Agatha Christie - Anjing Kematian #22



Lampu


RUMAH itu jelas sebuah rumah tua. Lingkungan sekitarnya pun tua, dengan kesan ”lama” berwibawa yang angkuh, seperti sering dijumpai di sebuah kota katedral. Tapi rumah No. 19 memberi kesan lebih tua di antara yang tua; rumah itu menampilkan keseriusan patriarkal yang sangat menonjol; bangunannya menjulang paling kelabu di antara yang kelabu, paling angkuh dari yang angkuh, paling dingin dari yang dingin. Tenang menciutkan, dan menampilkan kesan sunyi yang umum melekat pada rumah-rumah yang sudah lama tidak dihuni, rumah itu mendominasi rumah-rumah lainnya.

      Di kota lain, rumah itu pasti akan diberi label ”berhantu”. Namun di Weyminster hantu-hantu dianggap tabu, dan sama sekali tidak pantas disebutkan, kecuali kalau berkaitan dengan sebuah ”keluarga terhormat di desa.” Maka No. 19 tak pernah disebut-sebut sebagai rumah berhantu, namun tahun demi tahun rumah itu tetap belum laku disewa ataupun dijual.
      Mrs. Lancaster memandangi rumah itu dengan perasaan senang. Saat ia tiba bersama agen rumah yang cerewet itu. Si agen lebih ceria daripada biasanya, membayangkan kali ini ia berkesempatan menyingkirkan rumah No. 19 ini dari daftarnya. Sambil memasukkan kunci ke lubang pintu, ia tak juga berhenti mencelotehkan pujian-pujiannya atas rumah tersebut.
      “Sudah berapa lama rumah ini tak berpenghuni?” tanya Mrs. Lancaster, memotong celotehan si agen dengan agak ketus.
      Mr. Raddish (dari Raddish and Foplow) menjadi agak bingung. “Eh... eh... sudah beberapa lama,” sahutnya dengan halus.
      “Sudah saya duga,” kata Mrs. Lancaster dengan nada biasa.
      Lorong yang diterangi cahaya remang-remang terasa dingin, dengan aura tak menyenangkan. Wanita yang lebih imajinatif mungkin akan merinding, tapi Mrs. Lancaster kebetulan orang yang sangat praktis. Ia bertubuh jangkung, dengan rambut cokelat tebal yang sudah sedikit kelabu, dan sepasang mata biru yang agak dingin.
      Ia memeriksa rumah itu dari loteng hingga ke ruang bawah tanahnya. Sesekali mengajukan pertanyaan yang relevan. Selesai memeriksa, ia kembali ke salah satu ruang depan yang menghadap ke jalan, dan menatap sang agen dengan sikap tegas.
      “Ada apa dengan rumah ini?”
      Mr. Raddish terperanjat oleh pertanyaan itu.
      “Rumah tanpa perabotan memang selalu berkesan agak suram,” sahutnya dengan tidak meyakinkan.
      “Omong kosong,” kata Mrs. Lancaster. “Sewanya terlalu murah untuk rumah semacam ini. Benar-benar murah. Pasti ada sebabnya. Saya rasa rumah ini berhantu?”
      Mr. Raddish agak tersentak, tapi tidak mengatakan apa-apa.
      Mrs. Lancaster memandanginya dengan tajam. Beberapa saat kemudian, ia kembali bicara. “Tentu saja semua itu cuma omong kosong. Saya tidak percaya pada hantu dan semacamnya. Dan terus terang, itu tidak akan menghalangi saya untuk menyewa rumah ini: tapi sayangnya para pelayan mudah percaya pada cerita-cerita semacam itu, dan gampang sekali ketakutan. Saya mohon Anda menceritakan pada saya, apa adanya... apa sebenarnya yang menghantui tempat ini.”
      “Saya... eh... saya benar-benar tidak tahu,” si agen rumah menjawab terbata-bata.
      “Saya yakin Anda tahu.” kata Mrs. Lancaster dengan suara pelan. “Saya tidak bisa menyewa rumah ini tanpa mengetahui kisahnya. Ada peristiwa apa dulu di sini? Pembunuhan?”
      “Oh! Bukan,” seru Mr. Raddish, yang sangat terkejut mendengar hal seperti itu dituduhkan pada lingkungan terhormat ini. “Rumah ini... cuma... ada anak kecilnya.”
      “Anak kecil?”
      “Ya.”
      “Saya tidak tahu persis ceritanya,” ia melanjutkan dengan enggan. “Banyak versi cerita yang beredar, tapi saya dengar sekitar tiga puluh tahun yang lalu seorang laki-laki bernama Williams tinggal di No. 19 ini. Tidak ada yang tahu asal-usulnya; dia tidak punya pelayan, tidak punya teman dan jarang keluar rumah pada siang hari. Dia punya seorang anak laki-laki. Setelah tinggal di rumah ini sekitar dua bulan, dia berangkat ke London. Belum lama berada di kota itu, dia dikenali sebagai orang yang ’dicari-cari’ oleh polisi, untuk tuduhan tertentu, entah apa persisnya, saya tidak tahu. Tapi pasti tuduhan yang ditimpakan padanya berat, sebab dia memilih menembak dirinya sendiri daripada menyerahkan diri. Sementara itu, anaknya masih tinggal di rumah ini, sendirian. Untuk sementara, dia masih punya makanan. Hari demi hari dia menunggu ayahnya kembali. Sialnya, dia sudah diajari untuk tidak boleh keluar rumah atau bicara dengan siapa pun, dalam keadaan apa pun. Anak itu lemah, sakit-sakitan dan kecil sekali, dan dia tidak berani melanggar perintah ayahnya itu. Di malam hari, para tetangga yang tidak tahu ayahnya sudah pergi, sering mendengar si anak terisak-isak di rumah kosong yang sunyi dan hampa ini.”
      Mr. Raddish diam sejenak
      “Dan... eh... anak itu akhirnya mati kelaparan,” ia mengakhiri ceritanya dengan nada yang sama seperti kalau hendak mengatakan bahwa hujan baru saja turun.
      “Dan menurut cerita, hantu anak itulah yang menghantui rumah ini?” tanya Mrs. Lancaster.
      “Tapi itu tidak penting,” Mr. Raddish lekas-lekas meyakinkan Mrs. Lancaster. “Belum pernah ada yang melihat apa pun, cuma omongan orang saja; konyol memang, tapi mereka bilang mereka suka mendengar... anak itu... menangis.”
      Mrs. Lancaster beranjak ke arah pintu depan. “Saya sangat menyukai rumah ini.” katanya. “Dan sewanya pun murah sekali. Saya akan pikir-pikir dulu. Nanti saya akan memberi kabar pada Anda.”'
     
“Sekarang sudah kelihatan ceria, bukan, Papa?”
      Mrs. Lancaster memandangi rumah barunya dengan senang. Keset-keset berwarna cerah, perabot yang dipoles mengilap, dan banyak pernak-pernik lainnya, telah sangat mengubah kesan suram di rumah No. 19 ini.
      Yang diajak bicara olehnya adalah seorang laki-laki tua kurus dan bungkuk, dengan bahu landai serta wajah halus berkesan mistis. Mr. Winburn sama sekali tidak mirip dengan anak perempuannya ini.
      Rasanya tak ada yang lebih kontras daripada sifat tegas dan praktis Mrs. Lancaster dengan sifat pemimpin ayahnya itu.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...