Agatha Christie - Anjing Kematian #53



“Kurasa dia akan datang,” kata Raoul. “Jammu agak kecepatan, Simone.”
      Simone mondar-mandir di ruangan tersebut, membereskan ini dan itu. “Aku penasaran, siapa Madame Exe ini?” katanya. “Dari mana asalnya, siapa keluarganya? Aneh bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang dirinya.”

      Raoul angkat bahu. “Kebanyakan orang tak ingin identitasnya diketahui, kalau mungkin, saat mengunjungi medium,” katanya. “Itu sudah sikap hati-hati paling mendasar.”
      “Benar juga,” Simone menyetujui tanpa semangat.
      Vas porselen kecil yang tengah dipegangnya terlepas, dan pecah berkeping-keping di lantai perapian. Ia berbalik dengan tajam pada Raoul. “Kaulihat,” gumamnya. “Aku bukan diriku sendiri. Raoul, menurutmu apakah aku akan sangat... sangat pengecut kalau kukatakan pada Madame Exe bahwa aku tak bisa menemuinya hari ini?”
      Ekspresi tercengang di wajah Raoul membuat ia tersipu malu. “Kau sudah berjanji, Simone...,” kata Raoul dengan lembut.
      Simone mundur hingga terhalang dinding. “Aku tidak mau melakukannya, Raoul. Aku tidak mau.” Namun sekali lagi sorot lembut di mata Raoul yang menyiratkan teguran membuatnya tercekat.
      “Bukan masalah bayarannya yang kupikirkan, Simone, walau tentunya kau menyadari bahwa jumlah uang yang ditawarkan wanita ini untuk pemanggilan terakhirnya sangat besar – amat sangat besar.”
      Simone menyela dengan menantang. “Ada hal-hal yang lebih penting daripada uang.”
      “Memang,” Raoul menyetujui dengan hangat .”Justru itu yang kumaksud. Coba pertimbangkan, wanita ini seorang ibu, seorang ibu yang telah kehilangan anak satu-satunya. Kalau kau tidak benar-benar sakit, kalau kau hanya enggan - bolehlah kau menolak sekadar seorang wanita kaya, tapi tegakah kau menolak seorang ibu yang ingin melihat anaknya untuk terakhir kali?”
      Sang medium mengibaskan kedua tangannya dengan putus asa di depannya. “Oh, kau menyiksaku,” gumamnya. “Tapi kau memang benar. Aku akan menuruti keinginanmu, tapi sekarang aku tahu apa yang kutakuti - kata ’ibu’ itu.”
      “Simone!”
      “Ada kekuatan-kekuatan elementer primitif tertentu, Raoul. Sebagian besar dari mereka sudah dihancurkan oleh peradaban, tapi insting sebagai ibu masih tetap tidak mengalami perubahan, seperti pada permulaan zaman. Binatang - manusia, mereka semua sama. Cinta seorang ibu terhadap anaknya tak ada bandingannya di dunia ini. Cinta itu tidak mengenal hukum atau belas kasihan, berani menantang segalanya dan menghancurkan tanpa ampun segala sesuatu yang menghalangi jalannya.” Ia terdiam, terengah-engah sejenak, kemudian berbalik pada Raoul dengan seulas senyuman singkat yang memikat. “Hari ini aku konyol sekali, Raoul. Aku tahu itu.”
      Raoul meraih tangannya. “Berbaringlah sejenak,” katanya. “Istirahat sampai dia datang.”
      “Baiklah.” Simone tersenyum padanya, kemudian keluar dari ruangan tersebut.
      Raoul masih terhanyut dalam pikirannya sendiri selama beberapa saat, kemudian ia beranjak ke pintu, membukanya, dan melintasi lorong yang kecil. Ia pergi ke ruangan di sebelah, sebuah ruang duduk yang sangat mirip dengan ruangan yang baru saja ditinggalkannya, namun di salah satu ujung ruangan ini ada sebuah sudut kecil dengan kursi besar berlengan. Tirai-tirai beledu hitam yang berat dipasang untuk menutupi sudut tersebut. Elise sedang sibuk di situ. Dekat sudut itu ia sudah menyiapkan dua buah kursi dan sebuah meja bundar kecil. Di meja itu ada sebuah gendering, sebuah terompet, serta kertas dan beberapa batang pensil.
      “Terakhir kali,” gumam Elise dengan perasaan puas. “Ah, Monsieur, saya harap semua urusan ini segera selesai.”
      Terdengar denting bel nyaring.
      “Dia sudah datang, perempuan bertubuh besar itu,” Elise melanjutkan. “Kenapa dia tidak berdoa baik-baik saja di gereja untuk jiwa anak tersayangnya, dan memasang lilin untuk Perawan Maria? Bukankah Tuhan yang baik tahu apa yang terbaik bagi kita?”
      “Bukakan pintu, Elise,” kata Raoul dengan tegas.
      Elise menatap tak senang, namun mematuhi perintahnya. Tak lama kemudian ia masuk kembali bersama sang tamu.
      “Akan saya beritahu nyonya saya bahwa Anda sudah tiba, Madame.”
      Raoul maju untuk berjabat tangan dengan Madame Exe. Kata-kata Simone kembali terngiang dalam benaknya. ”Begitu besar dan hitam.”
      Wanita itu memang besar, dan gaun berkabungnya yang berat tampak begitu berlebihan pada sosoknya. Ketika ia berbicara, suaranya pun sangat berat.
      “Saya khawatir saya agak terlambat, Monsieur.”
      “Hanya terlambat sedikit,” kata Raoul sambil tersenyum. “Madame Simone sedang beristirahat. Dengan menyesal saya beritahu Anda. bahwa dia jauh dari sehat, dia sangat gugup dan tegang."
      Madame Exe, yang baru saja melepaskan genggaman tangan Raoul, sekonyong-konyong menggenggamnya kembali dengan erat. “Tapi dia bersedia mengadakan pemanggilan?” tuntutnya dengan tajam.
      “Oh, tentu, Madame.”
      Madame Exe mendesah lega, lalu mengempaskan diri di salah satu kursi sambil melonggarkan salah satu cadar hitam berat yang menutupi wajahnya.
      “Ah. Monsieur,” gumamnya, “Anda takkan bisa membayangkan, Anda takkan bisa menghayati keajaiban dan kebahagiaan yang saya rasakan dari pemanggilan-pemanggilan ini! Anakku tersayang! Amelie-ku! Bisa melihatnya, mendengar suaranya bahkan – barangkali - ya, bahkan bisa... mengulurkan tangan dan menyentuhnya.”
      Raoul seketika berkata dengan tegas. “Madame Exe... bagaimana saya bisa menjelaskan ini pada Anda? Anda sama sekali tak boleh melakukan apa pun, keeuali di bawah pengarahan langsung saya. Kalau tidak, akan sangat berbahaya.”
      “Berbahaya bagi saya?”
      “Bukan, Madame,” kata Raoul, “bagi sang medium. Anda mesti mengerti, bahwa fenomena yang terjadi ini bisa dijelaskan oleh Ilmu Pengetahuan dengan cara tertentu. Saya akan menjelaskannya dengan sangat sederhana, tanpa menggunakan istilah-istilah teknis. Sebuah roh, untuk memanifestasikan dirinya, mesti mengunakan substansi fisik sesungguhnya dari sang medium. Anda telah melihat uap asap yang keluar dari bibir sang medium. Uap ini akhirnya membeku dan membentuk diri menjadi sosok fisik roh yang sudah mati itu. Tapi ektoplasma ini kami yakini sebagai substansi aktual sang medium. Kami berharap bisa membuktikan ini suatu hari nanti, melalui pengujian dan penelitian saksama – namun kesulitan terbesarnya adalah bahaya dan rasa sakit yang dialami sang medium saat menjalani fenomena tersebut. Kalau ada yang memegang materialisasi itu dengan kasar, sang medium akan mati.”
      Madame Exe mendengarkan dengan penuh perhatian “Penjelasan itu sangat menarik, Monsieur. Coba katakan, suatu saat nanti, mungkinkah materialisasi itu berkembang begitu jauh hingga sanggup melepaskan diri dari induknya, sang medium?”
      “Itu spekulasi yang fantastis, Madame.”
      Madame Exe mendesak ingin tahu. “Tapi bukan tidak mungkin, kalau melihat fakta-faktanya?”
      “Pada masa ini sangat tidak mungkin.”
      “Tapi barangkali di masa depan?”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...