Agatha Christie - Anjing Kematian #18



Sang Gipsi

I

MACFARLANE sudah sering memerhatikan bahwa sahabatnya, Dickie Carpenter, punya perasaan tak suka yang aneh terhadap kaum gipsi. Ia tak pernah tahu alasannya. Namun ketika pertunangan Dickie dengan Esther Lawes putus, sesaat kedua laki-laki ini menjadi lebih dekat.

      Macfarlane telah bertunangan dengan Rachel, adik Esther selama kurang lebih setahun. Ia sudah mengenal kedua gadis bersaudara ini sejak masih kanak-kanak. Sebagai orang yang lamban dan selalu hati-hati dalam segala hal, ia semula enggan mengakui rasa tertariknya yang semakin meningkat terhadap diri Rachel, yang memiliki wajah kekanak-kanakan dan sepasang mata cokelat yang jujur. Memang Rachel tidak cantik seperti Esther, tapi ia jauh lebih tulus dan manis. Karena Dickie bertunangan dengan Esther, maka hubungan antara kedua laki-laki ini sepertinya menjadi lebih akrab.
      Dan sekarang, setelah beberapa minggu yang singkat, pertunangan itu pupus. Dickie yang sederhana sangat terpukul karenanya. Sejauh ini dalam usianya yang masih muda, segala sesuatu dalam hidupnya selalu lancar. Karirnya di Angkatan Laut sesuai sekali dengan dirinya. Kecintaannya pada laut sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada darah Viking yang primitif dan blak-blakan dalam dirinya, yang menyebabkan ia tidak menghargai kehalusan-kehalusan pikiran. Ia termasuk golongan pemuda Inggris yang tidak pandai bicara, yang tidak suka memperlihatkan emosi, dan merasa sangat sulit untuk menjelaskan apa-apa yang mereka rasakan dalam kata-kata.
      Macfarlane, orang Skot yang keras itu, yang memiliki imajinasi Celtic di dalam dirinya, mendengarkan sambil merokok, sementara sahabatnya berkutat mencari kata-kata. Ia sudah tahu Dickie ingin menceritakan sesuatu padanya. Tapi ia mengira bukan ini yang bakal disampaikan. Dickie sama sekali tidak menyebut-nyebut Esther Lawes. Ia hanya menceritakan kisah tentang ketakutan masa kecilnya.
      “Segalanya bermula dari mimpi yang kualami ketika masih kecil. Bukan mimpi buruk, sebenarnya. Perempuan itu - dia orang gipsi - suka muncul dalam setiap mimpi lamaku - bahkan dalam mimpi yang indah (atau setidaknya indah menurut ukuran anak kecil - mimpi tentang pesta, kembang api, dan semacamnya). Dalam mimpi itu biasanya aku sedang senang-senang, lalu aku merasa – aku tahu - bahwa kalau aku mengangkat wajah, perempuan itu akan ada di sana, berdiri seperti biasanya, mengamatiku... dengan sepasang mata sedih, seakan-akan dia memahami sesuatu yang tidak kumengerti... tak bisa kujelaskan, kenapa aku jadi sangat gelisah dibuatnya, tapi begitulah! Setiap kalinya! Aku akan terbangun sambil menjerit-jerit ketakutan, dan pengasuhku yang setia suka berkata, ’Nah, Master Dickie bermimpi lagi tentang orang gipsi’.”
      “Apa kau pernah merasa takut terhadap orang gipsi sungguhan?”
      “Baru beberapa waktu kemudian aku melihatnya. Peristiwanya juga aneh. Aku sedang mengejar anak anjingku yang kabur. Aku melewati pintu kebun, dan menyusuri salah satu jalan setapak di hutan. Waktu itu kami tinggal di New Forest. Di ujung jalan itu ada semacam tempat terbuka, dengan jembatan kayu melintasi sebuah sungal kecil. Dan persis di samping jembatan itu berdiri seorang perempuan gipsi - memakai saputangan merah di kepalanya – tepat seperti yang kulihat dalam mimpiku. Aku langsung ketakutan. Dia menatapku - tatapannya sama - seakan-akan dia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui, dan merasa kasihan padaku... lalu dia berkata dengan suara perlahan, sambil menganggukkan kepala padaku, ’Kalau aku jadi kau, aku tidak akan lewat sana.’ Entah kenapa, aku jadi ketakutan setengah mati. Aku lari melewatinya, menuju jembatan. Tapi rupanya jembatan itu sudah lapuk, sebab dia roboh dan aku jatuh ke sungai. Aliran sungai itu cukup deras, dan aku hampir tenggelam. Ngeri sekali rasanya, hampir tenggelam seperti itu. Aku tak pernah melupakannya. Dan aku merasa semua itu gara-gara perempuan gipsi tersebut...”
      “Tapi sebenarnya, kan, dia memperingatkanmu supaya tidak lewat jembatan itu?”
      “Bisa dibilang begitu.” Dickie diam sejenak, lalu melanjutkan, “Aku menceritakan mimpi ini padamu bukan karena mimpi itu ada kaitannya dengan apa yang terjadi kemudian (setidaknya, kurasa tidak ada kaitannya). Tapi karena itulah pemicunya. Sekarang kau mengerti, kan, apa yang kumaksud dengan ’perasaan ngeri pada gipsi?’ Nah, akan kulanjutkan dengan malam pertama di rumah keluarga Lawes. Waktu itu aku baru saja kembali dari daerah pantai barat. Senang sekali rasanya berada di Inggris lagi. Keluarga Lawes adalah teman-teman lama keluargaku.
      Aku tidak pernah bertemu lagi dengan kedua gadis keluarga itu sejak aku berumur sekitar tujuh tahun, tapi Arthur adalah sahabat baikku. Setelah dia meninggal, Esther suka menulis surat padaku dan mengirimiku surat kabar. Bagus sekali surat-surat yang ditulisnya! Sangat membangkitkan semangatku. Aku menyesali, kenapa aku tidak bisa balas menulis surat yang bagus untuknya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aneh rasanya, mengenal baik seorang gadis cuma dari surat-suratnya, tanpa pernah bertemu.
      Nah, maka begitu pulang aku langsung pergi ke rumah keluarga Lawes. Esther sedang pergi ketika aku datang, tapi akan kembali malam itu. Aku duduk di samping Rachel saat makan malam, dan ketika aku memandang ke ujung meja panjang itu suatu perasaan aneh menyelimutiku. Aku merasa seseorang sedang mengawasiku, dan aku jadi merasa tidak nyaman. Lalu aku melihat wanita itu...”
      “Melihat siapa?”
      “Mrs. Haworth - wanita yang kuceritakan padamu itu.”
      Macfarlane hampir-hampir berkata. “Tadi kupikir kau sedang bercerita tentang Esther Lawes.” Tapi ia diam saja, dan Dickie melanjutkan.
      “Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat dia sangat berbeda dari yang lainnya. Dia duduk di samping Mr. Lawes – mendengarkan dengan sangat serius, kepalanya tertunduk. Dia memakai semacam syal merah dari bahan tulle di lehernya. Syal itu sudah sobek kurasa; pokoknya syal itu tegak di belakang kepalanya, seperti lidah api kecil... Aku berkata pada Rachel, ’Siapa wanita di sana itu? Yang berkulit gelap, dengan syal merah di lehernya?’
      ’Maksudmu Alistair Haworth? Dia memang memakai syal merah. Tapi kulitnya terang. Sangat terang.’
      “Dan temyata benar. Rambutnya berwarna kuning pucat keemasan yang indah. Tapi aku berani sumpah dia berkulit gelap tadi. Aneh sekali, betapa mata bisa menipu... setelah makan malam, Rachel memperkenalkan kami dan kami berjalan-jalan di kebun. Kami bercakap-cakap tentang reinkarnasi...”
      “Topik yang agak tidak biasa untukmu, Dickie.”
      “Memang. Aku ingat, aku berkata reinkarnasi tampaknya merupakan alasan yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa kadang kita merasa sudah kenal lama pada seseorang - seolah-olah kita pernah bertemu dengan mereka. Lalu dia berkata, ’Maksud Anda pasangan kekasih...’ Ada yang aneh dalam cara dia mengatakannya - nadanya lembut dan antusias. Mengingatkanku pada sesuatu, tapi entah apa. Kami melanjutkan bercakap-cakap, lalu Mr. Lawes memanggil dari teras. Katanya Esther sudah datang dan ingin menemuiku. Mrs. Haworth menaruh satu tangannya di lenganku dan berkata, ’Anda akan masuk?’ ’Ya,’ sahutku. ’Kurasa sebaiknya kita,’ lalu... lalu...”
      “Lalu apa?”
      “Kedengarannya konyol sekali. Mrs. Haworth berkata, ’Kalau aku jadi Anda, aku tidak akan masuk ke dalam...’.” Dickie diam sejenak. “Aku jadi ketakutan. Amat sangat ketakutan. Itu sebabnya aku menceritakan tentang mimpiku itu padamu... sebab dia mengatakannya dengan cara yang persis sama dengan sungguh-sungguh, seakan-akan dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Saat itu dia bukan sekadar wanita cantik yang ingin aku tetap berada di kebun bersamanya. Suaranya bernada ramah… dan sangat iba. Sepertinya dia tahu apa yang bakal terjadi... Kurasa apa yang kulakukan selanjutnya sangat kasar, tapi aku langsung berbalik dan meninggalkannya hampir-hampir lari ke dalam rumah. Sepertinya rumah itu menawarkan rasa aman bagiku. Saat itulah kusadari bahwa aku takut padanya sejak semula. Aku lega sekali bertemu dengan Mr. Lawes. Esther ada bersamanya...” Dickie ragu-ragu sejenak, lalu bergumam agak tidak jelas, “Jelas sudah... begitu melihatnya, aku tahu aku terpikat.”
      Pikiran Macfarlane dengan cepat beralih pada Esther Lawes. Ia pernah mendengar Esther digambarkan sebagai Kesempurnaan Yahudi setinggi enam kaki. Gambaran yang pintar, pikirnya, sambil teringat tinggi badan Esther yang tidak biasa, kerampingan tubuhnya, wajahnya yang seputih pualam, dengan hidung berbentuk halus, serta mata dan rambutnya yang hitam indah. Ya, ia tidak heran kalau Dickie yang sederhana ini jadi terpikat. Ia sendiri tidak akan pernah bisa berdebar-debar melihat Esther, tapi ia mengakui pesona penampilan gadis itu.
      “Lalu kami bertunangan,” Dickie melanjutkan.
      “Langsung?”
      “Yah, setelah sekitar satu minggu. Dua minggu kemudian, dia baru menyadari bahwa dia sama sekali tidak mencintaiku...” Dickie tertawa pahit.
      “Hari itu malam terakhir sebelum aku kembali ke kapal. Aku pulang dari desa melalui hutan - dan saat itulah aku melihatnya - Mrs. Haworth, maksudku. Dia mengenakan topi merah, dan - sebentar... aku terperanjat! Aku sudah menceritakan mimpiku, jadi kau tentu mengerti... lalu kami berjalan bersama sedikit. Bukan berarti kami ingin merahasiakan apa-apa dari Esther... “
      “O, ya?” Macfarlane menatap sahabatnya itu dengan heran. Aneh, orang suka menceritakan hal-hal yang mereka sendiri tidak menyadarinya!
      “Lalu, ketika aku berbalik untuk kembali ke rumah, dia menghentikanku. Katanya, “Tak lama lagi kau tiba di rumah. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan cepat-cepat kembali... lalu tahulah aku... bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan menungguku... dan... begitu aku pulang, Esther mendatangiku dan mengatakan... bahwa dia ternyata tidak mencintaiku...”
      Macfarlane bergumam simpati. “Dan Mrs. Haworth?” tanyanya.
      “Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya... sampai malam ini.”
      “Malam ini?”
      “Ya. Di panti perawatan Dokter Johnny. Mereka memeriksa kakiku yang terluka gara-gara torpedo itu. Aku agak cemas belakangan ini. Si dokter menyarankan aku dioperasi - cuma operasi kecil. Saat keluar dari sana, aku bertumbukan dengan seorang gadis yang mengenakan celemek merah menutupi seragam perawatnya dan dia berkata, ’Kalau aku jadi kau, aku tidak akan menjalani operasi itu...’ Lalu kulihat ternyata gadis itu, Mrs. Haworth. Dia lewat begitu cepat sampai-sampai aku tak sempat menghentikannya. Aku berpapasan dengan perawat lain, dan kutanyakan tentangnya. Tapi kata perawat itu tidak ada suster bernama Haworth.. Aneh...”
      “Kau yakin itu memang dia?”
      “Ya. Dia sangat cantik...” Dickie diam sejenak, kemudian menambahkan, “Aku tentu saja akan menjalani operasi itu, tapi... tapi seandainya aku mesti mati...”
      “Omong kosong.”
      “Memang omong kosong. Tapi pokoknya aku senang sudah menceritakan padamu tentang masalah orang gipsi ini... sebenarnya masih ada lagi kalau saja aku bisa mengingatnya...”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...