Agatha Christie - Anjing Kematian #52



Simone menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. “Ya, Raoul, kau benar. Memang itulah yang kubutuhkan, istirahat dan ketenangan.”
      Ia memejamkan mata dan bersandar sedikit di lengan Raoul.

      “Dan kebahagiaan,” gumam Raoul di telinganya.
      Ia merengkuh Simone lebih dekat. Simone menarik napas panjang. Kedua matanya masih tetap terpejam.
      “Ya,” gumamnya, “ya. Kalau kau memelukku, aku merasa aman. Aku lupa akan kehidupanku – kehidupan mengerikan – sebagai medium. Kau tahu banyak, Raoul, tapi bahkan kau pun tidak memahami keseluruhannya.”
      Raoul merasa tubuh Simone menjadi kaku dalam pelukannya. Kedua mata Simone kembali membuka, menatap terpaku ke depan.
      “Duduk di ruang kecil dalam gelap, menunggu, dan kegelapan itu sangat mengerikan Raoul, sebab kegelapan itu adalah kegelapan yang kosong, hampa. Dan dengan sengaja kubiarkan diriku terhanyut di dalamnya. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi, tidak merasakan apa-apa lagi, namun akhirnya datanglah proses kembali yang pelan dan menyakitkan itu, terbangun dari tidur, namun begitu lelah... amat sangat lelah.”
      “Aku tahu,” gumam Raoul, “aku tahu.”
      “Begitu lelah,” gumam Simone lagi. Seluruh tubuhnya seakan terkulai saat ia mengulangi kata-kata itu.
      “Tapi kau sangat luar biasa, Simone.”
      Raoul meraih kedua tangan Simone, mencoba mendorongnya untuk ikut merasakan kegembiraannya. “Kau begitu unik... medium paling hebat yang pernah dikenal dunia.”
      Simone menggelengkan kepala, tersenyum sedikit mendengar kata-kata Raoul ltu.
      “Ya, ya” Raoul bersikeras. Ia mengambil dua pucuk surat dari sakunya. “Lihat ini, dari Profesor Roche dari Salpetriere dan yang satu ini dari Dr. Genir di Nancy, keduanya meminta agar kau mau terus memberikan jasamu pada mereka sesekali.”
      “Ah, tidak!”  Simone bangkit berdiri. “Aku tidak mau, aku tidak mau. Semuanya sudah selesai... sudah selesai. Kau sudah berjanji padaku, Raoul.”
      Raoul menatapnya dengan heran, sementara Simone berdiri limbung, menghadap ke arahnya, hampir-hampir seperti makhluk yang terpojok. Raoul bangkit dan meraih tangan wanita itu.
      “Ya, ya,” katanya. “Memang tidak akan lagi, kita mengerti itu. Tapi aku begitu bangga terhadap dirimu, Simone. Itu sebabnya aku menyebutkan tentang surat-surat itu.”
      Simone meliriknya dengan tatapan curiga. “Jadi, bukan karena kau ingin aku memberikan jasa memanggil roh lagi?”
      “Tidak, tidak,” kata Raoul, “kecuali barangkali kau sendiri memang ingin melakukannya, hanya sesekali, untuk teman-teman lama ini...”
      Namun Simone sudah menyela ucapannya dengan menggebu-gebu.
      “Tidak, tidak akan pernah lagi. Ada bahaya mengintai. Sungguh, aku bisa merasakannya, bahaya besar.” Ia menangkupkan kedua tangannya di dahi sejenak, kemudian beranjak ke jendela. “Berjanjilah, kau tak perlu melakukannya lagi,” katanya dengan suara lebih pelan, sambil menoleh.
      Raoul mengikutinya dan merangkul kedua bahunya. “Sayangku,” katanya dengan lembut, “aku janji, setelah hari ini, kau tidak akan pernah mengadakan pemanggilan arwah lagi.” Ia bisa merasakan keterkejutan Simone.
      “Hari ini,” gumam Simone. “Ah, ya... aku hampir lupa pada Madame Exe.”
      Raoul melihat arlojinya. “Dia bisa datang setiap saat; tapi, barangkali, Simone, kalau kau merasa tidak enak badan...”
      Simone sepertinya hampir-hampir tidak mendengarkan ucapan Raoul. Wanita itu sibuk dengan pikirannya sendiri.
      “Dia... wanita yang aneh, Raoul, wanita yang sangat aneh. Kau tahu, aku... aku hampir-hampir merasa ngeri terhadapnya.”
      “Simone!” Suara Raoul bernada tak setuju, dan Simone bisa merasakannya.
      “Ya, ya, aku tahu, kau memang seperti umumnya laki-laki Prancis, Raoul. Bagimu seorang ibu adalah sosok yang suci, dan tidak baik kalau aku punya perasaan seperti itu terhadapnya, padahal dia sangat sedih karena kehilangan anaknya. Tapi... aku tak bisa menjelaskannya. Dia begitu besar dan hitam, dan kedua tangannya - pernahkah kau memperhatikan tangannya, Raoul? Besar bekali, dan kuat, sekuat tangan laki-laki. Ah!”
      Simone merinding sedikit dan memejamkan mata. Raoul melepaskan pelukannya, dan suaranya hampir-hampir bernada dingin ketika ia berbicara. “Aku benar-benar tak bisa memahamimu, Simone. Sebagai wanita, mestinya kau bisa merasa simpati pada sesamamu, seorang ibu yang sedih karena kehilangan anak tunggalnya.”
      Simone membuat gerakan tak sabar. “Ah, justru kaulah yang tidak mengerti, sahabatku! Perasaan ini tak bisa kuhindari ketika pertama kali melihatnya, aku merasa…” Ia mengibaskan kedua tangannya. “Takut! Kau ingat baru lama sesudahnya. Aku bersedia melayaninya? Aku yakin, entah bagaimana, dia akan membawa malapetaka bagiku.”
      Raoul angkat bahu. “Padahal kenyataannya justru sebaliknya,” kata Raoul dengan nada datar. “Semua pemanggilan roh yang kaulakukan untuknya berhasil dengan sangat sukses. Roh si kecil Amelie bisa langsung memasuki dirimu, dan materialisasinya benar-benar menakjubkan. Mestinya Profesor Roche ikut hadir pada pemanggilan yang paling akhir waktu itu.”
      “Materialisasi,” kata Simone dengan suara pelan. “Coba katakan, Raoul (kau tahu bahwa aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku sedang dirasuki), apakah materialisasi-materialisasi itu memang sangat menakjubkan?”
      Raoul mengangguk dengan antusias. “Pada beberapa pemanggilan yang pertama, sosok anak itu cuma berupa kabut samar-samar,” ia menjelaskan, “tapi pada pemanggilan yang paling akhir...”
      “Ya?”
      Raoul berbicara dengan sangat pelan. “Simone, anak yang berdiri di sana itu benar benar seperti anak kecil yang hidup. Aku bahkan menyentuhnya. Tapi ketika kulihat sentuhan itu menimbulkan rasa sakit yang amat sangat terhadap dirimu, aku tidak mengizinkan Madame Exe ikut menyentuhnya. Aku takut dia tak bisa mengendalikan diri, dan akibatnya kau yang celaka.”
      Simone kembali memalingkan wajah ke jendela.
      “Aku lelah sekali ketika tersadar,” gumamnya.
      “Raoul, apa kau yakin... apa kau benar-benar yakin bahwa semua ini bisa dibenarkan? Kau tahu kan, apa pendapat Elise. Dia bilang aku berurusan dengan setan.”
      Ia tertawa dengan tidak yakin.
      “Kau tahu apa yang kuyakini,” kata Raoul dengan serius. “Dalam berurusan dengan hal-hal yang tidak kita ketahui, selalu ada bahaya, tapi kau melakukan ini dengan alasan yang mulia. Demi ilmu Pengetahuan. Di seluruh dunia banyak orang menjadi martir demi ilmu pengetahuan, para pionir yang membayar harga mahal, agar orang-orang lain bisa mengikuti jejak mereka dengan aman. Selama sepuluh tahun kau telah bekerja demi ilmu pengetahuan, dengan bayaran ketegangan saraf yang luar biasa. Sekarang kau sudah selesai dengan tugasmu. Sesudah hari ini, kau bebas untuk merasa bahagia.”
      Simone tersenyum sayang padanya, ketenangannya pulih kembali. Kemudian tatapannya cepat beralih ke jam dinding. “Madame Exe terlambat,” gumamnya. “Mungkin saja dia tidak datang.”

Sebelumnya - Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...