Agatha Christie - Anjing Kematian #35



Misteri Guci Biru

JACK Hartington mengamati hasil pukulannya dengan kesal. Sambil berdiri di samping bola, ia menoleh ke titik awal, memukul bola dan mengukur jaraknya. Wajahnya menyiratkan perasaan jengkel dan muak yang dirasakannya. Sambil mendesah ia mengayunkan tongkat golfnya, membuat dua ayunan dahsyat yang memangkas sebatang dandelion dan sejumput rumput. Lalu ia memusatkan perhatian kembali pada bolanya.

      Berat rasanya menjadi pria muda berusia dua puluh empat tahun, yang ambisi satu-satunya dalam hidup ini adalah mengurangi handicap-nya dalam permainan golf, tapi juga harus memberikan waktu dan perhatiannya terhadap masalah mencari uang untuk hidup. Lima setengah hari dalam seminggu Jack terkungkung di kantornya, semacam ”kuburan” kayu mahoni di kota. Sabtu siang dan hari Minggu sepenuhnya disediakan untuk golf, dan didorong oleh semangatnya yang menggebu-gebu terhadap olahraga tersebut, ia menyewa kamar di sebuah hotel kecil di dekat lapangan golf Stourton Heath. Ia bangun jam enam pagi setiap hari, supaya bisa berlatih selama satu jam, sebelum mengejar kereta api pukul 08.46 ke kota.
      Satu-satunya masalah dalam jadwalnya ini adalah sepertinya ia tak bisa memukul dengan bagus pada jam sepagi itu. Pukulan-pukulannya selalu ngawur.
      Jack mendesah, memegang tongkat pemukulnya erat-erat, dan mengulangi kata-kata bertuah itu untuk dirinya sendiri, “Lengan kanan ayunkan lepas, dan jangan mengangkat muka.”
      Ia mengayunkan tongkatnya... lalu terhenti kaget saat sebuah jeritan nyaring memecahkan keheningan pagi musim panas itu.
      “Pembunuhan!” seru suara itu. “Tolong! Pembunuhan!” Suara itu suara wanita, dan akhirnya memudar menjadi semacam desahan terceguk.
      Jack melemparkan tongkatnya dan berlari ke arah suara tersebut. Asal suara itu sepertinya dari suatu tempat yang sangat dekat. Bagian lapangan ini masih sangat liar, dan hanya sedikit sekali rumah yang tersebar di sekitarnya. Malah sebenarnya hanya ada satu rumah di dekat situ, sebuah pondok kecil yang cantik, yang sering kali diperhatikan Jack, karena kesan halus masa lampau yang dipancarkannya. Ke pondok itulah ia berlari. Pondok itu tersembunyi darinya oleh sebuah lereng yang ditumbuhi tanaman heather. Jack memutar lereng itu, dan tidak sampai semenit ia sudah berdiri di depan pagar kecil yang digembok.
      Seorang gadis berdiri di kebun, dan sesaat Jack mengambil kesimpulan yang sangat wajar bahwa gadis itulah yang telah menjerit meminta tolong. Tapi ia cepat-cepat menyisihkan pikiran itu dari kepalanya.
      Gadis itu membawa sebuah keranjang kecil di tangannya, setengah terisi oleh rumput liar. Jelas ia baru saja menegakkan tubuh setelah membersihkan sepetak lebar bunga pansy. Jack memperhatikan bahwa kedua matanya juga seperti bunga pansi, halus, lembut, dan gelap, lebih berwarna ungu daripada biru. Sosoknya yang terbalut gaun linen ungu model lurus benar-benar membuat ia seperti bunga pansy.
      Gadis itu menatap Jack dengan ekspresi kesal bercampur kaget.
      “Maaf,” kata Jack. “Apa tadi Anda menjerit?”
      “Saya? Tidak sama sekali.” Rasa herannya tidak tampak dibuat-buat hingga Jack merasa bingung. Suaranya sangat lembut dan enak didengar, dengan aksen asing samar.
      “Tapi Anda pasti mendengarnya tadi,” seru Jack, “Asalnya dari suatu tempat di dekat-dekat sini.”
      Gadis itu melongo menatapnya. “Saya tidak mendengar apa-apa.”
      Sekarang giliran Jack melongo menatapnya. Sungguh mengherankan, gadis itu tidak mendengar suara meminta tolong tadi. Namun sikap tenangnya begitu nyata, hingga Jack tak percaya kalau gadis itu berbohong padanya.
      “Suara itu datang dari dekat-dekat sini,” Jack bersikeras.
      Sekarang gadis itu memandanginya dengan curiga. “Apa katanya?” tanyanya.
      “Pembunuhan... tolong! Pembunuhan!”
      “Pembunuhan... tolong! Pembunuhan!” ulang gadis itu. “Ada yang mempermainkan Anda rupanya, Monsieur. Siapa yang mungkin dibunuh di sini?”
      Jack memandang sekitarnya, dengan bayangan akan menemukan sesosok mayat di jalan setapak di kebun. Tapi ia masih sepenuhnya yakin bahwa jeritan yang didengarnya tadi benar-benar nyata, bukan sekadar imajinasinya. Ia memandang ke arah jendela-jendela pondok itu. Segalanya tampak begitu tenang dan damai.
      “Anda mau memeriksa rumah kami?” tanya gadis itu tanpa emosi.
      Sikapnya jelas sangat skeptis, hingga kebingungan Jack semakin bertambah. Ia membalikkan tubuh.  “Maaf,” katanya. “Jeritan itu pasti asalnya dari tempat yang lebih tinggi di hutan sana.” Ia mengangkat topi memberi hormat, dan berlalu dari situ. Ketika ia menoleh lagi, dilihatnya gadis itu sudah kembali meneruskan mencabuti rumput dengan tenangnya.
      Selama beberapa saat ia mencari-cari di dalam hutan. Tapi tidak menemukan tanda-tanda telah terjadi sesuatu yang tidak biasa. Namun ia masih tetap yakin bahwa tadi ia memang mendengar jeritan itu. Akhirnya ia berhenti mencari, dan lekas-lekas pulang untuk sarapan serta mengejar kereta pukul 08:46, yang satu-dua detik lagi akan datang. Ia agak terganggu oleh suara hatinya ketika duduk di kereta. Apakah mestinya ia segera melaporkan apa yang telah didengarnya itu kepada polisi? Ia tidak melapor semata-mata karena ekspresi heran gadis bunga pansy itu. Gadis itu jelas-jelas curiga. Ia hanya mengada-ada -- ada kemungkinan polisi pun berpikiran demikian. Apakah ia benar-benar yakin telah mendengar jeritan itu?
      Saat ini ia tidak lagi seyakin sebelumnya -- suatu akibat wajar, karena mencoba menangkap sensasi yang telah hilang. Apakah yang didengarnya itu sebenarnya suara burung di kejauhan, yang ia kira mirip dengan suara wanita?
      Namun ditepiskannya kemungkinan itu dengan marah. Suara itu memang suara wanita, dan ia mendengarnya. Ia ingat, ia melihat arlojinya tepat sebelum jeritan itu terdengar. Kemungkinan ia mendengar jeritan itu pada jam tujuh lewat dua puluh lima menit. Fakta ini barangkali berguna bagi polisi... kalau kelak mereka menemukan sesuatu.
      Malam itu, dalam perjalanan pulang, ia memeriksa surat kabar sore dengan harap-harap cemas, kalau-kalau ada berita tentang suatu tindak kejahatan. Tapi tidak ada apa-apa, dan ia tidak tahu pasti, apakah mesti merasa lega atau kecewa.

Keesokan paginya udara terasa basah-begitu basah, hingga pencinta golf nomor satu pun tidak bakal antusias untuk berlaga. Jack bangun selambat mungkin, makan sarapan cepat-cepat, lari mengejar kereta api, dan sekali lagi memeriksa surat kabar dengan penuh semangat. Masih tetap tidak ada berita apa pun tentang penemuan menghebohkan. Begitu pula halnya ketika ia memeriksa surat kabar sore.
      “Aneh,” pikir Jack, “tapi jeritan itu benar-benar kudengar. Kemungkinan cuma anak-anak kecil yang bermain bersama-sama di dalam hutan.”
      Ia keluar rumah pagi-pagi keesokan harinya. Ketika melewati pondok itu, dari sudut matanya ia melihat si gadis sudah ada di kebun lagi, sedang mencabuti rumput. Rupanya ini kebiasaannya.
      Jack melakukan pukulan pertama yang sangat bagus, dan berharap gadis itu memperhatikannya. Ketika hendak melakukan pukulan berikutnya, ia melihat arlojinya dulu. “Tepat jam tujuh lewat dua putuh lima menit,” gumamnya. “Aku ingin tahu...” Kalimatnya terhenti di bibir. Dari belakangnya terdengar jeritan yang sama, yang kemarin dulu begitu mengejutkannya. Jeritan seorang wanita yang sangat ketakutan.
      “Pembunuhan... tolong! Pembunuhan!”
      Jack berlari balik. Si gadis pansy sedang berdiri di dekat gerbang. Ia tampak terkejut, dan Jack lari menghampirinya dengan perasaan penuh kemenangan sambil berseru, “Kali ini Anda mendengarnya, kan?”
      Kedua mata gadis itu terbelalak, menyiratkan emosi yang tak bisa ditebak, namun Jack memperhatikan bahwa ia mundur ketika didekati, dan bahkan menoleh ke arah rumah, seolah-olah hendak berlari ke sana untuk mencari perlindungan.
      Ia menggelengkan kepala, terbelalak menatap Jack. “Saya tidak mendengar apa-apa,” katanya heran.
      Jack merasa seakan-akan gadis itu telah memukul bagian di antara kedua matanya. Keheranannya begitu nyata, hingga mustahil bagi Jack untuk tidak mempercayainya. Namun jeritan itu tak mungkin hanya imajinasinya belaka - tak mungkin – tak mungkin...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...