Agatha Christie - Anjing Kematian - #3



“SELALU — selalu - dan mimpi-mimpi ini terasa lebih nyata daripada kehidupan itu sendiri. Anda mengerti?”
      “Anda bermimpi tentang negeri Anda? Belgia?”
      Dia menggelengkan kepala.
      “Tidak. Saya bermimpi tentang sebuah negeri yang tidak pernah ada - tidak pernah. Tapi Anda sudah tahu tentang ini, M. le docteur. Saya sudah berkali-kali menceritakannya pada Anda.” Ia terdiam, kemudian berkata cepat-cepat. “Tapi barangkali tuan ini juga seorang dokter - dokter yang ahli dalam menangani penyakit-penyakit yang berkaitan dengan otak, barangkali?”
      “Bukan, bukan,” kata Dr. Rose dengan nada meyakinkan, tapi saat dia tersenyum kulihat gigi taringnya sangat tajam. Ada kesan seperti serigala dalam diri orang ini. Lalu ia melanjutkan: “Saya pikir, mungkin Anda tertarik untuk berkenalan dengan Mr. Anstruther. Dia tahu sesuatu tentang Belgia. Belum lama ini dia mendengar berita tentang biara Anda.”
      Suster Marie Angelique menoleh padaku. Warna merah muda samar merambati kedua belah pipinya.
      “Sebenarnya bukan hal penting,” aku lekas-lekas menjelaskan. “Kemarin malam saya makan bersama seorang teman, dan dia menceritakan tentang reruntuhan tembok-tembok biara itu pada saya.”
      “Jadi, biara itu sudah runtuh!”
      Penyataannya berupa seruan pelan yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada untuk kami. Lalu sekali lagi ia menatapku dan bertanya dengan ragu-ragu, “Katakan, Monsieur, apakah teman Anda menyebutkan, bagaimana biara itu runtuh - dengan cara bagaimana?”
      “Biara itu meledak,” kataku, lalu menambahkan, “Para petani takut lewat di dekat sana pada malam hari.”
      “Kenapa takut?”
      “Sebab di salah satu reruntuhan temboknya ada tanda hitam. Mereka punya kepercayaan takhayul tentang tanda itu.”
      Suster Marie Angelique mencondongkan tubuh. “Katakan, Monsieur - cepat, cepat – katakan, Seperti apakah tanda itu?”
      “Bentuknya seperti seekor anjing besar,” sahutku. “Para petani itu menyebutnya Anjing Kematian.”
      Ahr,” jeritan nyaring terlontar dari bibir suster itu. “Kalau begitu, benar rupanya - benar. Segala yang saya ingat itu benar. Bukan sekadar mimpi buruk mengerikan. Semuanya benar-benar terjadi! Benar-benar terjadi!”
      “Apa yang terjadi, Suster?” tanya sang dokter dengan suara pelan.
      Suster Marie Angelique menoleh padanya dengan penuh semangat.
      “Saya ingat. Di sana, di undak-undak itu, saya ingat. Saya ingat caranya. Saya menggunakan kekuatan itu seperti kami dulu biasa menggunakannya. Saya berdiri di undak-undak altar dan meminta mereka untuk tidak maju lebih dekat. Saya minta mereka untuk pergi dalam damai. Tapi mereka tak mau mendengarkan. Mereka terus maju, walau saya sudah memperingatkan. Maka…” dia mencondongkan tubuh ke depan dan membuat sebuah gerakan yang aneh, “maka saya lepaskan Anjing Kematian pada mereka…” dia berbaring kembali di kursinya, seluruh tubuhnya gemetar, kedua matanya terpejam.
      Dr. Rose bangkit berdiri, mengambil sebuah gelas dari lemari, mengisi setengahnya dengan air. Lalu dia menambahkan setetes-dua tetes cairan dari sebuah botol kecil yang dia keluarkan dari sakunya. Kemudian diulurkannya gelas itu pada Suster Marie Angelique.
      “Minum ini,” katanya dengan nada memerintah.
      Suster itu mematuhinya - otomatis, sepertinya. Kedua matanya menerawang jauh, seakan memandangi visi yang muncul dari dalam dirinya sendiri.
      “Kalau begitu, semuanya benar,” kata suster itu. “Semuanya. Kota Lingkaran, Orang-orang, Bola Kristal - semuanya. Segala sesuatunya benar.”
      “Kelihatannya begitu,” kata Dr. Rose. Suaranya pelan dan menyejukkan, jelas-jelas disengaja untuk memberikan dorongan, bukan untuk mengganggu alur pikiran suster tersebut.
      “Ceritakan tentang Kota itu,” katanya. “Kota Lingkaran, kata Anda?”
      Suster Marie Angelique menjawab otomatis, dengan pikiran menerawang. “Ya... ada tiga lingkaran. Lingkaran pertama adalah untuk yang terpilih, lingkaran kedua untuk para pendeta wanita, dan lingkaran paling luar untuk para pendeta pria.”
      “Dan di tengah-tengahnya?”
      Suster Marie Angelique menarik napas dengan keras, dan suaranya melemah menjadi nada takjub tak terkira. “Rumah Bola Kristal...” Saat ia mengucapkan kata-kata itu dengan terengah, tangan kanannya terangkat ke dahi dan jarinya menelusuri suatu bentuk di sana. Sosoknya semakin lama semakin kaku. Kedua matanya terpejam, ia agak limbung - lalu sekonyong-konyong ia duduk tegak tersentak, seakan-akan ia terbangun dengan mendadak.
      “Apa ini?” katanya dengan bingung. “Apa saja yang saya katakan?”
      “Tidak apa-apa,” kata Dr. Rose. “Anda lelah. Anda perlu istirahat. Kami akan pergi.”
      Suster itu tampak agak bingung saat kami meninggalkannya.
      “Nah,” kata Dr. Rose setelah kami berada di luar. “Bagaimana menurut Anda?” Ia melirikku dengan tajam.
      “Saya rasa pikirannya sudah benar-benar tidak terkendali,” kataku perlahan-lahan.
      “Anda berpendapat begitu?”
      “Tidak juga. Malah sebenarnya dia... yeah, sangat meyakinkan. Sewaktu mendengarkan apa-apa yang diucapkannya, saya mendapat kesan bahwa dia benar-benar telah melakukan apa-apa yang dikatakannya itu - melakukan semacam keajaiban yang luar biasa. Keyakinannya bahwa dia memang melakukan itu tampaknya tidak dibuat-buat. Itu sebabnya...”
      “Itu sebabnya Anda mengatakan pikirannya sudah benar-benar tidak terkendali. Memang. Tapi coba kita lihat masalah ini dan sudut pandang lain. Seandainya dia memang benar-benar membuat keajaiban itu terjadi - seandainya dia benar-benar telah menghancurkan biara itu dan menewaskan beberapa ratus manusia di dalamnya.”
      “Hanya melalui kekuatan pikirannya?” tanyaku dengan tersenyum.
      “Menurut saya tidak persis begitu. Anda tentunya sependapat bahwa satu orang saja bisa menghancurkan sejumlah besar orang lain dengan menekan tombol yang mengendalikan sistem peledak.”
      “Ya, tapi itu sifatnya mekanis.”
      “Benar, mekanis, tapi pada intinya, itu juga berarti mengendalikan dan mengontrol kekuatan-kekuatan alam. Hujan badai dan gardu listrik pada dasarnya sama, bukan?”
      “Ya, tapi untuk mengendalikan hujan badai kita mesti menggunakan sarana mekanis.”
      Dr. Rose tersenyum. “Saya akan menyimpang sedikit. Ada substansi yang dikenal berbagai wintergreen. Dalam alam, substansi ini ditemukan dalam bentuk sayuran. Tapi sayuran ini juga bisa dibuat secara sintetis dan kimia oleh manusia di laboratorium.”
      “Jadi?”
      “Maksud saya, seringkali ada dua cara yang bisa digunakan untuk memberikan hasil yang sama. Cara kita, jelas, adalah cara yang sintetis. Tapi mungkin ada cara lainnya. Misalnya, keajaiban-keajaiban yang luar biasa, yang diperlihatkan oleh para fakir India itu, tak bisa dijelaskan dengan mudah. Apa-apa yang kita sebut sebagai supranatural sebenarnya hanyalah hasil alami dari sesuatu yang belum bisa dipahami oleh hukum-hukum kita.”
      “Maksud Anda?” tanyaku dengan terpesona.
      “Maksud saya, saya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kemungkinan bahwa mungkin saja ada manusia yang punya kemampuan untuk menyadap suatu kekuatan besar yang destruktif, kemudian menggunakannya untuk maksud-maksud pribadi. Cara yang digunakan mungkin kelihatan seperti sesuatu yang supranatural bagi kita… tapi sebenarnya tidak.”
      Aku melongo menatapnya.
      Ia tertawa.
      “Ini cuma spekulasi,” katanya dengan nada ringan. “Coba katakan, apakah Anda memperhatikan gerakan suster itu ketika dia menyebutkan Rumah Bola Kristal?”
      “Dia mengangkat tangannya ke dahi.”
      “Tepat sekali. Dan dia membuat lingkaran dengan jarinya di situ. Persis seperti orang Katolik membuat tanda salib. Saya ingin menceritakan sesuatu yang agak menarik, Mr. Anstruther. Kata 'bola kristal' itu sering sekali diucapkan oleh pasien saya ini, kalau dia sedang mengoceh tidak karuan. Maka saya mengadakan eksperimen. Saya meminjam bola kristal dari seseorang, dan menunjukkannya padanya suatu hari, dengan tiba-tiba, untuk melihat reaksinya.”
      “Lalu?”
      “Nah, hasilnya sangat aneh dan sugestif. Seluruh tubuhnya jadi kaku. Dia memandangi bola kristal itu, seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu dia merosot berlutut di depan bola kristal itu, menggumamkan beberapa patah kata... dan pingsan.”
      “Apa yang diucapkannya?”
      “Kata-katanya aneh sekali. Dia bilang, 'Bola kristal! Berarti Keyakinan itu masih bertahan!’.”
      “Luar biasa.”
      “Sugestif, bukan? Sekarang kejadian aneh berikutnya. Setelah sadar dari pingsannya, dia lupa sama sekali akan apa yang telah terjadi. Saya menunjukkan bola kristal itu padanya, dan bertanya apakah dia tahu, benda apa ini. Dia menjawab bahwa sepertinya itu bola kristal, semacam yang suka digunakan para peramal. Saya tanya, apakah dia pernah melihat bola kristal? Dia menjawab, 'Tidak pernah, M. le docteur’. Tapi sorot matanya tampak bingung. 'Apa yang mengganggu pikiran Anda, Suster?’ tanya saya. Dia menjawab, 'Sebab rasanya aneh sekali. Saya belum pernah melihat bola kristal... tapi saya merasa mengenalnya dengan baik. Ada sesuatu... kalau saja saya ingat...' Tampaknya dia sangat gelisah, karena tak bisa mengingat apa pun yang mengganggunya itu, jadi saya melarangnya berpikir lebih lanjut. Itu kejadian dua minggu yang lalu. Saya sengaja menunggu saat yang tepat. Besok saya akan mengadakan eksperimen lebih lanjut.”
      “Dengan bola kristal lagi?”
      “Ya, dengan bola kristal lagi. Saya akan minta dia melihat ke dalam bola kristal itu. Saya rasa hasilnya pasti menarik.”
      “Hasil apa yang Anda harapkan??” tanyaku, penuh rasa ingin tahu. Pertanyaanku sebenarnya cuma iseng-iseng saja, tapi efeknya sungguh tak terduga. Dr. Rose mendadak jadi kaku, wajahnya merona merah, dan ketika ia berbicara lagi sikapnya berubah drastis. Ia jadi lebih formal, lebih profesional.
      “Saya berharap mendapatkan titik terang mengenai masalah gangguan mental tertentu, yang selama ini belum sepenuhnya dipahami. Suster Marie Angelique merupakan objek penelitian yang sangat menarik.”
      Jadi, minat Dr. Rose sepenuhnya bersifat profesional? pikirku.
      “Apakah Anda keberatan kalau saya ikut dengan Anda?” tanyaku. Entah ini hanya imajinasiku atau bukan, tapi kulihat dia ragu-ragu sebelum menjawab. Mendadak aku merasa ia tak ingin aku ikut.
      “Tentu boleh. Saya sama sekali tidak keberatan.” Lalu ia menambahkan, “Saya rasa Anda tidak akan terlalu lama berada di sini'?”
      “Hanya sampai lusa.”
      Aku merasa jawaban itu membuatnya lega. Keningnya tidak berkerut lagi, dan ia mulai bicara tentang beberapa eksperimennya baru-baru ini terhadap guinea pig.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...