Agatha Christie - Anjing Kematian #49



III

Keesokan paginya, Silas Hamer keluar dari rumah dengan tekad baru dalam langkahnya. Ia telah memutuskan untuk mengikuti saran Seldon, menemui laki-laki tak berkaki itu. Namun dalam hati ia yakin pencariannya akan sia-sia; laki-laki itu pasti sudah menghilang bagai ditelan bumi.

      Gedung-gedung gelap di kedua sisi lorong tersebut menutupi sinar matahari, membuat lorong itu gelap dan misterius. Hanya di satu tempat, di tengah lorong, ada celah di antara tembok, dan dari sana jatuh seberkas cahaya keemasan yang menyinari sosok yang duduk di tanah itu dengan sangat terang. Sosok itu... ya, laki-laki tak berkaki itu! Alat musiknya tersandar di tembok, di samping tongkat-tongkat penyangganya, dan ia sedang menggambari trotoar dengan pola-pola dari kapur berwama. Sudah dua gambar diselesaikannya, pemandangan berhutan yang amat sangat indah dan halus, pepohonan yang bergoyang diembus angin, dan anak sungai yang kelihatan begitu nyata.
      Lagi-lagi Hamer merasa ragu. Apakah orang ini hanya seorang pemusik jalanan, seniman pelukis trotoar? Ataukah ia lebih dari...
      Sekonyong-konyong sang jutawan tak bisa mengendalikan diri lagi. Ia berseru dengan garang dan marah. “Siapa kau? Demi Tuhan, siapa kau?”
      Laki-laki itu menatapnya, dan tersenyum.
      “Kenapa kau tidak menjawab? Bicaralah, bicaralah!”
      Kemudian ia memperhatikan bahwa orang itu tengah menggambar dengan kecepatan luar biasa di sebongkah batu yang masih kosong. Hamer mengikuti gerakan tangannya dengan matanya... beberapa sapuan tegas, dan pepohonan raksasa pun jadilah. Kemudian, duduk di sebuah batu besar... sosok seorang pria... memainkan alat musik pipa. Seorang pria dengan wajah yang begitu indah - dan berkaki kambing... Tangan laki-laki itu membuat satu gerakan cepat. Gambar laki-laki yang duduk di batu besar itu masih ada, tapi kaki-kaki kambingnya sudah lenyap. Sekali lagi matanya bertemu pandang dengan mata Hamer.
      “Kaki-kaki itu membawa petaka,” katanya.
      Hamer tertegun terpesona. Sebab wajah di hadapannya ini adalah wajah pria dalam gambar itu, tapi jauh lebih indah, amat lebih indah... wajah yang telah disucikan dari segala sesuatu, kecuali kegembiraan - hidup yang luar biasa dan menyentuh hati.
      Hamer berbalik dan hampir-hampir berlari terbang di lorong itu, menuju cahaya matahari yang terang, sambil mengulangi sendiri tanpa henti, “Mustahil. Mustahil... Aku sudah sinting - aku bermimpi!” Tapi wajah laki-laki itu menghantuinya - wajah Pan...

Ia masuk ke taman dan duduk di bangku. Jam itu adalah jam sepi. Beberapa pengasuh bersama anak-anak jagaan mereka duduk di keteduhan pepohonan, dan di sana-sini, di bentangan kehijauan yang bagaikan pulau-pulau di tengah laut, tampak sosok beberapa laki-laki sedang berbaring-baring...
      Bagi Hamer, kata-kata ”pengemis malang” melambangkan puncak segala ketidakbahagiaan. Tapi sekonyong-konyong hari ini ia merasa iri pada mereka.
      Di matanya, merekalah satu-satunya makhluk yang benar-benar bebas, dari antara makhluk-makhluk lainnya. Bumi tempat berpijak, bentangan langit di atap kepala, dunia untuk tempat mengembara... mereka tidak terkungkung ataupun terbelenggu. Bagai sapuan kilat, mendadak ia menyadari bahwa apa yang telah membelenggunya selama ini adalah sesuatu yang telah ia puja dan hargai, melebihi hal-hal lainnya - kekayaan! Ia telah menganggap kekayaan sebagai sesuatu yang paling berkuasa di bumi dan sekarang, terbungkus oleh kekuasaannya yang berkilauan, ia melihat kebenaran kata-katanya sendiri. Uangnyalah yang telah membuatnya terbelenggu...
      Tapi benarkah? Benarkah uangnya yang telah mengikat dirinya? Ataukah ada kebenaran yang lebih dalam dan lebih jelas, yang tidak dilihatnya? Uang ataukah kecintaannya pada uang? Ia terbelenggu dalam rantai yang telah diciptakannya sendiri; bukan kekayaan itu yang menjadi masalah, melainkan kecintaannya akan kekayaan itu.
      Kini ia tahu pasti dua kekuatan yang merobek-robeknya, kekuatan hangat materialisme yang melingkupi dan mengelilinginya melawan panggilan jernih bernada memerintah itu – ia menyebutnya Panggilan Sayap-Sayap.
      Sementara kekuatan yang satu berjuang menariknya, kekuatan satunya lagi tak mau bergulat mempertahankan - melainkan hanya memanggilnya... memanggil tanpa henti... Ia mendengar panggilan itu begitu jelas, hingga serasa panggilan itu disuarakan dalam kata-kata.
      Kau tak bisa membuat kesepakatan denganku,” sepertinya suara itu berkata. “Sebab aku melebihi hal-hal lainnya. Kalau kau menuruti panggilanku kau mesti merelakan yang lain-lainnya dan melepaskan kekuatan-kekuatan yang menahanmu. Sebab hanya orang bebas yang bisa mengikutiku ke tempat aku akan membawanya...
      Aku tak bisa,” seru Hamer. “Aku tak bisa...
      Beberapa orang menoleh memandangi pria bertubuh besar itu, yang duduk berbicara sendiri.
      Jadi, ia diminta berkorban, mengorbankan sesuatu yang paling disayanginya, yang merupakan bagian dirinya sendiri. Bagian dirinya - ia teringat laki-laki tak berkaki itu…

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...