HARI kedua setelah kedatanganku di
Trearne, aku teringat kembali kisah tersebut. Waktu itu aku dan saudara
perempuanku sedang minum teh di teras.
“Kitty,” kataku, “apakah di antara para
pengungsi Belgia yang dulu kautampung, ada seorang biarawati?”
“Maksudmu Suster Marie Angelique?”
“Kemungkinan,” kataku dengan hati-hati.
“Coba ceritakan tentang dia.”
“Oh, dia itu orang yang sangat misterius.
Dia masih di sini.”
“Apa? Di rumah ini?”
“Bukan, bukan. Di desa. Dr. Rose - kau
ingat Dr. Rose?”
Aku menggeleng.
“Yang kuingat dokter tua berumur delapan
puluh tiga tahun itu.”
“Dr. Laird. Oh, dia sudah meninggal. Dr.
Rose baru beberapa tahun di sini. Dia masih sangat muda, dan sangat tertarik
pada gagasan-gagasan baru. Dia amat menaruh minat pada Suster Marie Angelique.
Suster ini suka mengalami halusinasi dan semacamnya, dan kelihatannya dia objek
yang sangat menarik dari sudut pandang medis. Wanita malang - dia tak punya
rumah lagi - dan menurut pendapatku dia sangat biasa-biasa saja - tapi dia
mengesankan, kalau kau mengerti maksudku. Yah, seperti kukatakan tadi, dia tak punya
rumah lagi, dan Dr. Rose yang baik hati memberinya tempat tinggal di desa.
Kurasa dia sedang menulis monograf atau apalah yang biasa ditulis
dokter-dokter, tentang suster itu.” Kitty diam sejenak, lalu berkata, “Tapi,
apa yang kauketahui tentang suster ini?”
“Aku mendengar cerita yang agak aneh.”
Kupaparkan cerita itu, seperti yang
dituturkan oleh Ryan. Kitty sangat tertarik mendenganya.
“Dia memang kelihatan seperti jenis orang
yang bisa membuatmu terbakar - kalau kau mengerti maksudku,” kata Kitty.
Rasa ingin tahuku makin tergelitik. “Aku
mesti melihat wanita muda ini.”
“Silakan saja. Aku ingin tahu pendapatmu
tentang dia. Tapi temui Dr. Rose dulu. Bagaimana kalau kau pergi ke desa
sesudah minum teh?”
Aku menerima saran itu.
Dr. Rose ada di rumah. Aku memperkenalkan diri.
Dia tampaknya seorang anak muda yang
ramah, tapi ada sesuatu yang tidak kusukai dalam pembawaannya. Kepribadiannya
terlalu kuat, hingga tidak sepenuhnya menyenangkan.
Begitu aku menyebutkan Suster Mane
Angelique, sikapnya langsung penuh perhatian. Ia jelas-jelas sangat tertarik. Kusampaikan
padanya apa yang kudengar dari Ryan.
“Ah,” katanya dengan mimik serius. “Cerita
itu menjelaskan banyak hal.” Dengan cepat ia memandangku, lalu meneruskan. “Kasus
ini benar-benar kasus yang luar biasa menarik. Wanita itu jelas-jelas telah
mengalami guncangan mental yang hebat ketika dia tiba di sini. Keadaan
mentalnya juga sangat kalut. Dia mengalami berbagai halusinasi yang sangat
mengejutkan. Kepribadiannya pun sangat tidak biasa. Barangkali Anda berminat
ikut dengan saya mengunjunginya? Anda tidak akan menyesal melihatnya.”
Aku langsung menyatakan bersedia.
Kami berangkat bersama-sama. Tujuan kami
adalah sebuah cottage kecil di daerah pinggiran desa. Folbridge adalah tempat yang
sangat indah, terletak di mulut Sungai Fol, sebagian besar di sisi sebelah
timunya. Sisi sebelah baratnya terlalu berbahaya untuk mendirikan bangunan.
Namun ada beberapa cottage yang berdiri di sisi tebing karang di sana. Cottage
sang dokter sendiri bertengger di tepi tebing karang di sebelah barat. Dari
sana kita bisa memandang ke bawah, ke arah ombak-ombak samudera yang mengempas bebatuan
karang yang hitam.
Cottage kecil yang hendak kami datangi ini
terletak di bagian yang tidak menghadap ke laut.
“Perawat distrik tinggal di sini,” Dr.
Rose menjelaskan. “Saya sudah mengatur supaya Suster Marie Angelique tinggal di
rumahnya. Dia perlu berada di bawah pengawasan profesional.”
“Apakah tingkah lakunya normal?” aku
bertanya ingin tahu.
“Nanti Anda bisa melihatnya sendiri,”
sahut sang dokter dengan tersenyum.
Si perawat distrik adalah seorang wanita
pendek gemuk dan ramah. Ia baru hendak keluar dengan sepedanya ketika kami datang.
“Selamat sore, Suster, bagaimana pasien
Anda?” tanya Dr. Rose.
“Dia seperti biasanya, Dokter. Duduk di
sana dengan kedua tangan terlipat dan pikirannya melayang ke mana-mana. Sering
kali dia tidak menjawab kalau saya ajak bicara, tapi sampai sekarang bahasa
Inggris-nya memang tidak terlalu bagus.”
Dr. Rose mengangguk. Setelah perawat itu
berangkat, ia menghampiri pintu cottage, mengetuk keras-keras, lalu masuk. Suster
Marie Angelique sedang berbaring di sebuah kursi panjang di dekat jendela. Ia
menoleh ketika kami masuk.
Wajahnya aneh - pucat, tampak transparan,
dengan sepasang mata besar. Sepertinya sepasang mata itu menyimpan tragedi yang
amat sangat besar.
“Selamat sore, Suster,” sapa sang dokter
dalam bahasa Prancis.
“Selamat sore, M. le docteur.”
“Izinkan saya memperkenalkan seorang
teman. Mr. Anstruther.”
Aku membungkuk, dan suster itu memiringkan
kepala sedikit, sambil tersenyum samar.
“Bagaimana kabar Anda hari ini?” tanya
sang dokter, sambil duduk di sebelahnya.
“Keadaan saya seperti biasanya saja.”
Suster Marie Angelique diam sejenak, kemudian melanjutkan. “Rasanya tidak ada
yang nyata bagi saya. Entah hari-hari yang berlalu - atau bulan-bulan atau tahun-tahun?
Saya hampir-hampir tidak menyadarinya. Hanya mimpi-mimpi saya yang terasa
nyata.”
“Berarti Anda masih sering bermimpi?”