Episode
18
PEDANG DAHSYAT tidak menyukai daerah Cina Selatan. Terlalu
panas dan padat bagi seorang Mongol. Ia dapat membasmi habis penduduknya serta
membuat daerah itu berkesan lebih terbuka, namun ia tak dapat mengubah cuacanya.
Ia juga amat merindukan kakaknya, Shadow Tamu serta adiknya, Kilau Bintang,
yang masih tetap menjadi favorit Khan yang Agung. Pedang Dahsyat ingin kembali
ke Da-du agar dapat lebih sering berkumpul dengan mereka.
Ia
meninggalkan kedua ratus serdadunya di kota Yin-tin, kemudian berangkat bersama
beberapa pengawal pribadinya ke arah Utara. Sesekali mereka berhenti di tempat-tempat
yang dianggapnya menarik, sementara di sepanjang perjalanan ia terus merekrut
serdadu-serdadu Mongol. Ia tiba di Sungai Kuning pada musim dingin tahun 1347,
dan berhasil merekrut lebih dari lima ratus serdadu baru.
Meskipun
sudah menduduki Cina selama lebih dari tujuh dekade, orang-orang Mongol masih
tetap lebih suka tinggal di tenda-tenda yang terbuat dari kulit binatang.
Begitu sampai di Gunung Makmur, ia langsung memerintahkan untuk membakar
rumah-rumah Cina, meratakan tanah pertanian, serta menghancurkan kota-kota
mereka. Di tempat yang sama kemudian didirikan tenda-tenda dari kulit binatang
yang disanggah oleh kerangka dari batang-batang pohon yangliu, sehingga
terbentuklah lautan tenda. Setelah itu, si panglima jenderal beserta
serdadu-serdadunya mulai membantai orang-orang Cina yang bermukim di sepanjang tepi
sungai.
Orang-orang Cina di daerah Utara ini memiliki pelindung,
yaitu orang bernama Tzu-hsing.
“Aku
begitu bangga bekerja untuk keluarga ini!” ujar Peony sambil menyisir rambut
Lady Joy Kuo. Ruang itu penuh dengan perabotan mewah, tapi tak ada sebuah cermin
pun di sana, karena Lady Kuo tunanetra.
“Apakah
Tuan masih berdiri di tengah-tengah salju?” tanya Joy Kuo.
“Ya,”
jawab Peony setelah melihat ke luar melalui jendela.
Kuo
adalah laki-laki bertubuh tinggi semampai, usianya hampir empat puluhan. Ia
berada di kebunnya yang dikelilingi tembok, dan begitu tenggelam dalam alam pikirannya,
sehingga tak terasa olehnya dinginnya salju yang mengelilinginya.
“Apakah
Nyonya ingin aku memanggil Tuan masuk?” tanya Peony.
“Jangan,”
ujar Joy Kuo lirih. “Dia butuh waktu untuk meredakan kemelut yang memenuhi
pikirannya, dan dia lebih suka melakukannya di luar. Memang sudah begitu sejak
awal pernikahan kami.” Ia kemudian mengungkapkan pada Peony bahwa ayahnya dulu
pedagang kaya yang amat mencintainya, meskipun ia buta sejak lahir. Kuo masih miskin
ketika itu, tapi ia satu-satunya orang yang dipercaya oleh ayahnya. Dan
ternyata ayah Joy yang bijaksana itu tidak keliru. Dari tahun ke tahun Kuo
menggunakan maskawin yang diperolehnya untuk membuka toko demi toko dan dengan
demikian semakin kaya, namun ia tetap suami yang setia dan sayang kepada
istrinya.
Joy Kuo
berkata, “Peony, kau tahu mengenai rahasia kami. Suamiku dikenal sebagai
pedagang yang memiliki lebih dari sekitar dua puluh toko di berbagai kota dan
desa di seluruh pelosok daerah Utara, tapi sesungguhnya dia salah satu di
antara dua pemimpin paling disegani dalam dunia pergerakan di Provinsi
Honan...”
Ucapan
Joy dipotong oleh kehadiran seorang wanita tua di ambang pintu. Wanita itu
adalah Meadow, pengurus rumah tangga yang dulu mengasuh Joy. Ia memiliki wajah keras
serta nada bicara ketus. “Tandu Nyonya sudah siap. Tapi aku betul-betul
berkeberatan Nyonya keluar dalam cuaca seperti ini. Hujan salju sedang turun,
tapi tak seorang pun memedulikan kesehatan Nyonya.”
Tanpa
mengindahkan kata-kata Meadow, Joy berkata kepada Peony, “Temui Cendekiawan Tou
untuk surat-surat selebaran itu.”
Tahu
bahwa Joy tak dapat melihat apa yang sedang dilakukannya, Peony menjulurkan
lidah ke arah Meadow. Ketika Lady Kuo membawa Peony pulang dari istal manusia itu
setahun yang lalu, Meadow bersikeras bahwa salah seorang di antara pelayan
laki-laki harus membawa Peony kembali ke pasar.
“Dasar
anak jalanan!” ujar Meadow sambil mengangkat tangan, siap menampar Peony.
Peony
segera berkelit dengan lincah. Setelah meletakkan kedua ibu jarinya pada cuping
hidungnya, dan menggerakkan jari-jarinya ke arah wanita tua itu, ia berlari ke
luar, meninggalkan ruangan tersebut.
Peony
berlari melintasi halaman belakang, menuju kamar Cendekiawan Tou. Pintunya
terbuka dan tampaknya orang tua itu sedang sendirian. Ia berdiri di muka sebuah
lempengan kuningan lebar dan mengilat, yang digunakannya sebagai cermin untuk
memeriksa sejumlah aksara terbalik yang terukir di permukaan balok kayu yang besar.
“Kenapa
Anda tidak memakai cara yang lebih sederhana?” tanya Peony, mengejutkan orang
tua itu. “Aku bisa membantu Anda mengukir kata-kata yang paling sering
digunakan di potongan-potongan kayu. Kalau ada yang harus Anda cetak, Anda
tinggal merangkai kata-katanya, lalu mengikat potongan-potongan kayu itu menjadi
satu, daripada mengukirnya satu per satu berulang-ulang.”
Cendekiawan
Tou mengalihkan matanya dari cermin kuningan itu. “Aku lelaki tua yang suka
melakukan segalanya dengan cara lama. Kau boleh membantuku mencetak ini,”
jawabnya sederhana.
Orang
tua itu menyukai Peony. Tak lama setelah dibeli oleh keluarga Kuo, Peony
menyaksikan bagaimana orang tua itu mencetak pesan untuk tuan mereka. Ia amat
tertarik melihat sekian banyak karakter, yang masing-masing tampak seperti
gambar. Ia lalu mengungkapkan kepada orang tua itu bahwa ia ingin belajar
membaca dan menulis.
Cendekiawan
Tou benar-benar tertegun mendapati gadis polos itu ternyata begitu cerdas.
Dalam waktu setahun Peony sudah belajar cukup banyak untuk dapat membantu orang
tua itu mengukir dan mencetak.
Saat
orang tua itu mencampur tinta hitam dengan minyak untuk mencetak, Peony berdiri
di muka cermin kuningan sambil mengawasi bayangannya. Baru setelah menginjak
usia sembilan belas tahun ia akhirnya berhenti tumbuh. Makanan bergizi serta
hidup yang lebih tenteram membuat tubuhnya yang besar tampak lebih berisi. Kulitnya
yang semula gelap karena terbakar matahari juga tidak begitu cokelat lagi. Ia
mengenakan baju hijau kemala di atas celana panjang biru tuanya, dan akhirnya
kembali dapat memakai pita-pita merah untuk dijalin dan diikatkan pada
rambutnya yang hitam berkilauan. Meadow bersikeras bahwa sebagai pelayan, Peony
hanya boleh mengenakan warna-warna gelap, tapi Lady Kuo telah memberikan kelonggaran
padanya untuk memperbaiki penampilannya yang tidak begitu mencolok itu sesuka hatinya.
Peony
mengangkat matanya ke arah langit-langit. “Shu, andai kata kau dapat melihatku
dari surga saat ini, kau pasti akan mengakui rupaku lebih cantik daripada
dulu,” gumamnya.
Akhirnya
tintanya siap. Cendekiawan Tou menyapukannya ke balok-balok kayunya, kemudian membentangkan
selembar kertas merang di atasnya. Dengan tangannya ia meratakan kertas itu,
sehingga seluruh bagiannya menempel di balok kayu itu.
Peony
membaca pesan yang tertera di atasnya,
“Satu-satunya
cara untuk membuat kue bulan yang baik adalah dengan mengolah bahan-bahannya
dengan baik. Para biksu Tao dan Buddha harus saling menggabungkan resep-resep
mereka.”
Arti
sesungguhnya di balik kata-kata ini adalah, “Para biksu Tao dan Buddha harus
menggabungkan kekuatan untuk menghadapi para biksu Lama, karena itu satu-satunya
cara untuk menghadapi orang-orang Mongol.”
“Sebaiknya
para biksu itu mengikuti saran Master Kuo,” ujar Cendekiawan Tou. “Pedang
Dahsyat meratakan desa-desa tidak hanya untuk membuat padang-padang rumput,
tapi juga untuk menyediakan tempat membangun kuil-kuil Lama. Sejumlah biksu
Lama akan tiba dari daerah padang gurun. Mereka bukan orang-orang ramah dan
saleh, tapi kejam dan serakah, sama seperti para serdadu Mongol.”
Setelah
setumpuk selebaran berisi pesan Master Kuo selesai dicetak dan kering, Peony
mengangkutnya ke dapur. Di situ, di atas sebuah rak, sudah menunggu kue-kue matang
yang dibuat di rumah itu. Peony menyusupkan pesan-pesan itu ke dalam kue-kue
yang tersedia, yang kemudian ia masukkan ke kotak-kotak untuk dimuat di sebuah
gerobak yang ditarik sapi.
Saat
masih berdiri di samping gerobaknya, ia melihat seorang petani sedang bergegas
menuju rumah keluarga Kuo. Laki-laki itu mengenali Peony, lalu menyerahkan sebuah
kotak kepadanya. “Isinya manisan buah kurma dari Sungai Yangtze. Master Kuo
harus mencicipinya secara pribadi.”
Peony
segera menemui Kuo yang saat itu masih berdiri di kebun. Ia mengawasi saat
tuannya membuka kotak itu, lalu mengintip untuk membaca kata-kata yang tertulis
pada sepotong kertas. “Penguasa Danau Angin Berbisik membuka pintu untuk semua
orang Cina pencinta kurma yang berniat menghubunginya. Marilah kita satukan
semua buah manisan yang kita miliki, untuk dipanggang menjadi kue musim semi
yang lezat.”
Kuo,
yang menaruh kepercayaan pada Peony sama seperti istrinya, berkata, “Penguasa
Danau Angin Berbisik. Dia pasti Lu yang begitu sering dibicarakan orang. Dia memintaku
ke sana di musim semi nanti, untuk bergabung dengan organisasi-organisasi
pergerakan lainnya.” Ia menatap Peony, lalu tersenyum. “Ini kabar yang sudah
lama kutunggu-tunggu.”
Peony
dan Lady Kuo meninggalkan rumah dengan dua tandu tertutup, karena tak aman bagi
wanita Cina mana pun untuk berjalan kaki melewati tempat yang penuh dengan
orang-orang Mongol. Namun begitu tiba di kaki bukit, Peony melompat keluar dari
tandunya. Ia menaiki gunung itu dengan berjalan kaki, sambil menikmati udara segar.
Hujan salju sudah mereda, yang tinggal serpihan-serpihan salju yang jatuh
lembut di sekitarnya. Tanaman honeysuckte berkembang di antara hamparan salju,
menebarkan keharumannya ke seluruh penjuru. Pohon-pohon bunga yang tumbuh di
sana sudah ratusan tahun usianya, penuh dengan kuncup-kuncup merah, merah muda,
kuning, dan putih. Peony berlari dari pohon yang satu ke yang lain, sambil
tertawa-tawa begitu kelopak-kelopak bunga yang dingin jatuh ke atasnya dan menggelitik
hidungnya.
Tak
lama kemudian ia melihat dahan penuh bunga agak di luar jangkauannya. Ia segera
melompat, lalu menghilang di antara kerimbunan hijau yang terselubung salju.
Pada saat berikutnya ia sudah mendarat dengan lengan-lengan terentang. Bergegas
ia menghampiri tandu Lady Kuo, untuk mempersembahkan sebuah buket bunga padanya.
“Hati-hati,
Nak,” ujar majikannya lembut, sambil mencium bunga-bunganya. Ia tahu kemampuan
Peony dalam ilmu tai chi, namun tetap sulit bagi seorang wanita tunanetra untuk
membayangkan bagaimana seseorang dapat melakukannya tanpa mengalami cedera.
Sejam
kemudian mereka sampai di Kuil Bangau Putih. Biksu Sumber Damai menyambut Lady
Kuo dengan penuh hormat, kemudian tersenyum hangat ke arah Peony. Biksu tua itu
sempat khawatir mernikirkan Peony setelah ia meminta gadis itu meninggalkan
tempat tersebut, dan amat lega melihatnya kembali bersama Lady Kuo setahun
setelah itu. Pasangan suami-istri Kuo adalah pelindung kuil itu. Sejak saat
itu, setiap kali Lady Kuo datang untuk membakar batang-batang dupa, Peony
menemaninya.
Dalam
salah satu kunjungan pertamanya, Peony menemui para biksuni untuk membujuk
mereka agar mau belajar seni tai chi darinya. Setiap kali berkunjung, ia mengajarkan
lebih banyak kepada mereka, dan semakin lama para biksuni ini semakin antusias
berlatih. Beberapa di antara mereka kemudian dipindahkan ke kuil-kuil lain, baik
di daerah Utara maupun Selatan, dan mereka membawa keterampilan ber-tai chi ini
bersama mereka. Akibatnya, seni yang luar biasa ini kemudian dipelajari oleh para
biksuni di seluruh pelosok Cina.
Sumber
Damai membimbing Lady Kuo ke sebuah kursi, lalu wanita itu berkata, “Aku datang
ke sini untuk menyampaikan permohonan suamiku pada Anda. Kami membawa kue manis
di dalam gerobak. Apakah biksu-biksu Anda dapat membagi-bagikannya pada kuil-kuil
di sepanjang Sungai Kuning? Di dalam setiap kotak kue ada pesan, dan kita harus
amat berhati-hati agar tak satu pun jatuh ke tangan orang-orang Mongol atau
salah seorang biksu Lama. Kalau mereka sampai menerka isi pesan itu, kita akan
celaka.”
Biksu
tua itu menjawab dengan nada rendah, “Apa pun akan kulakukan untuk Anda dan
Master Kuo. Tapi jika itu juga berarti mempertaruhkan keselamatan banyak orang,
kita harus mengadakan rapat dulu. Aku akan mengirim kabar pada Nyonya dalam
beberapa hari ini.”
Sementara
Lady Kuo dan Sumber Damai berbincang-bincang, Peony meninggalkan mereka
kemudian menuju bagian yang didiami para biksuni, yang terpisah oleh kebun
sayur dari tempat tinggal para biksu laki-laki. Para biksuni itu dapat melatih
keterampilan tai chi mereka dengan mengenakan celana dan baju ketat hitam tanpa
perlu merasa rikuh akan mengganggu konsentrasi para biksu laki-laki yang masih
muda.
Begitu
hampir sampai, ia mendengar suara beberapa biksuni yang sedang cekikikan.
Nadanya ceria sekali. Peony tersenyum bangga. Dialah yang membawa keceriaan itu
ke dalam hidup mereka yang dulu amat suram.
Sewaktu
memasuki kebun itu, mata Peony terbeliak saking tertegunnya. Para biksuni itu
rupanya telah berlatih tai chi dalam hujan salju. Mereka mengenakan serban merah
terang untuk menutupi kepala-kepala botak mereka. Sekarang, setelah hujan salju
itu reda, mereka masih tetap memakai penutup kepala. Warnanya yang hidup tampak
kontras dengan pakaian mereka yang hitam dan membuat mereka tampak cantik.
“Seorang
nyonya kaya menyumbangkan kepada kami beberapa meter sutra merah untuk dibuat
selimut. Tentunya selimut sutra merah kurang sesuai untuk dipakai dalam kuil,
tapi sayang sekali kalau bahan yang begitu halus disia-siakan,” salah seorang
biksuni menjelaskan.
Peony
lebih tertegun lagi melihat beberapa biksuni yang kakinya terbebat di antara
yang sedang latihan.
“Latihan
tai chi meniadakan keterbatasan kami. Kami bukan makhluk-makhluk yang tak
berdaya lagi!” seru salah seorang biksuni yang dulunya putri bangsawan.
“Sekarang aku dapat membalas kematian keluargaku!” Sebetulnya para biksu dan
biksuni tak boleh memikirkan hal-hal seperti itu, tapi Peony telah
menghapuskannya dari pikiran para biksuni ini.
“Omong-omong
soal balas dendam, ada yang ingin kusampaikan pada kalian.” Peony mengungkapkan
pada mereka mengenai pesan yang dIkirimkan ke semua kuil daerah Honan, yang
terletak di sepanjang Sungai Kuning. “Para biksu diminta bergabung dalam
pergerakan. Tapi tak sepatah kata pun disebut-sebut mengenai kita, para pejuang
dari kalangan wanita. Ini penghinaan. Kita sama baiknya dengan kaum laki-laki,
malah mungkin lebih baik. Mengingat mereka tidak meminta kita untuk bergabung dengan
mereka, kita akan berjuang sendiri.”
Sebelum
melanjutkan kata-katanya, Peony menaiki podium, lalu berdiri dengan memunggungi
patung sang Buddha. Dengan nada rendah ia mengungkapkan kepada para biksuni itu
mengenai keonaran yang ditimbulkan oleh kelima ratus serdadu yang tiba
bersama-sama dengan Pedang Dahsyat.
“Bangsa
kita dibantai setiap hari. Kita tak dapat melakukan perlawanan secara terbuka
di siang hari, tapi malam-malam kalian dapat menyelinap ke luar kuil, dan aku
dapat menemui kalian di Gunung Makmur. Kita dapat menggunakan teknik tai chi
kita untuk menelusuri jalan-jalan tanpa suara. Begitu memergoki kaum wanita yang
diperlakukan semena-mena oleh orang-orang Mongol, kita basmi monster-monster
itu.”
Peony
melihat bayangan ketakutan tersirat di wajah beberapa biksuni, lalu dengan nada
menuduh ia berkata, “Kalian tak punya hak untuk bersikap seperti pengecut. Apa kalian
sudah lupa bagaimana keluarga kalian dibantai? Apa kalian sudah tak ingat lagi
bagaimana kepala-kepala mereka dipancang di tonggak-tonggak tinggi? Coba lihat
ke arah padang rumput yang dulu tempat tinggal kalian. Kuda orang-orang Mongol
menginjak-injak bumi tumpah darah orangtua kalian!”
Peony
melembutkan suaranya begitu melihat air mata berlinang dari mata beberapa
biksuni serta tekad yang kemudian membayang di wajah-wajah mereka yang terangkat.
“Kalau kalian muncul di alun-alun Gunung Makmur nanti malam, kenakanlah celana
panjang dan kemeja ketat hitam kalian, serta tutup kepala kalian dengan serban
merah.”
Tak
lama sesudah itu, Peony meninggalkan para biksuni untuk menemani Lady Kuo
pulang. Nyonya itu heran karena sepanjang perjalanan Peony tidak mengeluarkan
sepatah kata pun. Sesungguhnya Peony menggunakan kesempatan itu untuk
beristirahat, karena ia tahu ia takkan punya waktu untuk tidur malam itu.
Di bawah langit musim dingin yang bening, bulan purnama
bersinar, menerangi alun-alun kota yang berselimut salju.
Sesosok
bayangan bertubuh tinggi muncul dari sebuah jalan, menuju daerah yang
ditinggali orang-orang kaya. Celana panjang serta bajunya yang ketat
mengungkapkan sosok wanita berdada besar, dengan tungkai panjang dan kaki
besar. Saat ia menengadahkan kepala, bulan menyinari serban merah yang
dikenakannya. Matanya yang besar dan bulat memancarkan kekecewaan begitu
melihat tak seorang pun ada di pelataran itu.
“Peony,”
bisik seorang biksuni yang muncul dari tempat persembunyiannya, di balik sebuah
tonggak tinggi. “Kami sudah menunggu lama sekali di sini. Kenapa kau terlambat?”
“Si
Meadow tua tidak mau memberiku kesempatan untuk menyelinap keluar dari
dapur...” Peony memutuskan kalimatnya begitu melihat tiga biksuni lagi keluar
dari bawah pelataran, semua berpakaian sama seperti dirinya. “Aku begitu bangga
melihat kalian! Nah, kita bisa memulai misi suci ini berlima.”
Peony
memimpin yang lain menelusuri jalan-jalan kota Gunung Makmur. Mereka melewati
rumah penjara, kemudian terus ke daerah lampu hijau. Tempat itu sudah sepi
sekali. Hanya beberapa kedai arak yang masih buka.
“Jangan
ganggu anak perempuanku!” seru seorang laki-laki dengan nada marah, melalui
jendela sebuah kedai arak yang tertutup kertas. “Jangan kausentuh dia dengan tangan
kotormu itu!”
Seorang
Mongol mengumpat dalam bahasanya, disusul lengking kesakitan seorang laki-laki.
Seorang wanita menjerit, kemudian terdengar ratapan memelas seorang gadis.
Tiga
pelanggan yang ketakutan bergegas kabur melalui pintu. Salah seorang di antaranya
sempat mengumpat,
“Dasar
si tua goblok! Kalau ada orang Mongol yang berminat meniduri anaknya,
seharusnya dia meninggalkan ruangan itu dan pura-pura tidak melihat dan
mendengar apa-apa!”
Peony
dan keempat biksuni menggeleng-gelengkan kepala mendengar komentar pengecut
itu, kemudian diam-diam menyelinap ke kedai arak itu.
Mereka
melihat seorang lelaki tergeletak di lantai, dengan sayatan di leher dari
telinga yang satu sampai ke telinga yang lain, seorang wanita bersimpuh di
tanah sambil mengguncang-guncang dan memeluk tubuh suaminya, serta seorang
gadis dalam keadaan setengah telanjang meronta-ronta dalam rangkulan seorang
Mongol.
Dengan
menggunakan jurus favoritnya, bangau
putih mengepakkan kedua sayapnya, Peony mengibas si Mongol ke sisi lain
ruangan. Keempat biksuni menggunakan tebaran tangan bak awan untuk membawa si
ibu dan anak perempuannya keluar dari kedai arak itu. Saat si Mongol berusaha
berdiri, Peony segera mengubah gerakannya dengan jurus memetik sekuntum bunga. Si Mongol segera menjerit kesakitan begitu
bola matanya dicungkil secepat kilat oleh Peony dengan jari-jarinya.
Peony
segera menyusul keenam wanita yang sedang kabur itu. Dengan tegas ia
mengingatkan si ibu dan anaknya untuk tidak bersuara. Ia mengajari mereka cara membungkuk
serendah mungkin, lalu mengendap-endap dengan jurus seperti ikan di dasar
sungai. Mereka melebur dalam kegelapan, meninggalkan kota tanpa sepengetahuan para
serdadu Mongol yang berlarian ke sana kemari dengan gempar.
Sumber
Damai menampung ibu dan anak itu dalam perlindungannya. Ia terpaksa menegur
Peony dan keempat biksuni karena menyelinap keluar tanpa izin, namun mata biksu
tua itu tampak berbinar bangga saat menatap kelima wanita itu.
Para
biksuni lain melihat reaksinya dan merasa malu karena tak ikut ambil bagian
malam itu. Mereka memperlakukan keempat biksuni yang gagah berani itu bak pahlawan,
dan memutuskan lain kali mereka akan ikut bergabung.
Peony
kembali ke rumah kediaman keluarga Kuo sebelum Meadow menyadari ia telah
menghilang.
Tapi
paginya ia menceritakan pada kedua majikannya apa yang telah dilakukannya malam
itu. Kedua majikannya terkejut. Tubuh Lady Kuo merinding membayangkan risiko yang
telah diambil Peony. Tapi setelah berhasil meyakinkan mereka bahwa ia dan para
biksuni itu melakukannya untuk membantu pihak pergerakan, pasangan suami-istri
Kuo amat bangga atas dirinya.
“Apakah
itu berarti nanti malam aku boleh keluar dari rumah ini secara terang-terangan,
tanpa harus menyelinap di belakang punggung Meadow?” tanya Peony pada kedua majikannya.
Pasangan
suami-istri Kuo tak dapat menjawab tidak.
Enam bulan kemudian, nama Serban Merah dikenal orang
mulai dari daerah sekitar Sungai Kuning sampai Sungai Yangtze.
Dengan nada rendah, baik orang-orang
Cina maupun Mongol mengungkapkan bahwa para biksuni yang mengenakan serban
merah itu dapat berjalan di atas air dan melayang di udara, dan pemimpin mereka
seorang gadis bertubuh tinggi besar yang namanya tidak jelas, namun mempunyai
kaki sebesar kaki kuli laki-laki.