Raoul
tak perlu menjawab kali ini, sebab pada saat itu Simone masuk. Ia tampak lemah
dan pucat, namun jelas telah berhasil mengendalikan diri sepenuhnya. Ia
menjabat tangan Madame Exe, walau Raoul melihat tubuhnya agak gemetar saat
berjabat tangan itu.
“Saya ikut simpati, Madame, mendengar Anda
kurang sehat,” kata Madame Exe.
“Tidak apa-apa,” kata Simone dengan agak
ketus. “Bisa kita mulai sekarang?”
Ia beranjak ke sudut kecil itu, dan duduk
di kursi berlengan. Sekonyong-konyong kali ini Raoul-lah yang dihinggapi gelombang
rasa takut.
“Kau tidak begitu sehat,” serunya. “Sebaiknya
kita batalkan saja pemanggilan ini. Madame Exe pasti mau mengerti.”
“Monsieur!” Madame Exe bangkit berdiri
dengan marah.
“'Ya, ya, sebaiknya dibatalkan saja, saya
yakin itu.”
“Madame Simone sudah menjanjikan
pemanggilan terakhir pada saya.”
“Memang benar,” kata Simone dengan suara
pelan, “dan saya siap memenuhi janji saya.”
“Saya berpegang pada janji Anda, Madame,”
kata Madame Exe.
“Saya tidak akan ingkar janji,” sahut Simone
dengan nada dingin. “Tak usah takut, Raoul,” tambahnya dengan lembut. “Toh ini
untuk terakhir kali - terakhir kali, syukurlah.”
Setelah ia memberi tanda, Raoul pun
memasang tirai hitam yang berat itu menutupi sudut tersebut. Ia juga menarik
tirai-tirai jendela, sehingga ruangan itu setengah gelap. Ia menyuruh Madame Exe
duduk di salah satu kursi, dan ia sendiri bersiap-siap duduk di kursi satunya.
Namun Madame Exe tampak ragu-ragu.
“Maafkan saya, Monsieur, tapi... Anda
tentunya mengerti bahwa saya percaya sepenuhnya akan integritas Anda dan Madame
Simone. Tapi agar kesaksian saya jadi lebih berharga, maafkan kalau saya
lancang membawa ini.” Dari tas tangannya ia mengeluarkan seutas tali tipis.
“Madame!” teriak Raoul. “Ini penghinaan!”
“Cuma untuk berjaga-jaga.”
“Saya ulangi, ini penghinaan.”
“Saya tidak mengerti keberatan Anda,
Monsieur,” kata Madame Exe dengan dingin. “Kalau memang tidak ada tipuan,
seharusnya Anda tak perlu takut.”
Raoul tertawa mencemooh. “Bisa saya
yakinkan Anda bahwa saya sama sekali tidak takut Madame. Ikat saja tangan dan
kaki saya, kalau itu yang Anda inginkan.”
Ucapannya tidak memberikan efek yang
diharapkannya, sebab Madame Exe hanya bergumam tanpa emosi, “Terima kasih,
Monsieur.” Lalu ia mendekati Raoul dengan gulungan talinya itu.
Sekonyong-konyong Simone berseru dari
balik tirai. “Tidak, tidak, Raoul, jangan biarkan dia berbuat begitu.”
Madame Exe tertawa tajam. “Madame takut
rupanya,” katanya dengan sarkastis.
“Ya, saya takut.”
“Ingat apa katamu Simone,” seru Raoul. “Madame
Exe rupanya mengira kita hanya menipu.”
“Saya mesti memastikan,” kata Madame Exe
dengan nada jahat. Ia melakukan tugasnya dengan cekatan. Mengikat Raoul erat-erat
di kursinya.
“Saya mesti mengacungkan jempol untuk
ikatan-ikatan ini, Madame,” kata Raoul dengan nada ironis, setelah Madame Exe
selesai mengikatnya. “Anda puas sekarang?”
Madame Exe tidak menjawab. Ia mengitari
ruangan itu, memeriksa panel dinding dengan saksama. Kemudian ia mengunci pintu
yang menuju lorong, mengambil kuncinya, dan baru kembali ke kursinya.
“Sekarang saya siap,” katanya dengan suara
yang entah menyimpan apa.
Menit-menit berlalu. Dari balik tirai,
suara napas Simone terdengar semakin berat dan keras. Kemudian suara napas itu menghilang
sepenuhnya, digantikan oleh serangkaian erangan. Setelah itu hening sejenak,
hanya diselingi oleh tabuhan genderang yang terdengar tiba-tiba. Terompet
diangkat dari meja dan jatuh ke lantai. Terdengar tawa ironis. Tirai-tirai
sudut tempat Simone berada seperti terangkat sedikit, dan sosok sang medium
tampak dari bukaan tersebut, kepalanya terkulai ke dadanya. Sekonyong-konyong Madame
Exe menarik napas dengan tajam. Sebuah aliran pita uap keluar dari mulut sang
medium. Uap itu memadat, dan lambat-laun mulai mengambil bentuk - menjadi sosok
seorang gadis kecil.
“Amelie! Amelie-ku tersayang!”
Bisikan serak itu keluar dari mulut Madame
Exe. Sosok samar-samar itu semakin memadat. Raoul terpaku, hampir-hampir tak percaya.
Belum pernah ada materialisasi yang lebih menakjubkan daripada yang satu ini.
Sosok itu benar-benar seorang anak sungguhan, anak manusia dari darah dan
daging, berdiri di sana.
“Mama!” Suara halus kekanak-kanakan itu
berbicara.
“Anakku!” seru Madame Exe. “Anakku!”
Ia setengah bangkit dari kursinya.
“Hati-hati, Madame,” Raoul berseru memperingatkan.
Materialisasi itu maju dengan ragu-ragu
menembus tirai. Seorang anak kecil. Ia berdiri di sana, dengan kedua lengan diulurkan.
“Mama!”
“Ah!” seru Madame Exe. Ia kembali setengah
bangkit dari kursinya.
“Madame,” seru Raoul dengan panik, “sang
medium...”
“Aku harus menyentuhnya,” seru Madame Exe
dengan suara serak. Ia maju selangkah.
“Demi Tuhan, Madame, kendalikan diri
Anda,” seru Raoul. Sekarang ia benar-benar panik.
“Duduklah!”
“Anakku, aku harus menyentuhnya.”
“Madame, saya perintahkan, duduk!” Ia
bergerak-gerak putus asa dalam ikatannya. Tapi Madame Exe telah mengikatnya
dengan baik, ia benar-benar tak berdaya. Perasaan ngeri meliputi dirinya.
Membayangkan malapetaka yang bakal menimpa. “Dengan nama Tuhan, Madame,
duduklah!” ia berteriak. “Ingat nasib sang medium!”
Madame Exe menoleh kepadanya dengan tawa
kasar. “Apa peduliku dengan medium Anda itu?” serunya. “Aku ingin anakku.”
“Kau sinting!”
“Anakku. Anakku! Anakku sendiri! Darah
dagingku sendiri! Anakku yang kembali dari dunia orang mati, hidup dan
bernapas.”
Raoul membuka mulutnya, tapi tak ada
kata-kata yang keluar. Wanita ini sungguh mengerikan. Tak punya nurani, liar,
terhanyut oleh emosinya sendiri. Sepasang bibir anak kecil itu merekah, dan untuk
ketiga kalinya kembali terdengar suaranya.
“Mama!”
“Kemarilah, anakku,” seru Madame Exe. Dengan satu gerakan cepat
ia meraih anak itu ke dalam pelukannya. Dari balik tirai terdengar jeritan
kesakitan yang panjang.