Agatha Christie - Anjing Kematian #40



Kasus Aneh Sir Arthur


Carmichael
      (Diambil dari catatan-catatan almarhum Dr Edward Carstairs, M.D., psikolog terkemuka itu.)

      Aku amat sangat menyadari bahwa ada dua cara yang jelas dalam memandang peristiwa-peristiwa aneh dan tragis yang telah kutuliskan di bawah ini. Aku sendiri tak pernah ragu akan pendapatku. Aku telah diminta menuliskan kisah ini selengkapnya, dan aku percaya bahwa atas nama ilmu pengetahuan, fakta-fakta yang begitu aneh dan tak dapat dijelaskan ini tidak seharusnya dipendam begitu saja.
      Aku pertama kali mengetahui tentang kasus ini karena telegram yang dikirimkan temanku, Dr. Settle. Selain menyebutkan nama Carmichael, telegram itu tidak terlalu eksplisit. Tapi, sesuai dengan permintaannya, aku pun berangkat naik kereta api pukul 12.20 dari Paddington ke Wolden di Hertfordshire.
      Nama Carmichael bukannya tidak akrab di telingaku. Aku pernah mengenal almarhum Sir William Carmichael, walau hanya sekilas, dan tidak pernah bertemu lagi dengannya selama sebelas tahun belakangan ini. Aku tahu bahwa ia mempunyai seorang anak laki-laki – baronet yang sekarang ini - yang umurnya pasti sudah dua puluh tiga tahun saat ini. Samar-samar aku ingat pernah mendengar desas-desus tentang pernikahan Sir William yang kedua, tapi aku tidak ingat dengan pasti, di luar kesan samar-samar yang tidak begitu menyenangkan mengenai Lady Carmichael yang kedua.
      Settle menjemputku di stasiun.
      “Baik sekali kau mau datang,” katanya sambil menjabat tanganku.
      “Bukan apa-apa. Katamu kasus ini berkaitan dengan profesiku?”
      “Amat sangat berkaitan.”
      “Kasus kejiwaan, kalau begitu?” desakku. “Dengan ciri-ciri yang tidak biasa?”
      Saat itu kami telah mengambil bagasiku, dan kini kami sudah duduk di kereta kuda yang akan membawa kami dari stasiun ke Wolden, yang jaraknya sekitar tiga mil. Selama beberapa saat, Settle tidak menjawab. Kemudian sekonyong-konyong ia berkata,
      “Seluruh kejadian ini benar-benar tak bisa dimengerti. Anak muda ini usianya baru dua puluh tiga tahun, sepenuhnya normal dalam segala hal. Anak muda yang ramah dan menyenangkan, dengan sedikit keangkuhan yang biasa. Dia mungkin tidak terlalu cerdas, tapi sangat cakap, seperti umumnya anak-anak muda Inggris dari kelas atas. Suatu malam dia pergi tidur dalam keadaan sehat, seperti biasanya, dan keesokan paginya dia ditemukan sedang berkeliaran di desa, dalam keadaan setengah gila, tak bisa mengenali orang-orang terdekatnya sama sekali.”
      “Ah!” kataku, merasa tergelitik. Kasus ini tampaknya bakal menarik. “Ingatannya hilang sama sekali? Dan ini terjadi pada...”
      “Pagi hari kemarin. Tanggal 9 Agustus.”
      “Dan tidak ada apa-apa - shock macam apa pun yang kauketahui - yang bisa menjelaskan keadaannya itu?”
      “Tidak ada.”
      Mendadak aku merasa curiga.
      “Apa ada yang kausembunyikan?”
      “T... tidak.”
      Sikap ragu-ragu Settle semakin memperkuat kecurigaanku.
      “Aku mesti tahu segalanya.”
      “Ini tidak ada hubungannya dengan Arthur. Kaitannya dengan... dengan rumah itu.”
      “Dengan rumah itu,”' aku mengulangi, terperangah.
      “Kau sudah sering sekali berurusan dengan hal semacam itu bukan, Carstairs? Kau sudah ’menguji’ rumah-rumah yang katanya berhantu. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu?”
      “Sembilan dari sepuluh kasus teryata merupakan tipuan belaka,” jawabku. “Tapi yang kesepuluh... yah, aku pernah menemukan fenomena yang benar-benar tak bisa dijelaskan dari sudut pandang materialistik biasa. Aku memang percaya pada okultisme.”
      Settle mengangguk.
      Kami baru saja berbelok ke gerbang Park. Ia menunjuk dengan cambuknya ke rumah besar berwarna putih di punggung sebuah bukit. “Itu rumahnya,” katanya. “Dan - ada sesuatu di rumah itu. Sesuatu yang misterius – mengerikan. Kami semua merasakannya ... padahal aku bukan orang yang percaya takhayul ...”
      “Dalam bentuk apakah unsur yang misterius ini?” tanyaku.
      Settle menatap rumah di hadapannya itu. “Lebih baik aku tidak menceritakan apa-apa dulu padamu. Begini, kalau kau... datang kemari tanpa prasangka... tanpa tahu apa-apa sebelumnya... dan ternyata kau melihatnya juga... nah...”
      “Ya,” kataku. “Memang lebih baik begitu. Tapi aku lebih senang kalau kau bercerita lebih banyak tentang keluarga itu.”
      “Sir William,” kata Settle, “menikah dua kali. Arthur adalah anak dari istri pertamanya. Sembilan tahun yang lalu, dia menikah lagi, dan Lady Carmichael yang sekarang ini sosoknya agak misterius. Dia hanya separuh Inggris, dan kurasa dia punya darah Asia di tubuhnya.” Ia diam sejenak.
      “Settle,” kataku, “kau tidak menyukai Lady Carmichael.”
      Ia mengakuinya dengan terus terang. “Memang tidak. Sejak dulu ada kesan jahat pada diri wanita itu. Nah, kulanjutkan ceritaku. Dari istri keduanya ini, Sir William mempunyai anak lagi, anak laki-laki juga. sekarang umurnya delapan tahun. Sir William meninggal tiga tahun yang lalu. Arthur mewarisi gelar dan rumah itu. Ibu dan adik tirinya tetap tinggal bersamanya di Wolden. Mereka boleh dikatakan sudah sangat jatuh miskin. Hampir keseluruhan penghasilan Sir Arthur dihabiskan untuk perawatan rumah dan tanah itu. Sir William hanya dapat mewariskan beberapa ratus pound setahun pada istrinya, tapi untunglah hubungan Arthur dengan ibu tirinya baik sekali, dan dia sama sekali tidak keberatan ibu tirinya itu tinggal bersamanya. Sekarang...”
      “Ya?”
      “Dua bulan yang lalu. Arthur bertunangan dengan seorang gadis yang manis, namanya Miss Phyllis Patterson.” Settle menambahkan dengan suara pelan yang agak emosional, “Mereka seharusnya menikah bulan depan. Miss Patterson tinggal di rumah itu sekarang. Bisa kaubayangkan kecemasannya...”
      Aku menundukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa. Kami sudah dekat dengan rumah itu sekarang. Di sebelah kanan kami, lapangan rumput yang hijau menandai dengan lembut.
      Sekonyong-konyong aku melihat sebuah pemandangan yang sangat memesona. Seorang gadis muda berjalan perlahan-lahan dari lapangan rumput ke arah rumah. Ia tidak memakai topi, dan cahaya matahari semakin memperindah kilau rambutnya yang keemasan. Ia membawa sebuah keranjang besar berisi bunga-bunga mawar, dan seekor kucing Persia berbulu kelabu yang indah melilitkan tubuh dengan sayang di kakinya sementara ia berjalan.
      Aku memandang Settle dengan bertanya-tanya.
      “Itu Miss Patterson,” katanya.
      “Gadis malang,” kataku, “gadis malang. Sungguh pemandangan indah, melihatnya membawa mawar-mawar itu dan kucing kelabunya.”
      Aku mendengar suara pelan, dan menoleh cepat pada temanku itu. Tali kendali kuda telah terlepas dari jemari Settle, dan wajahnya pucat pasi.
      “Ada apa?” seruku.
      Dengan susah payah ia berhasil memulihkan diri.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...