribadi Sumber Kedamaian benar-benar suatu perkecualian, dan tugas Anda dalam hal ini adalah membujuk para kepala biksu lain di utara Provinsi Honan untuk juga berpikiran seperti itu. Tapi sebelum itu, aku harus betul-betul yakin bahwa Anda memang cocok untuk misi yang amat penting ini.”
        Peony dan Lady Kuo mendengar orang asing itu menjawab dengan nada rendah namun mantap, “Master Kuo, aku dapat meyakinkan Anda bahwa alasanku menentang orang-orang Mongol ini bukan didasari nafsu memperoleh kekuasaan ataupun harta. Aku hanya ingin membalas kematian orang-orang yang kucintai...”
        Kata-kata si orang asing terputus oleh jeritan seorang wanita. Ia berpaling ke arah penyekat ruangan dan melihat dua pasang sepatu di bawahnya, yang satu kecil dan yang lain besar sekali. Kaki-kaki yang besar langsung bergerak dengan langkah-langkah lebar, sehingga penyekat ruangan itu nyaris ambruk kena terjangannya. Seorang gadis bertubuh tinggi menghambur ke arah biksu muda itu.
        “Shu! Shu! Kusangka kau sudah mati! Aku melihat kuburanmu! Bagaimana mungkin kau masih hidup?” seru Peony sambil meletakkan tangan di pundak Shu lalu meremasnya untuk memastikan ia benar-benar bukan hantu.
        “Pe-o-ny! Peony M-ma!” seru Shu terbata-bata. Wajahnya langsung pucat, sementara seluruh tubuhnya bergetar saat ia menambahkan, “A-aku melihat... mayatmu! Aku yang mengubur mayatmu dan... mayat kedua orangtuamu! Mayatmu sudah hangus sama sekali! B-bagaimana... kau bisa berdiri di sini, dalam keadaan hidup dan... l-lebih tinggi dan besar dari dulu?”
        “Aku? Terbakar sampai hangus? Kau jangan mengada-ada!” seru Peony sambil mengamati wajah Shu yang pucat serta tubuhnya yang gemetaran. Ia menurunkan tangannya dari pundak biksu muda itu, mengitarinya, lalu tiba-tiba tertawa.
        “Rupamu lucu sekali dengan jubah konyol ini! Kau tampak jelek sekali dengan kepala botakmu! Baru sekali ini aku melihat kau dicukur licin. Kau benar-benar tidak pantas mengenakan pakaian seperti itu. Seorang biksu mestinya tampak saleh. Rupamu seperti baru membunuh orang.”
        Tiba-tiba Peony berhenti tertawa, kemudian mulai menangis. Sambil berdiri di hadapannya, ia mulai memukuli dada Shu dengan tinjunya. “Di mana kau bersembunyi selama delapan tahun terakhir ini? Kenapa kau tidak mencariku dan memberi kabar bahwa kau masih hidup?” Baru saja ia akan membuat Shu merasakan salah satu jurus tai chi-nya, ia melihat air mata di mata pemuda itu.
        Shu mengawasi Peony tertawa dan menangis, namun sama sekali tidak menyadari bahwa ia juga melakukan hal yang sama. Ia meletakkan tangannya di pinggang Peony, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
        “Peony! Peony-ku!” serunya sambil berputar-putar dengan Peony dalam pelukannya. “Kita takkan pernah berpisah lagi!”
        Mereka berangkulan sebagaimana layaknya dua makhluk yang saling merindukan, kemudian tiba-tiba bertemu kembali. Masing-masing berebut menceritakan apa saja yang telah menimpa dirinya selama tahun itu.
        Kuo menghampiri istrinya. Ia mengajak Joy keluar dari balik penyekat ruangannya, lalu membimbingnya ke kursi lain. Ia duduk di sebelahnya, lalu sambil bergenggaman tangan mereka mendengarkan percakapan itu.
        Shu dan Peony masih asyik berbicara saat salah seorang anak buah Kuo memasuki ruangan itu dengan napas terengah-engah.
        Orang itu berkata, “Orang-orang Mongol menggeledah daerah ini untuk mencari pembunuh perwira Mongol. Seorang pelacur Cina menyaksikan pembunuhan itu. Dia nyaris mati di tangan si pembunuh, tapi akhirnya lolos dari maut. Dia memberikan deskripsi terperinci mengenai penyerang itu pada Pedang Dahsyat. Mereka mencari seorang biksu bertubuh tinggi besar, hidup atau mati. Hadiah untuk kepalanya adalah dua puluh keping uang emas.”
        Orang itu kemudian menambahkan bahwa menurut dugaan, si pembunuh menuju arah ini. “Orang-orang Mongol menggeledah semua jalan, toko, rumah-rumah pribadi, dan rumah-rumah sewa, serta berbagai tempat yang mungkin menjadi tempat persembunyian, termasuk Kuil Bangau Putih!”

Sebelumnya - Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...