III
Keesokan
paginya, Silas Hamer keluar dari rumah dengan tekad baru dalam langkahnya. Ia
telah memutuskan untuk mengikuti saran Seldon, menemui laki-laki tak berkaki
itu. Namun dalam hati ia yakin pencariannya akan sia-sia; laki-laki itu pasti
sudah menghilang bagai ditelan bumi.
Gedung-gedung gelap di kedua sisi lorong
tersebut menutupi sinar matahari, membuat lorong itu gelap dan misterius. Hanya
di satu tempat, di tengah lorong, ada celah di antara tembok, dan dari sana
jatuh seberkas cahaya keemasan yang menyinari sosok yang duduk di tanah itu
dengan sangat terang. Sosok itu... ya, laki-laki tak berkaki itu! Alat musiknya
tersandar di tembok, di samping tongkat-tongkat penyangganya, dan ia sedang
menggambari trotoar dengan pola-pola dari kapur berwama. Sudah dua gambar
diselesaikannya, pemandangan berhutan yang amat sangat indah dan halus, pepohonan
yang bergoyang diembus angin, dan anak sungai yang kelihatan begitu nyata.
Lagi-lagi Hamer merasa ragu. Apakah orang
ini hanya seorang pemusik jalanan, seniman pelukis trotoar? Ataukah ia lebih
dari...
Sekonyong-konyong sang jutawan tak bisa
mengendalikan diri lagi. Ia berseru dengan garang dan marah. “Siapa kau? Demi
Tuhan, siapa kau?”
Laki-laki itu menatapnya, dan tersenyum.
“Kenapa kau tidak menjawab? Bicaralah,
bicaralah!”
Kemudian ia memperhatikan bahwa orang itu
tengah menggambar dengan kecepatan luar biasa di sebongkah batu yang masih
kosong. Hamer mengikuti gerakan tangannya dengan matanya... beberapa sapuan
tegas, dan pepohonan raksasa pun jadilah. Kemudian, duduk di sebuah batu
besar... sosok seorang pria... memainkan alat musik pipa. Seorang pria dengan
wajah yang begitu indah - dan berkaki kambing... Tangan laki-laki itu membuat
satu gerakan cepat. Gambar laki-laki yang duduk di batu besar itu masih ada,
tapi kaki-kaki kambingnya sudah lenyap. Sekali lagi matanya bertemu pandang dengan
mata Hamer.
“Kaki-kaki itu membawa petaka,” katanya.
Hamer tertegun terpesona. Sebab wajah di
hadapannya ini adalah wajah pria dalam gambar itu, tapi jauh lebih indah, amat lebih
indah... wajah yang telah disucikan dari segala sesuatu, kecuali kegembiraan -
hidup yang luar biasa dan menyentuh hati.
Hamer berbalik dan hampir-hampir berlari
terbang di lorong itu, menuju cahaya matahari yang terang, sambil mengulangi
sendiri tanpa henti, “Mustahil. Mustahil... Aku sudah sinting - aku bermimpi!”
Tapi wajah laki-laki itu menghantuinya - wajah Pan...
Ia
masuk ke taman dan duduk di bangku. Jam itu adalah jam sepi. Beberapa pengasuh
bersama anak-anak jagaan mereka duduk di keteduhan pepohonan, dan di sana-sini,
di bentangan kehijauan yang bagaikan pulau-pulau di tengah laut, tampak sosok
beberapa laki-laki sedang berbaring-baring...
Bagi Hamer, kata-kata ”pengemis malang”
melambangkan puncak segala ketidakbahagiaan. Tapi sekonyong-konyong hari ini ia
merasa iri pada mereka.
Di matanya, merekalah satu-satunya makhluk
yang benar-benar bebas, dari antara makhluk-makhluk lainnya. Bumi tempat
berpijak, bentangan langit di atap kepala, dunia untuk tempat mengembara... mereka
tidak terkungkung ataupun terbelenggu. Bagai sapuan kilat, mendadak ia
menyadari bahwa apa yang telah membelenggunya selama ini adalah sesuatu yang
telah ia puja dan hargai, melebihi hal-hal lainnya - kekayaan! Ia telah menganggap
kekayaan sebagai sesuatu yang paling berkuasa di bumi dan sekarang, terbungkus
oleh kekuasaannya yang berkilauan, ia melihat kebenaran kata-katanya sendiri.
Uangnyalah yang telah membuatnya terbelenggu...
Tapi benarkah? Benarkah uangnya yang telah
mengikat dirinya? Ataukah ada kebenaran yang lebih dalam dan lebih jelas, yang
tidak dilihatnya? Uang ataukah kecintaannya pada uang? Ia terbelenggu dalam
rantai yang telah diciptakannya sendiri; bukan kekayaan itu yang menjadi
masalah, melainkan kecintaannya akan kekayaan itu.
Kini ia tahu pasti dua kekuatan yang
merobek-robeknya, kekuatan hangat materialisme yang melingkupi dan
mengelilinginya melawan panggilan jernih bernada memerintah itu – ia menyebutnya
Panggilan Sayap-Sayap.
Sementara kekuatan yang satu berjuang
menariknya, kekuatan satunya lagi tak mau bergulat mempertahankan - melainkan
hanya memanggilnya... memanggil tanpa henti... Ia mendengar panggilan itu
begitu jelas, hingga serasa panggilan itu disuarakan dalam kata-kata.
“Kau
tak bisa membuat kesepakatan denganku,” sepertinya suara itu berkata. “Sebab aku melebihi hal-hal lainnya. Kalau
kau menuruti panggilanku kau mesti merelakan yang lain-lainnya dan melepaskan kekuatan-kekuatan
yang menahanmu. Sebab hanya orang bebas yang bisa mengikutiku ke tempat aku
akan membawanya...”
“Aku
tak bisa,” seru Hamer. “Aku tak
bisa...”
Beberapa orang menoleh memandangi pria
bertubuh besar itu, yang duduk berbicara sendiri.
Jadi, ia diminta berkorban, mengorbankan
sesuatu yang paling disayanginya, yang merupakan bagian dirinya sendiri. Bagian
dirinya - ia teringat laki-laki tak berkaki itu…