Ching Yun Bezine - Sungai Lampion #19



Episode 18

PEDANG DAHSYAT tidak menyukai daerah Cina Selatan. Terlalu panas dan padat bagi seorang Mongol. Ia dapat membasmi habis penduduknya serta membuat daerah itu berkesan lebih terbuka, namun ia tak dapat mengubah cuacanya. Ia juga amat merindukan kakaknya, Shadow Tamu serta adiknya, Kilau Bintang, yang masih tetap menjadi favorit Khan yang Agung. Pedang Dahsyat ingin kembali ke Da-du agar dapat lebih sering berkumpul dengan mereka.

        Ia meninggalkan kedua ratus serdadunya di kota Yin-tin, kemudian berangkat bersama beberapa pengawal pribadinya ke arah Utara. Sesekali mereka berhenti di tempat-tempat yang dianggapnya menarik, sementara di sepanjang perjalanan ia terus merekrut serdadu-serdadu Mongol. Ia tiba di Sungai Kuning pada musim dingin tahun 1347, dan berhasil merekrut lebih dari lima ratus serdadu baru.
        Meskipun sudah menduduki Cina selama lebih dari tujuh dekade, orang-orang Mongol masih tetap lebih suka tinggal di tenda-tenda yang terbuat dari kulit binatang. Begitu sampai di Gunung Makmur, ia langsung memerintahkan untuk membakar rumah-rumah Cina, meratakan tanah pertanian, serta menghancurkan kota-kota mereka. Di tempat yang sama kemudian didirikan tenda-tenda dari kulit binatang yang disanggah oleh kerangka dari batang-batang pohon yangliu, sehingga terbentuklah lautan tenda. Setelah itu, si panglima jenderal beserta serdadu-serdadunya mulai membantai orang-orang Cina yang bermukim di sepanjang tepi sungai.

Orang-orang Cina di daerah Utara ini memiliki pelindung, yaitu orang bernama Tzu-hsing.
        “Aku begitu bangga bekerja untuk keluarga ini!” ujar Peony sambil menyisir rambut Lady Joy Kuo. Ruang itu penuh dengan perabotan mewah, tapi tak ada sebuah cermin pun di sana, karena Lady Kuo tunanetra.
        “Apakah Tuan masih berdiri di tengah-tengah salju?” tanya Joy Kuo.
        “Ya,” jawab Peony setelah melihat ke luar melalui jendela.
        Kuo adalah laki-laki bertubuh tinggi semampai, usianya hampir empat puluhan. Ia berada di kebunnya yang dikelilingi tembok, dan begitu tenggelam dalam alam pikirannya, sehingga tak terasa olehnya dinginnya salju yang mengelilinginya.
        “Apakah Nyonya ingin aku memanggil Tuan masuk?” tanya Peony.
        “Jangan,” ujar Joy Kuo lirih. “Dia butuh waktu untuk meredakan kemelut yang memenuhi pikirannya, dan dia lebih suka melakukannya di luar. Memang sudah begitu sejak awal pernikahan kami.” Ia kemudian mengungkapkan pada Peony bahwa ayahnya dulu pedagang kaya yang amat mencintainya, meskipun ia buta sejak lahir. Kuo masih miskin ketika itu, tapi ia satu-satunya orang yang dipercaya oleh ayahnya. Dan ternyata ayah Joy yang bijaksana itu tidak keliru. Dari tahun ke tahun Kuo menggunakan maskawin yang diperolehnya untuk membuka toko demi toko dan dengan demikian semakin kaya, namun ia tetap suami yang setia dan sayang kepada istrinya.
        Joy Kuo berkata, “Peony, kau tahu mengenai rahasia kami. Suamiku dikenal sebagai pedagang yang memiliki lebih dari sekitar dua puluh toko di berbagai kota dan desa di seluruh pelosok daerah Utara, tapi sesungguhnya dia salah satu di antara dua pemimpin paling disegani dalam dunia pergerakan di Provinsi Honan...”
        Ucapan Joy dipotong oleh kehadiran seorang wanita tua di ambang pintu. Wanita itu adalah Meadow, pengurus rumah tangga yang dulu mengasuh Joy. Ia memiliki wajah keras serta nada bicara ketus. “Tandu Nyonya sudah siap. Tapi aku betul-betul berkeberatan Nyonya keluar dalam cuaca seperti ini. Hujan salju sedang turun, tapi tak seorang pun memedulikan kesehatan Nyonya.”
        Tanpa mengindahkan kata-kata Meadow, Joy berkata kepada Peony, “Temui Cendekiawan Tou untuk surat-surat selebaran itu.”
        Tahu bahwa Joy tak dapat melihat apa yang sedang dilakukannya, Peony menjulurkan lidah ke arah Meadow. Ketika Lady Kuo membawa Peony pulang dari istal manusia itu setahun yang lalu, Meadow bersikeras bahwa salah seorang di antara pelayan laki-laki harus membawa Peony kembali ke pasar.
        “Dasar anak jalanan!” ujar Meadow sambil mengangkat tangan, siap menampar Peony.
        Peony segera berkelit dengan lincah. Setelah meletakkan kedua ibu jarinya pada cuping hidungnya, dan menggerakkan jari-jarinya ke arah wanita tua itu, ia berlari ke luar, meninggalkan ruangan tersebut.
        Peony berlari melintasi halaman belakang, menuju kamar Cendekiawan Tou. Pintunya terbuka dan tampaknya orang tua itu sedang sendirian. Ia berdiri di muka sebuah lempengan kuningan lebar dan mengilat, yang digunakannya sebagai cermin untuk memeriksa sejumlah aksara terbalik yang terukir di permukaan balok kayu yang besar.
        “Kenapa Anda tidak memakai cara yang lebih sederhana?” tanya Peony, mengejutkan orang tua itu. “Aku bisa membantu Anda mengukir kata-kata yang paling sering digunakan di potongan-potongan kayu. Kalau ada yang harus Anda cetak, Anda tinggal merangkai kata-katanya, lalu mengikat potongan-potongan kayu itu menjadi satu, daripada mengukirnya satu per satu berulang-ulang.”
        Cendekiawan Tou mengalihkan matanya dari cermin kuningan itu. “Aku lelaki tua yang suka melakukan segalanya dengan cara lama. Kau boleh membantuku mencetak ini,” jawabnya sederhana.
        Orang tua itu menyukai Peony. Tak lama setelah dibeli oleh keluarga Kuo, Peony menyaksikan bagaimana orang tua itu mencetak pesan untuk tuan mereka. Ia amat tertarik melihat sekian banyak karakter, yang masing-masing tampak seperti gambar. Ia lalu mengungkapkan kepada orang tua itu bahwa ia ingin belajar membaca dan menulis.
        Cendekiawan Tou benar-benar tertegun mendapati gadis polos itu ternyata begitu cerdas. Dalam waktu setahun Peony sudah belajar cukup banyak untuk dapat membantu orang tua itu mengukir dan mencetak.
        Saat orang tua itu mencampur tinta hitam dengan minyak untuk mencetak, Peony berdiri di muka cermin kuningan sambil mengawasi bayangannya. Baru setelah menginjak usia sembilan belas tahun ia akhirnya berhenti tumbuh. Makanan bergizi serta hidup yang lebih tenteram membuat tubuhnya yang besar tampak lebih berisi. Kulitnya yang semula gelap karena terbakar matahari juga tidak begitu cokelat lagi. Ia mengenakan baju hijau kemala di atas celana panjang biru tuanya, dan akhirnya kembali dapat memakai pita-pita merah untuk dijalin dan diikatkan pada rambutnya yang hitam berkilauan. Meadow bersikeras bahwa sebagai pelayan, Peony hanya boleh mengenakan warna-warna gelap, tapi Lady Kuo telah memberikan kelonggaran padanya untuk memperbaiki penampilannya yang tidak begitu mencolok itu sesuka hatinya.
        Peony mengangkat matanya ke arah langit-langit. “Shu, andai kata kau dapat melihatku dari surga saat ini, kau pasti akan mengakui rupaku lebih cantik daripada dulu,” gumamnya.
        Akhirnya tintanya siap. Cendekiawan Tou menyapukannya ke balok-balok kayunya, kemudian membentangkan selembar kertas merang di atasnya. Dengan tangannya ia meratakan kertas itu, sehingga seluruh bagiannya menempel di balok kayu itu.
        Peony membaca pesan yang tertera di atasnya,
        “Satu-satunya cara untuk membuat kue bulan yang baik adalah dengan mengolah bahan-bahannya dengan baik. Para biksu Tao dan Buddha harus saling menggabungkan resep-resep mereka.”
        Arti sesungguhnya di balik kata-kata ini adalah, “Para biksu Tao dan Buddha harus menggabungkan kekuatan untuk menghadapi para biksu Lama, karena itu satu-satunya cara untuk menghadapi orang-orang Mongol.”
        “Sebaiknya para biksu itu mengikuti saran Master Kuo,” ujar Cendekiawan Tou. “Pedang Dahsyat meratakan desa-desa tidak hanya untuk membuat padang-padang rumput, tapi juga untuk menyediakan tempat membangun kuil-kuil Lama. Sejumlah biksu Lama akan tiba dari daerah padang gurun. Mereka bukan orang-orang ramah dan saleh, tapi kejam dan serakah, sama seperti para serdadu Mongol.”
        Setelah setumpuk selebaran berisi pesan Master Kuo selesai dicetak dan kering, Peony mengangkutnya ke dapur. Di situ, di atas sebuah rak, sudah menunggu kue-kue matang yang dibuat di rumah itu. Peony menyusupkan pesan-pesan itu ke dalam kue-kue yang tersedia, yang kemudian ia masukkan ke kotak-kotak untuk dimuat di sebuah gerobak yang ditarik sapi.
        Saat masih berdiri di samping gerobaknya, ia melihat seorang petani sedang bergegas menuju rumah keluarga Kuo. Laki-laki itu mengenali Peony, lalu menyerahkan sebuah kotak kepadanya. “Isinya manisan buah kurma dari Sungai Yangtze. Master Kuo harus mencicipinya secara pribadi.”
        Peony segera menemui Kuo yang saat itu masih berdiri di kebun. Ia mengawasi saat tuannya membuka kotak itu, lalu mengintip untuk membaca kata-kata yang tertulis pada sepotong kertas. “Penguasa Danau Angin Berbisik membuka pintu untuk semua orang Cina pencinta kurma yang berniat menghubunginya. Marilah kita satukan semua buah manisan yang kita miliki, untuk dipanggang menjadi kue musim semi yang lezat.”
        Kuo, yang menaruh kepercayaan pada Peony sama seperti istrinya, berkata, “Penguasa Danau Angin Berbisik. Dia pasti Lu yang begitu sering dibicarakan orang. Dia memintaku ke sana di musim semi nanti, untuk bergabung dengan organisasi-organisasi pergerakan lainnya.” Ia menatap Peony, lalu tersenyum. “Ini kabar yang sudah lama kutunggu-tunggu.”
        Peony dan Lady Kuo meninggalkan rumah dengan dua tandu tertutup, karena tak aman bagi wanita Cina mana pun untuk berjalan kaki melewati tempat yang penuh dengan orang-orang Mongol. Namun begitu tiba di kaki bukit, Peony melompat keluar dari tandunya. Ia menaiki gunung itu dengan berjalan kaki, sambil menikmati udara segar. Hujan salju sudah mereda, yang tinggal serpihan-serpihan salju yang jatuh lembut di sekitarnya. Tanaman honeysuckte berkembang di antara hamparan salju, menebarkan keharumannya ke seluruh penjuru. Pohon-pohon bunga yang tumbuh di sana sudah ratusan tahun usianya, penuh dengan kuncup-kuncup merah, merah muda, kuning, dan putih. Peony berlari dari pohon yang satu ke yang lain, sambil tertawa-tawa begitu kelopak-kelopak bunga yang dingin jatuh ke atasnya dan menggelitik hidungnya.
        Tak lama kemudian ia melihat dahan penuh bunga agak di luar jangkauannya. Ia segera melompat, lalu menghilang di antara kerimbunan hijau yang terselubung salju. Pada saat berikutnya ia sudah mendarat dengan lengan-lengan terentang. Bergegas ia menghampiri tandu Lady Kuo, untuk mempersembahkan sebuah buket bunga padanya.
        “Hati-hati, Nak,” ujar majikannya lembut, sambil mencium bunga-bunganya. Ia tahu kemampuan Peony dalam ilmu tai chi, namun tetap sulit bagi seorang wanita tunanetra untuk membayangkan bagaimana seseorang dapat melakukannya tanpa mengalami cedera.
        Sejam kemudian mereka sampai di Kuil Bangau Putih. Biksu Sumber Damai menyambut Lady Kuo dengan penuh hormat, kemudian tersenyum hangat ke arah Peony. Biksu tua itu sempat khawatir mernikirkan Peony setelah ia meminta gadis itu meninggalkan tempat tersebut, dan amat lega melihatnya kembali bersama Lady Kuo setahun setelah itu. Pasangan suami-istri Kuo adalah pelindung kuil itu. Sejak saat itu, setiap kali Lady Kuo datang untuk membakar batang-batang dupa, Peony menemaninya.
        Dalam salah satu kunjungan pertamanya, Peony menemui para biksuni untuk membujuk mereka agar mau belajar seni tai chi darinya. Setiap kali berkunjung, ia mengajarkan lebih banyak kepada mereka, dan semakin lama para biksuni ini semakin antusias berlatih. Beberapa di antara mereka kemudian dipindahkan ke kuil-kuil lain, baik di daerah Utara maupun Selatan, dan mereka membawa keterampilan ber-tai chi ini bersama mereka. Akibatnya, seni yang luar biasa ini kemudian dipelajari oleh para biksuni di seluruh pelosok Cina.
        Sumber Damai membimbing Lady Kuo ke sebuah kursi, lalu wanita itu berkata, “Aku datang ke sini untuk menyampaikan permohonan suamiku pada Anda. Kami membawa kue manis di dalam gerobak. Apakah biksu-biksu Anda dapat membagi-bagikannya pada kuil-kuil di sepanjang Sungai Kuning? Di dalam setiap kotak kue ada pesan, dan kita harus amat berhati-hati agar tak satu pun jatuh ke tangan orang-orang Mongol atau salah seorang biksu Lama. Kalau mereka sampai menerka isi pesan itu, kita akan celaka.”
        Biksu tua itu menjawab dengan nada rendah, “Apa pun akan kulakukan untuk Anda dan Master Kuo. Tapi jika itu juga berarti mempertaruhkan keselamatan banyak orang, kita harus mengadakan rapat dulu. Aku akan mengirim kabar pada Nyonya dalam beberapa hari ini.”
        Sementara Lady Kuo dan Sumber Damai berbincang-bincang, Peony meninggalkan mereka kemudian menuju bagian yang didiami para biksuni, yang terpisah oleh kebun sayur dari tempat tinggal para biksu laki-laki. Para biksuni itu dapat melatih keterampilan tai chi mereka dengan mengenakan celana dan baju ketat hitam tanpa perlu merasa rikuh akan mengganggu konsentrasi para biksu laki-laki yang masih muda.
        Begitu hampir sampai, ia mendengar suara beberapa biksuni yang sedang cekikikan. Nadanya ceria sekali. Peony tersenyum bangga. Dialah yang membawa keceriaan itu ke dalam hidup mereka yang dulu amat suram.
        Sewaktu memasuki kebun itu, mata Peony terbeliak saking tertegunnya. Para biksuni itu rupanya telah berlatih tai chi dalam hujan salju. Mereka mengenakan serban merah terang untuk menutupi kepala-kepala botak mereka. Sekarang, setelah hujan salju itu reda, mereka masih tetap memakai penutup kepala. Warnanya yang hidup tampak kontras dengan pakaian mereka yang hitam dan membuat mereka tampak cantik.
        “Seorang nyonya kaya menyumbangkan kepada kami beberapa meter sutra merah untuk dibuat selimut. Tentunya selimut sutra merah kurang sesuai untuk dipakai dalam kuil, tapi sayang sekali kalau bahan yang begitu halus disia-siakan,” salah seorang biksuni menjelaskan.
        Peony lebih tertegun lagi melihat beberapa biksuni yang kakinya terbebat di antara yang sedang latihan.
        “Latihan tai chi meniadakan keterbatasan kami. Kami bukan makhluk-makhluk yang tak berdaya lagi!” seru salah seorang biksuni yang dulunya putri bangsawan. “Sekarang aku dapat membalas kematian keluargaku!” Sebetulnya para biksu dan biksuni tak boleh memikirkan hal-hal seperti itu, tapi Peony telah menghapuskannya dari pikiran para biksuni ini.
        “Omong-omong soal balas dendam, ada yang ingin kusampaikan pada kalian.” Peony mengungkapkan pada mereka mengenai pesan yang dIkirimkan ke semua kuil daerah Honan, yang terletak di sepanjang Sungai Kuning. “Para biksu diminta bergabung dalam pergerakan. Tapi tak sepatah kata pun disebut-sebut mengenai kita, para pejuang dari kalangan wanita. Ini penghinaan. Kita sama baiknya dengan kaum laki-laki, malah mungkin lebih baik. Mengingat mereka tidak meminta kita untuk bergabung dengan mereka, kita akan berjuang sendiri.”
        Sebelum melanjutkan kata-katanya, Peony menaiki podium, lalu berdiri dengan memunggungi patung sang Buddha. Dengan nada rendah ia mengungkapkan kepada para biksuni itu mengenai keonaran yang ditimbulkan oleh kelima ratus serdadu yang tiba bersama-sama dengan Pedang Dahsyat.
        “Bangsa kita dibantai setiap hari. Kita tak dapat melakukan perlawanan secara terbuka di siang hari, tapi malam-malam kalian dapat menyelinap ke luar kuil, dan aku dapat menemui kalian di Gunung Makmur. Kita dapat menggunakan teknik tai chi kita untuk menelusuri jalan-jalan tanpa suara. Begitu memergoki kaum wanita yang diperlakukan semena-mena oleh orang-orang Mongol, kita basmi monster-monster itu.”
        Peony melihat bayangan ketakutan tersirat di wajah beberapa biksuni, lalu dengan nada menuduh ia berkata, “Kalian tak punya hak untuk bersikap seperti pengecut. Apa kalian sudah lupa bagaimana keluarga kalian dibantai? Apa kalian sudah tak ingat lagi bagaimana kepala-kepala mereka dipancang di tonggak-tonggak tinggi? Coba lihat ke arah padang rumput yang dulu tempat tinggal kalian. Kuda orang-orang Mongol menginjak-injak bumi tumpah darah orangtua kalian!”
        Peony melembutkan suaranya begitu melihat air mata berlinang dari mata beberapa biksuni serta tekad yang kemudian membayang di wajah-wajah mereka yang terangkat. “Kalau kalian muncul di alun-alun Gunung Makmur nanti malam, kenakanlah celana panjang dan kemeja ketat hitam kalian, serta tutup kepala kalian dengan serban merah.”
        Tak lama sesudah itu, Peony meninggalkan para biksuni untuk menemani Lady Kuo pulang. Nyonya itu heran karena sepanjang perjalanan Peony tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sesungguhnya Peony menggunakan kesempatan itu untuk beristirahat, karena ia tahu ia takkan punya waktu untuk tidur malam itu.

Di bawah langit musim dingin yang bening, bulan purnama bersinar, menerangi alun-alun kota yang berselimut salju.
        Sesosok bayangan bertubuh tinggi muncul dari sebuah jalan, menuju daerah yang ditinggali orang-orang kaya. Celana panjang serta bajunya yang ketat mengungkapkan sosok wanita berdada besar, dengan tungkai panjang dan kaki besar. Saat ia menengadahkan kepala, bulan menyinari serban merah yang dikenakannya. Matanya yang besar dan bulat memancarkan kekecewaan begitu melihat tak seorang pun ada di pelataran itu.
        “Peony,” bisik seorang biksuni yang muncul dari tempat persembunyiannya, di balik sebuah tonggak tinggi. “Kami sudah menunggu lama sekali di sini. Kenapa kau terlambat?”
        “Si Meadow tua tidak mau memberiku kesempatan untuk menyelinap keluar dari dapur...” Peony memutuskan kalimatnya begitu melihat tiga biksuni lagi keluar dari bawah pelataran, semua berpakaian sama seperti dirinya. “Aku begitu bangga melihat kalian! Nah, kita bisa memulai misi suci ini berlima.”
        Peony memimpin yang lain menelusuri jalan-jalan kota Gunung Makmur. Mereka melewati rumah penjara, kemudian terus ke daerah lampu hijau. Tempat itu sudah sepi sekali. Hanya beberapa kedai arak yang masih buka.
        “Jangan ganggu anak perempuanku!” seru seorang laki-laki dengan nada marah, melalui jendela sebuah kedai arak yang tertutup kertas. “Jangan kausentuh dia dengan tangan kotormu itu!”
        Seorang Mongol mengumpat dalam bahasanya, disusul lengking kesakitan seorang laki-laki. Seorang wanita menjerit, kemudian terdengar ratapan memelas seorang gadis.
        Tiga pelanggan yang ketakutan bergegas kabur melalui pintu. Salah seorang di antaranya sempat mengumpat,
        “Dasar si tua goblok! Kalau ada orang Mongol yang berminat meniduri anaknya, seharusnya dia meninggalkan ruangan itu dan pura-pura tidak melihat dan mendengar apa-apa!”
        Peony dan keempat biksuni menggeleng-gelengkan kepala mendengar komentar pengecut itu, kemudian diam-diam menyelinap ke kedai arak itu.
        Mereka melihat seorang lelaki tergeletak di lantai, dengan sayatan di leher dari telinga yang satu sampai ke telinga yang lain, seorang wanita bersimpuh di tanah sambil mengguncang-guncang dan memeluk tubuh suaminya, serta seorang gadis dalam keadaan setengah telanjang meronta-ronta dalam rangkulan seorang Mongol.
        Dengan menggunakan jurus favoritnya, bangau putih mengepakkan kedua sayapnya, Peony mengibas si Mongol ke sisi lain ruangan. Keempat biksuni menggunakan tebaran tangan bak awan untuk membawa si ibu dan anak perempuannya keluar dari kedai arak itu. Saat si Mongol berusaha berdiri, Peony segera mengubah gerakannya dengan jurus memetik sekuntum bunga. Si Mongol segera menjerit kesakitan begitu bola matanya dicungkil secepat kilat oleh Peony dengan jari-jarinya.
        Peony segera menyusul keenam wanita yang sedang kabur itu. Dengan tegas ia mengingatkan si ibu dan anaknya untuk tidak bersuara. Ia mengajari mereka cara membungkuk serendah mungkin, lalu mengendap-endap dengan jurus seperti ikan di dasar sungai. Mereka melebur dalam kegelapan, meninggalkan kota tanpa sepengetahuan para serdadu Mongol yang berlarian ke sana kemari dengan gempar.
        Sumber Damai menampung ibu dan anak itu dalam perlindungannya. Ia terpaksa menegur Peony dan keempat biksuni karena menyelinap keluar tanpa izin, namun mata biksu tua itu tampak berbinar bangga saat menatap kelima wanita itu.
        Para biksuni lain melihat reaksinya dan merasa malu karena tak ikut ambil bagian malam itu. Mereka memperlakukan keempat biksuni yang gagah berani itu bak pahlawan, dan memutuskan lain kali mereka akan ikut bergabung.
        Peony kembali ke rumah kediaman keluarga Kuo sebelum Meadow menyadari ia telah menghilang.
        Tapi paginya ia menceritakan pada kedua majikannya apa yang telah dilakukannya malam itu. Kedua majikannya terkejut. Tubuh Lady Kuo merinding membayangkan risiko yang telah diambil Peony. Tapi setelah berhasil meyakinkan mereka bahwa ia dan para biksuni itu melakukannya untuk membantu pihak pergerakan, pasangan suami-istri Kuo amat bangga atas dirinya.
        “Apakah itu berarti nanti malam aku boleh keluar dari rumah ini secara terang-terangan, tanpa harus menyelinap di belakang punggung Meadow?” tanya Peony pada kedua majikannya.
        Pasangan suami-istri Kuo tak dapat menjawab tidak.

Enam bulan kemudian, nama Serban Merah dikenal orang mulai dari daerah sekitar Sungai Kuning sampai Sungai Yangtze.
        Dengan nada rendah, baik orang-orang Cina maupun Mongol mengungkapkan bahwa para biksuni yang mengenakan serban merah itu dapat berjalan di atas air dan melayang di udara, dan pemimpin mereka seorang gadis bertubuh tinggi besar yang namanya tidak jelas, namun mempunyai kaki sebesar kaki kuli laki-laki.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...